Di sebuah sore yang teduh, aku duduk di atas sebuah ayunan tua yang digantung di antara dua tiang kuning cerah. Sekilas, ini hanyalah momen biasa. Namun di balik foto sederhana itu, tersimpan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar sebuah ayunan yang bergoyang lembut di tengah alam hijau.
Hidup di zaman yang serba cepat kadang membuatku lupa bagaimana rasanya berhenti sejenak. Lupa bagaimana caranya menarik napas dalam-dalam, membiarkan angin menyentuh pipi, dan membiarkan pikiran mengembara tanpa arah. Saat itulah aku memutuskan untuk menjauh dari rutinitas. Bukan untuk lari, tapi untuk menyapa diriku sendiri yang sudah lama tak kudengar.
Aku ingat jelas suasana tempat itu. Udara yang bersih, pepohonan yang menjulang, dan suara burung yang tak pernah terdengar di tengah hiruk pikuk kota. Di kejauhan, tampak rumah-rumah beratap biru muda yang berdiri rapi di bawah kaki bukit. Langit agak mendung, tapi tak membuat suasana menjadi murung. Justru, ia menambah rasa tenang yang jarang kutemukan.
Duduk di ayunan itu, aku merasa seperti kembali menjadi anak kecil. Saat di mana beban hidup belum terlalu berat, dan dunia terasa seperti taman bermain yang tak terbatas. Saat ayunan itu bergoyang perlahan, aku menutup mata. Dalam sekejap, bayangan masa kecil, tawa, dan kenangan bersama keluarga melintas begitu cepat. Rasanya hangat. Rasanya damai.
Momen itu membuatku sadar, bahwa terkadang kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang jauh, padahal yang kita butuhkan justru momen sederhana yang dekat. Duduk, diam, dan berbicara dengan hati sendiri. Bukan dengan suara, tapi dengan rasa.
Di era media sosial, semua orang berlomba menunjukkan bahagia mereka. Tapi seringkali itu hanya topeng. Kita takut terlihat lemah, takut dianggap gagal, padahal tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Tidak apa-apa untuk berhenti sejenak dan berkata, "Aku butuh waktu."
Tempat ini, ayunan ini, adalah caraku memberi ruang untuk diriku sendiri. Aku tidak tahu apakah besok aku akan kembali kuat, atau masih butuh waktu lebih lama. Tapi yang pasti, aku ingin jujur pada diri sendiri. Dan dari ayunan sederhana ini, aku belajar bahwa kebahagiaan tidak harus megah. Kadang, cukup dengan senyum kecil di tengah alam, kita sudah menemukan kembali serpihan jiwa yang sempat hilang.
Foto itu kini kusimpan baik-baik. Bukan karena aku ingin pamer, tapi sebagai pengingat bahwa pernah ada waktu di mana aku memilih untuk berhenti sejenak dan kembali menjadi manusia seutuhnya --- yang merasakan, merenung, dan mensyukuri.
Kesimpulan;Â
Setiap orang butuh "ayunan"-nya masing-masing. Tempat untuk diam dan mendengar suara hati. Mungkin kamu menemukannya di gunung, di tepi laut, atau bahkan di halaman rumah sendiri. Yang penting adalah keberanian untuk berhenti dan jujur pada diri sendiri. Karena di situlah, awal dari kebahagiaan yang sesungguhnya dimulai.