Mohon tunggu...
Muhammad Dendy
Muhammad Dendy Mohon Tunggu... Seniman - menulis adalah obat hati

"saya adalah orang yang selalu ingin belajar dan selalu ingin mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri saya"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hal-hal yang Menyebabkan Orang Indonesia Berpikir Konsumtif

30 November 2017   15:48 Diperbarui: 30 November 2017   16:21 3899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: gayahidupmu.com

Budaya konsumtif, tentu adalah budaya yang seperti mengakar di masyarakat kita Indonesia. Mengapa? Karena dengan fakta yang ada, masih banyak masyarakat Indonesia yang masih terpengaruh merek atau Branded, ketika membeli barang yang di inginkan.

Apapun itu, asalkan bermerek terkenal masyarakat kita bahkan rela merogoh kocek berjuta-juta bahkan ratusan juta rupiah, hanya untuk sekedar membeli sebuah tas. Padahal tas dengan harga ratusan ribu saja sudah dirasa lebih dari cukup dalam hal kualitasnya.

Budaya konsumtif memang tidak hanya ada pada masyarakat kita, karena budaya konsumtif juga adalah hasil dari proses globalisasi. Atau jika saya sebut dengan bahasa sederhana, masuknya pengaruh dunia luar secara bebas dan terbuka.

Sehingga tentu saja budaya konsumtif indonesia akan menjadi peluang bisnin bagi negara-negara industri untuk menjual produk-produknya ke Indonesia. Karena Indonesia adalah bagian dari negara G-20, yang mana ekonomi kita adalah salah satu dari 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Fakta tersebut tentu saja akan membuat negara-negara industri seakan memelihara pola hidup konsumtif masyarakat indonesia untuk terus bertumbuh. Dengan melalui senjata marketing produknya, agar produk-produk dari negara mereka laku keras di Indonesia.

Berikut saya akan memaparkan hal-hal yang menyebabkan orang Indonesia berpikir konsumtif.


Rasa Ingin bersaing

Ini adalah salah satu naluri dasar manusia, dimana ingin bersaing dengan manusia lainnya. Sebagai contoh, ketika tetangga memiliki mobil baru, maka kita pun tak mau kalah. Begitupun ketika teman sekampus kita memilki handphone atau smartphone baru, maka kita tak mau kalah ingin memilikinya juga.

Rasa ingin bersaing tentu adalah salah satu naluri dalam diri manusia, dimana dengan dirinya bisa bersaing dengan manusia lainnya. Maka dirinya akan merasa terpandang dan dihargai.

Fenomena ini sering saya temui dalam beberapa kelompok masyarakat, bahkan dalam pergaulan saya dengan teman-teman saya. Dimana jika ada salah satu temannya memiliki barang baru, maka teman yang lainnya ingin memiliki barang yang sama bahkan lebih bagus yang dimiliki oleh temannya.

Bahkan tak jarang perdebatan masalah tingginya gaju, alias merasa gajinya tak kalah dengan temannya yang lainnya juga terjadi.

Fenomena rasa ingin bersaing tersebut, adalah pemandangan umum yang ada di indonesia. Dimana dengan rasa persaingan tersebut, tentu pola konsumtif akan semakin luas berkembang dimasyarakat. Dimana orang membeli barang bukan karena kebutuhan yang penting, tetapi untuk pamer dan bersaing.

Sebagai contoh, membeli laptop dengan spesfikasi tinggi alias "Spek Dewa" hanya untuk pamer bahwa laptopnya jauh lebih baik dari rekan sekampus atau sekantornya. Padahal ia menggunakan laptop itu hanya sekedar untuk Microsoft word, microsoft exel, power pointdan browser. Dimana dengan laptop Middle End alias spek minimum saja cukup untuk menjalankan keempat aplikasi kantoran ringan tersebut. Bukan untuk desain, editing video, photoshop atau bergerak dibidang multimedia lainnya yang membutuhkan laptop "Spek Dewa".

Gampang terpengaruh iklan tanpa mencernanya terlebih dahulu

Disini saya bukannya sepenuhnya menyalahkan dunia periklanan atau marketing. Karena tanpa adanya marketing, produk yang ditawarkan tidak akan dikenali oleh masyarakat luas. Dan itu sah-sah saja.Tetapi pola pikir masyarakat Indonesia itu sendiri yang tidak mencerna secara utuh pola dari iklan produk yang berkembang tersebut.

Dalam dunia marketing alias iklan, tentu pemasaran produknya secara berlebihan atau sering disebut Hiperrealitas adalah hal yang umum kita lihat ditelevisi. Sebagai contoh, bagaimana mungkin seorang yang meminum salah satu produk susu coklat bisa dalam beberapa detik saja menjadi berlari begitu cepat. Itulah yang disebut Hiperrealitas, dimana dalam iklan, unsur kenyataan dan dunia alam bawah sadar seakan menyatu dan kabur perbedaannya.

Karena memang tanpa adanya unsur Hiperrealitas, maka unsur menarik dari produk dan iklan tersebut tidak akan ada. Disini kita sebagai masyarakat, harus bisa mencerna dan memilah-milah pesan-pesan yang terdapat pada iklan-iklan tersebut. Dimana kita sebagai masyarakat harus menjadi konsumen yang cerdas.

Sehingga kita harus bisa memilih, mana produk yang layak dibeli sesuai dengan kebutuhan dan mana yang tidak. Karena dengan begitu, maka kita akan bisa sedikit menghilangkan pola budaya konsumtif yang mendera masyarakat kita.

Terpengaruh oleh iklan sih sah-sah saja, tetapi alangkah lebih baiknya jika kita cerdas memilih dan memilah, apakah benar produk yang akan kita beli akan seperti yang ada di iklannya.

Terutama barang elektronik yang menuntut kita untuk harus lebih jeli. Karena jika kita gampang terpengaruh iklan yang hiperrealitas  tadi tanpa jeli memilih dan memilah dengan baik. Maka penyesalan akan datang belakangan, karena barang elektronik sekali rusak alias salah membeli produk, maka harga jual kembali akan "Terjun Bebas".

Cepat bosan dan selalu ingin up to date

Ini adalah yang banyak dialami oleh masyarakat kita. Sebagai contoh, ketika saya memiliki mobil yang masih sangat baik kondisinya, tetapi disuatu ketika saya merasa bosan dengan mobil tersebut. Sehingga membuat saya ingin membeli mobil yang lebih bagus, padahal mobil yang saya pakai kini masih dalam kondisi baik dan masih layak pakai.

Rasa bosan memang adalah naluri manusia, tetapi jika kita mengikuti naluri dasar kita itu, maka akan membuat kita akan menjadi orang yang sangat konsumtif. Apalagi ditengah terpaan pasar bebas seperti sekarang ini, masuknya barang-barang impor seakan membuat kita masuk kedalam jurang budaya konsumtif itu sendiri.

Banyak pakar ekonomi yang memprediksi, dalam 10-20 tahun kedepan, kalangan generasi millenial yang lahir antara tahun 1980-2000. Terancam tidak akan memiliki rumah sendiri alias menyewa rumah,

Itu tentu adalah fakta, bahwa kalangan generasi muda saat ini alias generasi millenial, memang terkenal dengan generasi yang up to date.Yang selalu mementingkan kepentingan sesaat dibandingkan kepentingan jangka panjang dalam hal ini rumah atau hunian.

Coba sekarang kita amati di media sosial yang tengah digemari generasi muda seperti Instagram, Twitter, dan Path. Ada berapa akun yang selalu menampilkan ke-glamoran yaitu berupa jalan-jalan dan menikmati makanan mewah yang seakan menjadi kebutuhah sehari-hari. Itu adalah contoh generasi millenial sebagai penerus dimasa depan, seakan masuk dan terperosok kedalam jurang konsumtif yang bisa berujung pada kesulitan di masa depan.

Kembali ke rasa bosan yang menyebabkan semakin berkembangnya budaya konsumtif, tentu adalah fenomena di tengah semakin derasnya arus industrialisasi di dalam negeri maupun di lar negeri. kalangan generasi millenial adalah penyumbang terbesar dari budaya konsumtif, yang berkembang dari rasa bosan yang mana akan selalu ingin merasa kekinian alais up to date.

Kurangnya fasilitas taman di setiap kota besar di indonesia

Pasti pembaca akan bingung pada point ini, kok taman, emang apa ngaruhnya dalam pola hidup konsumtif? Tentu saja berpengaruh, karena dikala pemerintah kurang menyediakan fasilitas umum berupa taman kota disetiap kota besar, maka akan berpengaruh terhadap gaya dan pola hidup masyarakatnya.

Karena tanpa adanya taman-taman kota, para generasi muda selalu menjadi kan cafe dan mall sebagai tempat nongkrong atau pertemuan. Sebagai pembanding, di negara-negara maju, terutama di benua Eropa. Taman kota adalah tempat pertemuan yang sering dijadikan tempat terfavorit bagi muda-mudi untuk melakukan pertemuan baik dengan teman, maupun dengan pacar.

Coba bayangkan berapa uang yang bisa dihemat ketika kita melangsungkan pertemuan ditaman kota dibandingkan di mall? Artikel saya kali ini bukan mengajak pembaca untuk jadi pelit loh, bukan hehe,.Tetapi pola hidup konsumtif masyarakat kita yang menjadikan nongkrong dicafe dan dimall aadalah kebutuhan mutlak. Tentu tak terlepas dari peran pemerintah yang kurang menyediakan fasilitas publik yang memadai bagi warganya.

Coba lihat di film-film asing, pasti taman kota tak terlepas dari berbagai kegiatan pada muda-mudinya. Budaya ke mall dan cafe dalam setiap pertemuan yang kadang menyebabkan kita menjadi sangat konsumtif. Tentu tak terlepas dari masih kurangnya fasilitas publik di negara kita ini.

Menjadi konsumtif adalah pilihan bagi kita sendiri, mau memikirkan rencana jangka panjang atau jangka pendek. Kesenangan jangan pendek atau jangka panjang. Semua kembali kepada pembaca, karena dalam artikel ini saya hanya sekedar berbagi pemikiran saya. Karena berdasarkan fakta memang sangat mengejutkan, karena generasi millenial termasuk juga saya hehe,.akan terancam tidak memiliki rumah sendiri pada 10-20 tahun kedepannya. Tentu adalah fakta yang sangat mengejutkan.

Sebagai negara anggota G-20 alias negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Indonesia tentu akan menjadi sasaran empuk sebagai "pasar potensial penjualan produk". Bagi negara-negara industry besar seperti Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, Korea, dan Taiwan. Untuk memasarkan berbagai produknya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun