Ketersediaan energi bersih dan terjangkau telah menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan 2030, dimana keberlanjutan energi menjadi isu global serta memerlukan komitmen pemerintah pusat maupun pemerintah lokal untuk turut melaksanakan tujuan tersebut. Di Indonesia, kebijakan energi baru dan energi terbarukan tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional (KEN).Â
Dalam dokumen tersebut, energi baru dan energi terbarukan ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025, serta pada tahun 2050 minimal mencapai 31%. Sebaliknya, ketergantungan terhadap minyak bumi dan batu bara ditargetkan akan berkurang, dengan masing-masing persentase sebesar 20% dan 25%.Â
Untuk mencapai target tersebut, maka diperlukan berbagai upaya serta program yang penjabaran dan pelaksanaannya dituangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) serta Rencana Umum Energi Daerah setingkat Provinsi (RUED-P) [1].
Sejak terbit Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya (ESDM) No. 49 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero), hingga saat itu september 2019, telah meningkatkan pengguna PLTS Atap mencapai 181% dari sebelum diterbitkannya regulasi tersebut.
Indonesia diharapkan dapat mengurangi penggunaan energi berbahan dasar fosil serta beralih dengan mengggunakan energi baru dan terbarukan (EBT). Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak perlu karena kondisi geologi Indonesia banyak patahan dan rawan bencana sehingga membahayakan masyarakat.
Maka kewajiban kita sebagai manusia harus menciptakan wilayah atau kehidupan yang lebih baik seperti dengan menggunakan energy baru terbarukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang terjadi.Â
Terus mencari dan berpikir untuk tidak mencemari lingkungan sekitar atau wilayah sekitar maka dari itu salah satu EBT (Energi Baru Terbarukan) sangat berpotensi digunakan sebagai alternatif energi.Â
Tenaga surya merupakan sumber energi tak terbatas, karena energi matahari merupakan energi terbesar di Bumi. Bagi negara-negara tropis seperti Indonesia, sinar matahari sangatlah mudah untuk ditemui.Â
Rata-rata insolasi harian Indonesia berkisar antara 4,5 – 4,8 kWh/m2/hari [2]. Sehingga berpotensi untuk mengembangkan energi surya menjadi sumber energi terbarukan yang dapat dimiliki oleh setiap keluarga atau rumah. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada 2025 mencapai 23 persen.
Sementara itu, lembaga survei dan konsultan energi baru terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan pada bangunan milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemkot Semarang, dan bangunan Bupati/Walikota di wilayah Jawa Tengah bisa mengawali pemanfaatan PLTS Atap. Perhitungan potensi ini belum memasukkan bangunan publik lainnya.