Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Festival dan Obyokan: Model Pertunjukan Reyog Ponorogo

27 Agustus 2023   10:38 Diperbarui: 27 Agustus 2023   10:42 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para jathil dalam reyog obyok. Sumber: Nanang Diyanto/Kompasiana

Adegan terakhir dari gelaran festival adalah Iring-iring di mana Prabu Kelana Sewandana memimpin jathil, bujang ganong, singo barong, dan warok. Tarian ini tidak lagi menonjolkan gerakan rancak, atraktif, dan dinamis seperti pada adegan-adegan sebelumnya. Sebagai adegan penutup, para penari memberikan hormat kepada dewan juri dan seluruh penonton. 

Prabu Kelana Suwandana memimpin adegan Iring-iring. Sumber: IG Grebegsuroponorogo
Prabu Kelana Suwandana memimpin adegan Iring-iring. Sumber: IG Grebegsuroponorogo

Gerakan ini sekaligus menegaskan bahwa ada etika panggung yang harus dihormati oleh para seniman reyog karena semua yang mereka lakukan dinilai oleh tim juri. Maka, festival selain memberikan peluang untuk melakukan inovasi koreografis dengan tetap memperhatikan pakem yang dikehendaki oleh pemerintah kabupaten Ponorogo, juga memunculkan batasan-batasan pertunjukan yang terkait etika demi azas kepatutan.

Struktur pertunjukan reyog festival dari awal hingga akhir memang bisa menjadikan kesenian rakyat ini sebagai tontonan qualified karena melibatkan para kreator dan intelektual untuk kepentingan kreativitas dan penilaian. Ribuan orang pun berkumpul, menikmati selebrasi koreografis yang dianggap pantas dan layak digelar untuk publik. 

Namun, bagi beberapa seniman tua yang sudah mengalami peristiwa budaya reyog dari era kepemimpinan Sukarno hingga saat ini, kemegahan FNRP tidak mampu membuat mereka bangga. Beberapa seniman reyog senior dari Kecamatan Sawoo mengatahkan bahwa kemegahan dan kemeriahaan pertunjukan festival reyog di era 2000-an memang patut diapresiasi. 

Banyak kelompok reyog dari luar Ponorogo yang hadir dan menyuguhkan hasil kreativitas mereka. Namun, kemeriahan itu seperti kurang “nggetih”, karena kegiatan seninya ditujukan demi mendapatkan juara. 


Sementara, pada pertunjukan reyog yang biasa dilakukan pada era kepemimpinan Sukarno, misalnya, benar-benar membawa semangat kerakyatan karena di gelar di tengah-tengah masyarakat serta tidak membuat jarak antara seniman dan penonton. Pada waktu itu, para seniman juga tidak terlalu merisaukan honor dari pertunjukan. 

Lebih dari itu, penyelenggaraan festival reyog juga membuat aturan-aturan koreografis yang membatasi para seniman rakyat untuk berpartisipasi.  

Festival dan Kepentingan Pariwisata 

Kehadiran festival yang menjadi bagian dari ritual Grebeg Suro tidak bisa dilepaskan dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo di masa Orde Baru untuk memaksimalkan potensi kesenian sebagai bagian dari aktivitas pariwisata yang bisa mendatangkan dan meramaikan kota yang tidak terlalu besar ini. 

Pada awalnya, pemerintah mengadapakan festival untuk kelompok reyog di Ponorogo. Karena animo kelompok reyog di luar Ponorogo, sejak 1995, festival reyog ditingkatkan levelnya menjadi “nasional.” 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun