Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pertemuan Khadijah dengan Nabi Muhammad (1)

5 Maret 2018   10:32 Diperbarui: 5 Maret 2018   10:38 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Demi memastikan, Khadijah kembali mendatangi sepupunya itu. Dia ceritakan semua tentang Muhammad, termasuk cerita dari Maisarah. Waraqah terkejut dan meminta Khadijah mengulangi ceritanya. Setelah diulangi, Waraqah menyimak dengan sangat teliti, termenung, terdiam sejenak. Dengan gugup, Waraqah berkata, "Kalau benar apa yang kaukatakan itu, Khadijah, maka tak ayal lagi itulah ciri-ciri nabi umat ini. Inilah saat yang ditunggu-tunggu itu"

Kesimpulan Khadijah serta informasi Maisarah dan Waraqah tentang diri Muhammad, meninggalkan perasaan tidak menentu pada diri Khadijah. Sejak itu, hatinya selalu gelisah. Ada sesuatu yang terus melintas di hatinya, tidak bisa dikendalikan, liar dan menyiksa. Berulangkali Khadijah menepisnya, tetapi berulangkali juga perasaan itu muncul. Makin dilupakan, makin kuat bayangan itu datang. Ketika dirasa ia tidak bisa lagi menanggungnya, Khadijah memutuskan berbagi cerita dengan teman dekatnya, Nafisah bin Munyah.

Sore hari yang lenggang ketika mereka asyik bercengkrama, tiba-tiba Nafisah berkata, "Kulihat wajahmu bermendung. Sepertinya kau menyembunyikan sesuatu. Atau sekedar dugaanku saja?"

Khadijah terkaget dan terdiam cukup lama mendengar pertanyaan itu. Terdiam tidak sebagaimana biasanya. Ketika Nafisah mendesaknya supaya menceritakan apa yang dialaminya, tanpa sadar Khadijah bertanya, "Apa pendapat mu tentang Muhammad?"

"Kenapa kau bertanya begitu?Apa pedulimu?" Tetapi setelah melontarkan pertanyaan itu, Nafisah sadar apa yang sebenarnya bergolak dalam diri Khadijah. Mereka pun terdiam cukup lama.

Sadar bahwa sahabatnya telah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hatinya, Khadijah pun berani berbicara "Tetapi mana mungkin aku dengan Muhammad?Dia pemuda belia, dimuliakan di tengah kaumnya, bersih nasabnya. Sedangkan aku wanita berumur empat puluh, lima belas tahun lebih tua darinya, janda yang dua kali bersuami. Apakah mungkin ia mau menerimaku?"

Nafisah refleks menjawab "Tidak, Khadijah! Meskipun umurmu sudah berkepala empat, di tengah kaummu kau memiliki tempat terhomat, Nasabmu agung, kau juga tampak muda dan kuat, seperti masih berusia tiga puluh, atau bahkan dibawah itu. Dan jangan lupa, tidak sedikit orang yang melamarmu, membincangkanmu setiap hari, tetapi mereka kau tolak"

Khadijah lega mendengar jawaban sahabatnya itu. Menyejukan dan menumbuhkan harapan bahwa mimpinya bisa menjadi kenyataan. Tetapi tiba-tiba dari Khadijah berkata, "Tetapi, manakah jarak antara hasratku dan hasrat Muhammad Ibn Abdullah, antara cintaku dan cintanya?Bagaimana ia bisa tahu jalan menuju aku, dan bagaimana ia bisa menempuh jalan itu?Nafisah, apa yang kita bicarakan ini tak lebih dari seiris mimpi yang sangat jauh, yang segera sirna saat mata terjaga. Ini hanya puncak lamunanku semata."

Nafisah tersenyum. Lalu sambil menepuk dada dia berkata, "Serahkan masalah ini padaku, pasti beres."Selesai berkata seperti itu, Nafisah pun pergi. Meninggalkan Khadijah yang duduk termenung sendiri.

Dalam kesendiriannya, tiba-tiba Khadijah teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Kala itu waktu sudah memasuki Dhuha. Ketika Khadijah sedang berkumpul dan bersenda gurau dengan sahabat-sahabat kecilnya, tiba-tiba muncul seorang Yahudi di hadapan mereka. Tanpa diketahui darimana munculnya. Sepertinya orang itu dituntun kekuatan ghaib mendatangi Mekkah. Mungkin juga sudah mencium sesuatu yang menimbulkan ketakjuban dirinya kala itu. Laki-laki Yahudi berhenti tepat di depan mereka, tertawa sejadi-jadinya dan berkata, "Telah tiba masa kedatangan nabi terakhir, siapa di antara kalian dapat menjadi istrinyam, lakukanlah !" teriaknya.

Semua wanita yang berkumpul, tersentak mendengar ucapan lelaki itu. Mereka menganggap dia lelaki gila. Karenanya mereka membalas kata-kata laki-laki itu dengan makian dan cemoohan pahit. Tidak tertinggal juga disertai lemparan batu. Semua wanita-wanita yang berkumpul melakukan itu, kecuali Khadijah. Ia terkesan dengan kata-kata pria Yahudi itu.

Khadijah tidak tahu, kenapa tiba-tiba dia ingat peristiwa ini.  

Bilik-Bilik Cinta Muhammad

Dr. Nizar Abazhah

Penerbit Zaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun