Pada abad ke-21, teori akuntansi berkembang dengan memperluas makna capital dan income ke dalam dimensi sosial dan lingkungan (Wolk et al., 2025). Modal tidak hanya dipandang sebagai sumber daya finansial, tetapi juga meliputi human capital, social capital, dan natural capital (Wolk et al., 2025). Demikian pula, laba kini mencerminkan value creation yang berkelanjutan melalui pelaporan terintegrasi seperti Integrated Reporting (IR) dan Environmental, Social, and Governance (ESG) metrics (Wolk et al., 2025).
Pendekatan ini menempatkan laba bukan sekadar hasil ekonomi, tetapi juga ukuran kontribusi sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan (Wolk et al., 2025). Dengan demikian, konsep laba menjadi lebih etis dan reflektif terhadap tanggung jawab sosial korporasi (corporate social accountability) (Wolk et al., 2025).
Â
Wolk dkk. menjelaskan bahwa struktur teori akuntansi tidak hanya berdasar pada prosedur teknis, tetapi juga pada landasan logika dan filsafat ilmu (Wolk et al., 2025). Dalam hal ini, akuntansi berkembang melalui lima kerangka logika: deduktif, induktif, positivistik, kritis, dan hermeneutik (Wolk et al., 2025).
Logika deduktif menurunkan prinsip umum menjadi aturan khusus, seperti asumsi going concern dan monetary unit yang menjadi dasar pengukuran laba (Wolk et al., 2025). Logika induktif menekankan pengamatan empiris terhadap praktik bisnis nyata, misalnya penggunaan historical cost accounting yang terbukti andal di dunia usaha (Wolk et al., 2025).
Sementara itu, logika positivistik menekankan objektivitas dengan mengukur laba berdasarkan transaksi yang dapat diverifikasi (Wolk et al., 2025). Logika kritis dan hermeneutik menambahkan dimensi reflektif, di mana akuntansi tidak hanya memotret fakta ekonomi, tetapi juga menafsirkan makna sosial di balik laporan keuangan (Wolk et al., 2025).
Pendekatan ini menghasilkan pemahaman bahwa akuntansi merupakan ilmu sosial terapan yang memadukan rasionalitas ilmiah dan tanggung jawab etis (Wolk et al., 2025).