Hutan Mangrove dan Perempuan Penjaga PesisirÂ
Oleh: Della Evelin
 Indonesia adalah bagian dari surga dunia, alamnya yang indah membuat siapapun terpesona. Mangrove adalah salah satunya, anugerah dari Tuhan yang kaya akan manfaat yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada tahun 2020, luas mangrove mencapai lebih dari 3,3 juta hektare. Dari Sabang sampai Merauke mangrove tumbuh dengan gagahnya, membentang dari Papua, Kalimantan, hingga Sumatera. Dengan anugerah yang besar juga, berarti kita harus pandai menjaganya dengan tanggung jawab yang besar pula.Â
Hutan mangrove harus tumbuh dengan tangguh, ia tumbuh di tempat yang penuh dengan tantangan dan rintangan, diantara pasang-surut air laut, di pantai yang berlumpur dengan akar pohon yang terendam nyaris setiap waktu. Tuhan adalah Maha baik dengan segala sisi baiknya, setiap apapun yang diciptakan-Nya mempunyai manfaat yang tak terhingga. Seperti mangrove yang hidup tak sia-sia, sepanjang hidupnya menjalankan tugasnya sebagai pencegah abrasi pantai, akar-akarnya yang kokoh menahan tanah dan meredan gelombang. Mangrove hadir sebagai tameng yang melindungi makhluk-makhluk hidup dibaliknya, ikan kecil yang butuh dilindungi, kepiting-kepiting, kerang, dan lainnya yang membutuhkan mangrove sebagai rumah.Â
Namun sayangnya, tak selamanya hutan mangrove berdiri kokoh, ada kalanya ia tumbang, sakit, dan bahkan mati. Seperti kondisi kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Mangrove Pantai Hamadi, Teluk Youtefa tak seindah dulu lagi, pohon-pohon sebagai rumah bagi makhluk-makhluk kecil itu hampir punah oleh ulah manusia. Pada Minggu, 16 Juni 2024 kawasan tersebut yang berada di Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua itu rusak, alam yang dianugerahi oleh Tuhan tidak dijaga dengan baik, ketamakan manusia merusak segalanya, dan merugikan banyak hal.Â
Kementerian Lingkungan Hidup melalui keputusan Menteri Nomor 201 Tahun 2004 menjelaskan bahwasanya standar kerusakan mangrove berdasarkan jumlah pohon per hektar dan tingkat penutupan tajuk. Jika kerapatan pohon masih berkisar diatas 1.500 hektare dengan tutupan lebih dari 75%, maka kondisinya tergolong ringan, namum jika kondisinya dibawah 100 hektare dan tutupannya kurang dari 50% maka menjadi kerusakan berat.
 Dimata manusia yang tidak bertanggung jawab, mangrove bukanlah anugerah namun harta yang bisa ditebang kapan saja hanya untuk kepentingan pribadinya. Pada saat hutan mangrove ditebang habis-habisan, banyak yang merasa dirugikan seperti warga lokal khususnya perempuan Enggros yang menggantungkan hidupnya pada hutan mangrove tersebut. Bagi mereka, mangrove adalah rumah yang harus dijaga dan dirawat, mangrove 1  juga dianggap sebagai anak-anak dari para perempuan Enggros yang harus dibesarkan dan dilindungi sampai kapanpun. Perempuan Enggros dengan lantang berdiri paling depan jika ada yang berani merusak mangrove tersebut.Â
Suatu hari mama Meraudje, sebagai salah satu perempuan Enggros yang aktif mengkampanyekan cinta alam dan lingkungan tersebut berujar "setelah teluk ditimbun, sebagian besar wilayah pencarian ikan, kerang dan kepiting rusak dan hilang". Padahal hutan mangrove adalah tempat pencaharian para perempuan Enggras, ditengah ombak laut yang pasang surut, ditengah teriknya matahari yang menyengat, dibalik senyum yang indah para perempuan Enggros, mereka akan senantiasa menjaga hutan mangrove apapun situasi dan kondisinya.Â
Dipagi hari yang indah, matahari bersinar dengan kuatnya. Sinarnya yang hangat membuat para mama semakin bersemangat untuk menyusuri jalan menuju hutan mangrove. Suara angin yang merdu, berpadu dengan suara dedaunan dari lebatnya hutan mangrove kala itu. Senina, perempuan muda yang ikut serta ke dalam pergerakan para mama yang akan menanam kembali hutan mangrove yang hilang. Ia berdiri sembari termenung diantara pohon-pohon mangrove yang layu, kepalanya penuh dengan kenangan masa kecilnya, ketika ia ikut dengan ibunya untuk mencari ikan di hutan ini.Â
Para mama dengan semangat yang tak pernah luntur, dengan senyum yang tulus itu dan tangan yang tak pernah berhenti menanam kembali bibit-bibit mangrove agar dengan cepat kembali seperti dulu kala. Disepanjang jembatan merah, area yang dulu merupakan bagian dari hutan perempuan Tonotwiyat, sebuah area yang dimana para mama mencari kerang dan ikan dalam sunyi dan tanpa busana, tradisi adat yang turun temurun dengan indahnya. Senina kembali tersenyum ketika melihat para mama dengan semangat menanam kembali bibit-bibitnya. Dalam hati Senina berharap bahwa suatu saat anaknya akan turut merasakan apa yang ia rasakan sewaktu kecil. Mencari sesuap makanan di area hutan ini dengan sunyi dan hati yang damai.Â
Namun, pikirannya kini melayang Senina kembali cemberut ketika melihat kenyataan yang ada. Hutan yang dulu menjadi tempat yang teduh dan nyaman untuknya dan para mama mencari kerang kini terbuka lebar, terlihat dengan jelas dari jalan raya. Privasi perempuan hilang, dan mungkin adat istiadat yang telah menjadi turun temurun itu akan segera hilang jika ia dan para mama lain tidak segera bertindak.Â