Mohon tunggu...
della evelin
della evelin Mohon Tunggu... Mahasiswi Universitas Darussalam Gontor – Prodi Hubungan Internasional

Saya adalah mahasiswi Hubungan Internasional yang memiliki ketertarikan dalam dunia tulis-menulis dan literasi. Aktif menulis opini, esai, dan artikel seputar isu sosial, budaya, dan internasional. Menjadikan membaca sebagai rutinitas harian untuk menambah wawasan dan memperkaya sudut pandang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hutan Mangrove dan Perempuan Penjaga Pesisir

27 Juni 2025   16:03 Diperbarui: 27 Juni 2025   16:03 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hutan Mangrove dan Perempuan Penjaga Pesisir 

Oleh: Della Evelin

 Indonesia adalah bagian dari surga dunia, alamnya yang indah membuat siapapun terpesona. Mangrove adalah salah satunya, anugerah dari Tuhan yang kaya akan manfaat yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada tahun 2020, luas mangrove mencapai lebih dari 3,3 juta hektare. Dari Sabang sampai Merauke mangrove tumbuh dengan gagahnya, membentang dari Papua, Kalimantan, hingga Sumatera. Dengan anugerah yang besar juga, berarti kita harus pandai menjaganya dengan tanggung jawab yang besar pula. 

Hutan mangrove harus tumbuh dengan tangguh, ia tumbuh di tempat yang penuh dengan tantangan dan rintangan, diantara pasang-surut air laut, di pantai yang berlumpur dengan akar pohon yang terendam nyaris setiap waktu. Tuhan adalah Maha baik dengan segala sisi baiknya, setiap apapun yang diciptakan-Nya mempunyai manfaat yang tak terhingga. Seperti mangrove yang hidup tak sia-sia, sepanjang hidupnya menjalankan tugasnya sebagai pencegah abrasi pantai, akar-akarnya yang kokoh menahan tanah dan meredan gelombang. Mangrove hadir sebagai tameng yang melindungi makhluk-makhluk hidup dibaliknya, ikan kecil yang butuh dilindungi, kepiting-kepiting, kerang, dan lainnya yang membutuhkan mangrove sebagai rumah. 

Namun sayangnya, tak selamanya hutan mangrove berdiri kokoh, ada kalanya ia tumbang, sakit, dan bahkan mati. Seperti kondisi kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Mangrove Pantai Hamadi, Teluk Youtefa tak seindah dulu lagi, pohon-pohon sebagai rumah bagi makhluk-makhluk kecil itu hampir punah oleh ulah manusia. Pada Minggu, 16 Juni 2024 kawasan tersebut yang berada di Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua itu rusak, alam yang dianugerahi oleh Tuhan tidak dijaga dengan baik, ketamakan manusia merusak segalanya, dan merugikan banyak hal. 

Kementerian Lingkungan Hidup melalui keputusan Menteri Nomor 201 Tahun 2004 menjelaskan bahwasanya standar kerusakan mangrove berdasarkan jumlah pohon per hektar dan tingkat penutupan tajuk. Jika kerapatan pohon masih berkisar diatas 1.500 hektare dengan tutupan lebih dari 75%, maka kondisinya tergolong ringan, namum jika kondisinya dibawah 100 hektare dan tutupannya kurang dari 50% maka menjadi kerusakan berat.

 Dimata manusia yang tidak bertanggung jawab, mangrove bukanlah anugerah namun harta yang bisa ditebang kapan saja hanya untuk kepentingan pribadinya. Pada saat hutan mangrove ditebang habis-habisan, banyak yang merasa dirugikan seperti warga lokal khususnya perempuan Enggros yang menggantungkan hidupnya pada hutan mangrove tersebut. Bagi mereka, mangrove adalah rumah yang harus dijaga dan dirawat, mangrove 1  juga dianggap sebagai anak-anak dari para perempuan Enggros yang harus dibesarkan dan dilindungi sampai kapanpun. Perempuan Enggros dengan lantang berdiri paling depan jika ada yang berani merusak mangrove tersebut. 

Suatu hari mama Meraudje, sebagai salah satu perempuan Enggros yang aktif mengkampanyekan cinta alam dan lingkungan tersebut berujar "setelah teluk ditimbun, sebagian besar wilayah pencarian ikan, kerang dan kepiting rusak dan hilang". Padahal hutan mangrove adalah tempat pencaharian para perempuan Enggras, ditengah ombak laut yang pasang surut, ditengah teriknya matahari yang menyengat, dibalik senyum yang indah para perempuan Enggros, mereka akan senantiasa menjaga hutan mangrove apapun situasi dan kondisinya. 

Dipagi hari yang indah, matahari bersinar dengan kuatnya. Sinarnya yang hangat membuat para mama semakin bersemangat untuk menyusuri jalan menuju hutan mangrove. Suara angin yang merdu, berpadu dengan suara dedaunan dari lebatnya hutan mangrove kala itu. Senina, perempuan muda yang ikut serta ke dalam pergerakan para mama yang akan menanam kembali hutan mangrove yang hilang. Ia berdiri sembari termenung diantara pohon-pohon mangrove yang layu, kepalanya penuh dengan kenangan masa kecilnya, ketika ia ikut dengan ibunya untuk mencari ikan di hutan ini. 

Para mama dengan semangat yang tak pernah luntur, dengan senyum yang tulus itu dan tangan yang tak pernah berhenti menanam kembali bibit-bibit mangrove agar dengan cepat kembali seperti dulu kala. Disepanjang jembatan merah, area yang dulu merupakan bagian dari hutan perempuan Tonotwiyat, sebuah area yang dimana para mama mencari kerang dan ikan dalam sunyi dan tanpa busana, tradisi adat yang turun temurun dengan indahnya. Senina kembali tersenyum ketika melihat para mama dengan semangat menanam kembali bibit-bibitnya. Dalam hati Senina berharap bahwa suatu saat anaknya akan turut merasakan apa yang ia rasakan sewaktu kecil. Mencari sesuap makanan di area hutan ini dengan sunyi dan hati yang damai. 

Namun, pikirannya kini melayang Senina kembali cemberut ketika melihat kenyataan yang ada. Hutan yang dulu menjadi tempat yang teduh dan nyaman untuknya dan para mama mencari kerang kini terbuka lebar, terlihat dengan jelas dari jalan raya. Privasi perempuan hilang, dan mungkin adat istiadat yang telah menjadi turun temurun itu akan segera hilang jika ia dan para mama lain tidak segera bertindak. 

Senina kembali melihat di sekelilingnya, matanya yang indah menatap tajam sampah sampah yang berserakan, serta limbah pabrik yang tidak bertanggung jawab. Air limbah yang keruh bercampur dengan air laut yang jernih itu. Ia geram, mulutnya tak henti mengoceh karena alam yang ia jaga beserta para mama yang lain kini hampir rusak. Senina semakin yakin bahwa ia harus menggerakan Perempuan lain agar ikut serta membangun kembali 2  hutan mangrovenya agar seperti sedia kala, dan adat yang telah ada dari nenek moyangnya tetap terjaga. Dalam hatipun ia berdo'a untuk kesejahteraan perempuan Papua, keluarganya, serta dirinya sendiri agar senantiasa kuat menjaga anugerah dari Tuhan yang sangat indah ini. 

Tak hanya seorang diri, Senina mengumpulkan para komunitas pencinta hewan, komunitas motor, dan pengguna drone untuk kembali menanam bakau, membersihkan pantai, dan kampanye berupa pentingnya menjaga alam. Dengan seru Senina melantang memimpin di barisan para mama agar masyarakat yang lain juga peduli bahwa hutan mangrove adalah anugerah dari Tuhan yang harus dijaga dari dulu, kini, hingga nanti.   

Senina dan para mama hanya berharap untuk para perempuan dan masyarakat Papua yang lain sadar bahwa hutan mangrove bukan hanya sekedar tanah, melainkan warisan dari nenek moyang yang tak ternilai harganya, tidak untuk dijual, tidak untuk dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, tidak untuk dibabat hingga gundul. Namun, hutan mangrove adalah benteng yang melindungi para mama dan masyarakat lain dari tingginya ombak laut, hutan mangrove juga sebagai sumber kehidupan yang terus menghidupi hingga generasi ke generasi dan terus menjaga alam sesuai dengan ajaran leluhur. 

Kisah perjuangan para mama dari perempuan Enggros ini merupakan bagian dari diskusi oleh forum bumi yang diselenggarakan  Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, yang menampung suara-suara perempuan yang dengan berani berjuang untuk membangun hutan mangrove kembali. Dengan lantang para mama berbicara akan kehilangan rumahnya yang sudah ia jaga dengan penuh kasih sayangnya. Hal yang membuktikan ketulusan cinta perempuan Enggros akan laut dan tanahnya, hutan mangrove dan ekosistem di dalamnya.

 Di tepi laut Senina berdiri, sembari tersenyum dengan tulus, wajahnya yang manis bersinar sesuai dengan suasana hatinya yang riang. Ia yakin bahwa "rumah"nya akan kembali seperti sedia kala, ia yakin komunitasnya bisa membangun kembali kerusakan yang telah terjadi, dan ia yakin bahwa perempuan-perempuan Enggras adalah perempuan kuat yang berani melawan siapapun yang merusak alam sebagai anugerah dari Tuhannya.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun