Mohon tunggu...
Demanda Bima
Demanda Bima Mohon Tunggu... Seniman - rwa bhineda

rwa bhineda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara "Tahlilan", Nilai Kolektif, dan Toleransi Bangsa Indonesia

3 Agustus 2018   02:44 Diperbarui: 4 Agustus 2018   18:37 3012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak ilmuan sosial memandang bahwa agama terutama berfungsi sebagai alat mengabsahkan dan melindungi kepentingan-kepentingan politik dan kelas yang telah mapan yang dilayani oleh sistem politik itu. 

Menurut pandangan ini, agama adalah kakuatan konservatif secara inhern, yang secara aktif, meningkatkan pemeliharaan orde politik dan sosial yang telah mapan.

Bahkan lebih dari itu agama atau paham keagamaan sering berfungsi sebagai panggilan berhimpun guna melakukan perubahan-perubahan besar (Sanderson, 1995).

Sayangnya fenomena yang terjadi di Indonesia, kekuatan agama dijadikan sebagai alat kekuasaan kaum elite, terbukti terjadinya peristiwa 411 dan 212 dalam memenangkan kekuasaan  di Ibu Kota untuk menjajah Indonesia yang kaya raya. Kaum Muslimin mayoritas yang aneh, tidak memerlukan formula seperti Gorbachevisme, Balkanisasi, atau Arab Spring.

Cukup sejumlah paket adu domba, tipu-tipu wacana dan program iming-iming keuangan. Tidak akan ada yang istiqamah dan telaten (sabar dan cermat) dalam menolong bangsa ini untuk dipandu memproses keseimbangan pandangan, objektivisasi atau proporsionalisasi. Kaum intelektual di level menengah tidak berdialektika dengan publik untuk proses semacam itu. 

Tidak susah untuk memasukkan mereka ke dalam jala besar tipudaya global, karena saku mereka tidak disiapkan untuk menyimpan idealisme, ideologi, atau daya juang. Melainkan dikosongkan untuk tawaran karier, akses politik, dan ekonomi.

Menurut Auguste Comte, konsensus terhadap kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan dasar utama untuk solidaritas dalam masyarakat.  Tidak mengherankan kalau agama dilihat sebagai sumber utama solidaritas sosial dan konsensus.

Selain itu kepercayaan agama juga mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan sosial. Ikatan emosional itu didukung oleh kepercayaan bersama dan partisipasi bersama dalam kegiatan-kegiatan pemujaan (Johnson, 1994). 

Hal ini mengisaratkan manfaat tahlilan-yasinan diyakini sebagian masyarakat sebagai media untuk menyambung budaya kekerabatan (silaturahmi) dan kerukunan antarwarga.

Berpijak dari teori di atas menunjukkan, bahwa fenomena tahlilan yang begitu luas pemaknaannya dari mulai awal muncul yang tidak bisa dipisahkan dengan adanya ritus kematian. Sebagai fenomena agama, sebagai tradisi relasi jamaah, sampai pada pembentuk integrasi sosial politik. Sedangkan sehubungan dengan masalah kematian, dari jaman primitif sampai sekarang senantiasa ditandai oleh suatu ritual. 

Robertson Smith berpendapat bahwa ritus dapat memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional di antara individu-individu (Geertz, 1993).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun