Mohon tunggu...
DK Putra
DK Putra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Katalis

mahakecil aku || setengah buih, separuh debu || buanglah sampah pada tempatnya!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Belajar dari Keputusan yang Keliru

30 Januari 2021   06:31 Diperbarui: 30 Januari 2021   06:42 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: pixabay.com | ErikaWittlieb)

Catatan DK (2) 

Perkara Kamar Mandi

Sebagai seorang anak, tentu saja ingin melakukan yang terbaik untuk orangtuanya. Namun terkadang, harapan-harapan tersebut justru berbenturan dengan kenyataan yang tidak terbayangkan sama sekali.

Agustus 2018. Kulihat Abah keluar dari kamar. Jalannya tampak pincang. Dalam benakku, pasti ada yang nggak beres nih.

Spontan kuhampiri. Sambil menggenggam siku tangannya, aku bertanya gerangan apa yang terjadi. Tapi yang ada, eh, Abah malah kesakitan.

Ternyata Abah jatuh di kamar mandi. Begitu pengakuannya. Kebetulan kamar mandi (pribadi) ini berada di kamarnya sendiri.

Sejurus, aku bersama abang, membawa Abah ke tempat tukang urut (pijat). Kaki dan tangannya terkilir. Tak terbayang, apa jadinya kalau lebih fatal dari sekadar cedera kaki dan tangan. Atau, terkapar tanpa diketahui siapa-siapa. Duh, Gusti.

Semua bermula pada awal 2018. Aku dan abang memutuskan untuk bikin kamar mandi pribadi buat Abah. Tujuannya tak lain guna mempermudah Abah dalam urusan mandi dan buang hajat. Dengan begitu, Abah tidak mesti susah-susah lagi menuju kamar mandi utama (sebelah dapur) yang berjarak lima belas meter dari kamarnya.

Keputusan tersebut bukan tanpa sebab. Usia Abah sudah 87 tahun. Kondisinya makin buyutan. Langkah kakinya teramat pelan bin lambat. Alias tidak bisa ngebut lagi.

Pernah kejadian. Saking kebeletnya, Abah tak kuasa menahan pipis sewaktu menuju kamar mandi utama. Air seni pun terpancar tak terbendung.

Mau marah? Oh, tentu tidak. Pemandangan itu justru mengantarkanku pada masa lampau. Membayangkan, begitulah aku semasa kecil. Pipis tak kenal kompromi dan basa-basi. Kalau sudah terujung, tembakkan saja.

Sempat pula, aku dan abang merayu Abah supaya mau dipakaikan pamper. Eh, Abah malah geli. Katanya, nanti jadi kayak bayi kolot. Risih dan nggak biasa. Alhasil, jadilah kamar mandi pribadi buat Abah.

Namun, setelah kejadian nahas itu, tak ada cerita selain merombak total. 

Sebagai gantinya, tepat di depan kamar Abah, ada gudang kecil yang akhirnya disulap menjadi kamar mandi mini. Nah, kalau sudah kebelet, tinggal mengayunkan kaki satu dua langkah saja. Apalagi Abah terbilang bisa bolak-balik pipis dalam hitungan satu jam. 

(Foto: Dokumen Pribadi. [kiri] pintu kamar mandi yang awalnya gudang kecil. [kanan] pintu kamar Abah) 
(Foto: Dokumen Pribadi. [kiri] pintu kamar mandi yang awalnya gudang kecil. [kanan] pintu kamar Abah) 

(Foto: Dokumen Pribadi. Spot untuk memantau kamar mandi dari kamarku)
(Foto: Dokumen Pribadi. Spot untuk memantau kamar mandi dari kamarku)

Secara tata letak, kamar mandi ini terpantau dari kamarku. Dan poin yang tak kalah penting ialah, aku meminta Abah supaya tidak mengunci pintu kamar mandi saat berada di dalamnya. Cukup ditutup dengan menyisakan sejengkal celah yang dibiarkan terbuka.

Untungnya, Abah setuju atas permintaanku. Dengan begitu, seluruh penghuni rumah -- para anak, menantu, cucu, hingga cicit -- bisa mengetahui segala kemungkinan yang terjadi tiap kali Abah menggunakan kamar mandi.

Sebenarnya, ada satu cara paling afdol yang bisa menepis rasa ketar-ketir. Yakni, langsung menemani Abah di kamar mandi. Begitulah maunya kami anak-anaknya ini. Akan tetapi, entah kenapa, sudah sepuh begitupun selalu ingin menunjukkan kesan kalau dirinya masih kuat, masih mampu, dan nggak usah dibantu. Duh, Abah.

Dari apa yang terjadi, aku petik satu pelajaran. Niat dan tujuan yang awalnya untuk mempermudah, siapa sangka justru mendatangkan musibah yang jelas-jelas tidak diinginkan.

Pemikiran sang anak dengan gambaran yang serba mudah itu, nyatanya bisa keliru saat harus dilakoni oleh orangtua. Konon lagi yang usianya sudah sepuh.

*** 

30 Januari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun