Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Industri Ekstraktif dan Ekstraktivisme dalam Tatapan Kajian Budaya

25 Mei 2023   10:22 Diperbarui: 26 Mei 2023   07:48 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tambang Emas Tumpang Pitu di Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur(KOMPAS.com/ACHMAD FAIZAL) 

Sejak 1997, warga sudah melakukan gerakan untuk menolak aktivitas tambang emas di kawasan bukit Tumpang Pitu, Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Penolakan mereka lebih dikarenakan ancaman aktivitas pertambangan terhadap manusia dan lingkungan hidup. 

Namun demikian, pemerintah tetap saja menjaga dan menjamin keberlangsungan tambang dan, bahkan, mengizinkan rencana perluasan wilayah pertambangan. Argumen keterancaman, rupa-rupanya, belum juga membuat pemerintah menghentikan aktivitas pertambangan yang berbahaya. 

Pertimbangan ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan jelas menjadi alasan utama. Pemodal tambang dengan kekuatan uangnya pun menyebarluaskan beragam wacana yang menunjukkan keuntungan ekonomis, sosial, dan ekologis dari industri emas. 

Sebaliknya, rakyat yang memperjuangkan kehidupan dan lingkungan mereka dengan cara melawan pertambangan, dengan bermacam dalih pelanggaran hukum, dikenai hukuman. Realitas ini tentu menyedihkan karena kehidupan manusia dan makhluk hidup lain serta lingkungan alam yang menjamin kehidupan bukan menjadi pertimbangan utama rezim penguasa.

Permasalahan seperti yang berlangsung di Banyuwangi dan banyak wilayah lain Indonesia, nyatanya, merupakan permasalahan global yang menyita perhatian para pakar lintas disiplin dan menyebabkan lahirnya banyak gerakan masyarakat untuk melawan industri ekstraktif. 


Dalam definisi sederhana, industri ekstraktif merupakan usaha untuk mengambil bahan baku dari dalam bumi yang meliputi sektor pertambangan (batu bara, emas, besi, tembaga, nikel, dan mineral lainnya) serta sektor gas dan minyak bumi. Proses industri ekstraksi meliputi pengeboran, pemompaan, penggalian, dan penambangan. 

Sejarah panjang industri ekstraktif yang berlangsung di banyak negara, dari era kolonial sampai pascakolonial, menjadikannya objek penting yang berkontribusi terhadap perekonomian nasional dan internasional. Industri ekstraktif memainkan peran penting bagi kehidupan ekonomi lebih dari enam puluh negara.

Meskipun demikian, ragam permasalahan dimunculkan industri ekstraktif dalam skala lokal, nasional, dan internasional melahirkan banyak gerakan perlawanan dan kritik para akademisi. Para pakar kajian budaya (cultural studies) pun mulai mengarahkan perhatian mereka kepada industri ekstraktif dengan menelaah bermacam wacana, ideologi, kepentingan, relasi kuasa, dan kompleksitas lain yang menyertai aktivitas pertambangan. 

Upaya mereka merupakan usaha untuk membawa kajian budaya ke permasalahan terkini yang berlangsung di masyarakat. Industri eksktratif yang melibatkan kebijakan negara, kuasa pemodal, dan resistensi rakyat menjadi objek material kajian untuk menelaah formasi makna dan wacana, kepentingan, dan bagaimana dampaknya terhadap kondisi warga masyarakat serta bagaimana dinamika dan kompleksitas gerakan perlawanan yang mereka lakukan.

Siginifikansi Kajian Budaya untuk Industri Ekstraktif dan Ekstraktivisme

Dalam makna sempit, ekstraksi dipahami sebagai praktik industri yang mengekstrasi sumber daya alam tak terbarukan, terutama ekstraksi minyak, gas, dan mineral. Sementara, ekstraktivisme mengacu kepada ideologi, wacana, dan pengetahuan yang mendasari praktik industri ini. 

Namun, pemaknaan yang lebih baru diberikan dalam wujud neo-ekstrativisme, yakni konstruksi ideologis dan paradigma eksploitasi parah yang merupakan karakteristik kapitalisme kontemporer dan neoliberalisme. 

Areal tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Grasberg, Timika, Papua, Kamis (24/11/2011). (KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO) 
Areal tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Grasberg, Timika, Papua, Kamis (24/11/2011). (KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO) 

Menurut Junka-Aiko & Cortes-Severino (2017: 177) dalam pemaknaan baru tersebut, ekstraksi dan ekstraktivisme tidak lagi harus didefinisikan oleh jenis industri dan aktivitas tertentu, atau terkait dengan masalah tanah dan sumber daya alam sebagai objek tertentu yang tidak berhubungan dengan yang lain. 

Alih-alih, ekstraktivisme juga dipahami sebagai konsep analitis dan juga politik yang memungkinkan pemeriksaan dan artikulasi logika yang mendasari eksploitasi dan subjektifikasi yang lebih dalam yang merupakan pusat pergerakan globalisasi kapitalis dan neoliberalisme saat ini. 

Artinya, dalam ranah akademis mulai dikembangkan kajian-kajian kritis untuk membongkar bagaimana industri ekstraktif didesain berdasarkan ideologi yang mengarahkan eksploitasi lintas negara serta berkontribusi terhadap kekuasaan dan gerakan para kapitalis dan penguatan neoliberalisme.

Dalam ranah akademis, kajian ekstraktivisme sejatinya menarik untuk dibawa ke dalam kajian budaya, kajian politik, kajian pascakolonial, dan kajian dekolonial. Di masa lalu, industri ekstraktif merupakan aktivitas yang dilangsungkan di kawasan pinggir, wilayah jajahan, sedangkan kawasan metropolitan merupakan kawasan inti yang sebisa mungkin diamankan. 

Namun, realitas saat ini menunjukkan adanya ledakan pertambangan yang memecah belah masyarakat di negara-negara maju serta memunculkan banyak perlawanan pribumi seperti yang berlangsung di Skandinavia, Inggris, dan Amerika Serikat.  

Para pemodal tambang kulit putih harus menghadapi perlawananan di dalam negeri terhadap kebijakan pertambangan yang merupakan bagian dari kolonialisme. 

Sementara itu, di negara-negara pascakolonial atau negara-negara berkembang, kita sama-sama menyaksikan bagaimana industri ekstraktif dan proyek pembangunan berbasis neoliberal memprovokasi tingkat pemindahan paksa warga lokal, perusakan lingkungan, perpecahan dan disintegrasi sosial, serta perlawanan yang berani dan kompleks dari komunitas pribumi dan petani.

Melihat dinamika tersebut, Junka-Aiko & Cortes-Severino (2017: 178) berpendapat bahwa proyek politik (mengungkap kepentingan kuasa melalui representasi dan artikulasi wacana serta dampaknya bagi masyarakat) dalam kajian budaya memungkinkan kita untuk memikirkan kompleksitas makna dan konsekuensi ekstraktivisme serta untuk mencari dan memikirkan kemungkinan masa depan lainnya terutama dalam kaitannya dengan gerakan politik baru yang bisa diartikulasikan.

Dengan kacamata kajian budaya kita bisa mempertanyakann, misalnya, bagaimana proses, praktik, dan artikulasi yang terkait dengan ekstraktivisme menghasilkan subjektivitas dan strategi pemikiran tertentu dan memosisikan politik? 

Dengan latar belakang tersebut, cukup mengejutkan kiranya ketika ekstraktivisme belum mendapat perhatian khusus dalam kajian budaya, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam banyak tulisan ilmiah dan debat publik umum, perluasan industri ekstraktif terus dibahas terutama dari perspektif ekonomi, lingkungan dan pembangunan. 

Tambang batu bara di Kalimantan. Sumber: beritakaltim.co
Tambang batu bara di Kalimantan. Sumber: beritakaltim.co

Sebaliknya, kajian budaya untuk mempelajari ekstraksi dan ekstraktivisme akan memerlukan, misalnya, pemeriksaan (melalui konteks yang berbeda dan kasus khusus) konsekuensi sosial dan budaya ekstraktivisme, makna, implikasi, pengaruh, resistensi dan praktik sehari-hari, dan bagaimana mereka bersinggungan dengan lalu lintas globalisasi neoliberal dan eksploitasi intensif saat ini.

Masih menurut Junka-Aiko & Cortes-Severino (2017: 178), dengan membawa masuk kajian budaya ke dalam persoalan industri ekstraktif dan ekstraktivisme, setidaknya akan memperluas ruang lingkup dan jangkauan metode serta kerangka kerja analitis di mana ekstraktivisme dan konsekuensinya dapat ditelaah, diuraikan dan didiskusikan. 

Kita bisa bertanya secara kritis, dapatkah kajian budaya sebagai proyek politik membantu kita memahami pertaruhan epistemologis, ontologis, dan politik dari momen ekstraktif, dan membayangkan masa depan alternatif? 

Jika ekstraktivisme dipahami sebagai paradigma eksploitasi dan bukan mengacu pada serangkaian industri tertentu yang terbatas, apa artinya dalam konteks yang berbeda, dan melalui situs apa ia dapat dipelajari dan diperiksa? 

Bagaimana ekstraktivisme kontemporer dialami, dihayati dan dilawan secara transnasional dan di lokasi tertentu, melalui praktik kehidupan sehari-hari, melalui produksi budaya dan sosial, mempengaruhi dan melalui protes langsung dan perjuangan politik? 

Dengan cara apa ekstraktivisme dan perlawanan terhadapnya tercermin dalam budaya populer dan seni? Seperti apa model kajian budaya untuk membahas momen ekstraktif dalam politik dunia?

Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut menegaskan bahwa cakupan penelitian dengan menggunakan perspektif kajian budaya terhadap industri ekstraktif dan ekstraktivisme sangatlah luas. 

Dari aspek pembentukan istilah dan makna serta penyebarluasannya di kalangan akademisi dan masyarakat, kita bisa menelusuri bagaimana karakteristik wacana ekstraktivisme dan praktik industri ekstraktif di mapankan dalam bermacam media hingga bisa mempengaruhi kebijakan negara, pola pikir dan tindakan masyarakat, serta memunculkan resistensi. 

Yang tidak kalah penting adalah bagaimana industri pertambangan dimaknai oleh Negara dan masyarakat serta bagaimana bentuk resistensi lokal yang terhubungan resistensi nasional dan transnasional. 

Tentu, kita bisa menemukan dinamika, kontestasi, relasi kuasa, gerakan perlawanan, dan gerakan lain yang juga bisa menggerakkan perjuangan politik, seperti yang dilakukan komunitas pribumi di Amerika Latin. 

Apa yang tidak kalah penting adalah bagaimana wacana ekstraktivisme dikonstruksi dan disebarluaskan secara menarik melalui bergaam media dan bentuk budaya populer sehingga banyak warga masyarakat yang memberikan pemakluman dan konsensus. 

Sebagaimana kita ketahui budaya dan media populer merupakan situs kultural dan komunikasi yang cukup efektif untuk mengkampanyekan dan menyebarluaskan ideologi, sehingga apa-apa yang sejatinya merusak dan merugikan kehidupan manusia dan alam bisa jadi tampak menyenangkan dan menguntungkan. 

Sebaliknya, budaya dan media populer juga bisa dimanfaatkan oleh komunitas perlawanan untuk mengamplifikasi suara resisten mereka sehingga bisa disebarluaskan ke ranah nasional dan global. Semua itu merupakan cara pandang politik ala kajian budaya yang mungkin bisa membantu menguraikan permainan relasi kuasa para pemodal dan negara serta kemungkinan untuk melawannya, baik di ranah lokal, nasional, maupun global.

Mamahami Ekstraktivisme dalam Tatapan Kajian Budaya

Ekstraktivisme berawal dari kata extractivismo yang digunakan oleh masyarakat Amerika Latin yang berbahasa Spanyol ketika mereka berbincang sumber daya alam yang dieksploitasi serta kaitannya dengan resistensi masyarakat pribumi dan alternatif pasca-ekstraksi (Gudynas 2015, 2021). 

Ekstraktivisme sebagai sebuah konsep membentuk ansambel kompleks dari praktik penguatan diri, mentalitas, dan perbedaan kekuatan yang mendasari dan merasionalisasi cara-cara pengorganisasian kehidupan yang merusak secara sosio-ekologis melalui penaklukan, kekerasan, penipisan, dan non-timbal balik. 

Kawasan pegunungan di Konawe yang rusak akibat tambang nikel. (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)
Kawasan pegunungan di Konawe yang rusak akibat tambang nikel. (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)

Konsep ekstraktivisme telah bermetamorfosis, bergerak, dan berkembang melampaui analisis sektoral ekstraksi sumber daya alam, baik secara teoretis maupun geografis. 

Kalau dulu, sangat jarang perspektif teoretis yang bisa digunakan untuk memabahas ekstraktivisme, saat ini banyak ahli yang menghasilkan literatur yang mencoba mendefinisikan istilah tersebut dan menerapkannya pada berbagai kasus dan wilayah. Ini telah menghasilkan studi tentang ekstraktivisme dari berbagai jenis, yang terjadi pada skala geografis yang beragam, dan di berbagai ranah.

Nygren, et al (2017), mengelaborasi pendapat banyak pakar, mendefinisikan ekstraktivisme sebagai eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dengan pola pikir (wacana, pengetahuan, ideologi), politik, dan praktik yang menyertainya. 

Selain itu, ekstraktivisme juga mengacu pada moda eksploitasi intensif yang dilakukan di wilayah tertentu serta melibatkan mentalitas apropriasi dan logika komodifikasi alam di mana sumber daya alam dimanfaatkan sesuai kebutuhan para pemodal. 

Meskipun pemodal dan negara seringkali menjanjikan banyak perbaikan, seringkali lokasi industri, seperti kamp minyak dan lubang tambang, menjadi target penghilangan sumber daya secara cepat, dengan sedikit perhatian diberikan pada pengembangan struktur produktif lokal, pembagian keuntungan, atau sumber pekerjaan, karena proses penambahan nilai dilakukan di tempat lain. Contoh nyata adalah bagaimana selter untuk pengolahan hasil tambang di Papua dibuat di Gresik Jawa Timur. 

Ekstraktivisme sering menghasilkan dampak lingkungan-sosial yang beragam di lokasi industri, yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan kerentanan yang berbeda secara sosial. 

Ekstraktivisme bersifat global dalam dua dimensi: secara struktural dalam hal jaringan keuangan, korporasi, dan sektor ekonomi; dan secara spasial dalam bentuk skala planet, terkait dengan ketidakamanan dan krisis yang semakin intensif.

Beragamnya pendapat pakar terkait ekstraktivisme mendorong Chagnon, et al (2017: 762) untuk memosisikannya sebagai konsep pengorganisasian. Konsep ini mengatur dan mensintesa tubuh pengetahuan untuk melayani sebagai dasar intervensi progresif. 

Aktivitas tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung. (KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA) 
Aktivitas tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung. (KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA) 

Sebagai contoh konsep globalisasi yang sangat luas dan beragam. Para pakar berusaha mengorganisir beberapa pemahaman untuk mempermudah apa yang harus dilakukan secara akademik dan praksis terhadap realitas globalisasi. 

Jadi, peran konsep pengorganisasian adalah untuk mempromosikan dan mendorong eksplorasi lebih lanjut dari konsep yang ada, melalui eksplorasi komponen dan detail terpilah yang membentuk konsep menyeluruh. Konsep pengorganisasian dicirikan sebagai konsep yang bergantung pada konsep lain. 

Fitur yang menentukan dari konsep pengorganisasian adalah penerapannya dan kehadirannya dalam berbagai praktik empiris. Dengan demikian, konsep pengorganisasian melampaui teori, dan berfungsi untuk mengatur aktivitas manusia.

Konsep-konsep untuk mengorganisir pemahaman, tentu, tidak bisa dilepaskan dari formasi wacana dan penyebaran pengetahuan yang sudah berkembang di ranah akademis serta praktik industrial yang berlangsung di masyarakat. 

Misalnya, kita sama-sama bisa menyaksikan bagaimana operasi ekstraktivis menghasilkan pengurasan bahan baku, sumber daya alam, tanah dan degradasi tanah, perubahan iklim, kepunahan spesies, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penggundulan hutan, terkait dengan akumulasi modal dan dorongan untuk melanjutkan pertumbuhan eksponensial ekonomi dunia. 

Realitas ini merupakan keberlanjutan dari proses kolonialisme yang menunjukkan ketidakdilan. Menguatnya industri ekstratif semakin meningkatkan ketidaksetaraan global di mana pemodal besar dari negara-negara maju menguasai dan mengeksploitasi lahan tambang di negara-negara miskin dan berkembang.

Masih menurut Chagnon, et al (2017: 762), dengan mengonseptualisasikan ekstraktivisme sebagai konsep pengorganisasian, kita bisa memperoleh penelitian kritis lebih lanjut dan memformulasi keterlibatan dalam ranah sosial yang mengganggu praktik ekstraktivis. 

Ini adalah sikap etis-politik peneliti yang bisa diposisikan sebagai bagian dari pendekatan 'studi global transformatif' yang menempatkan para peneliti dalam perubahan besar dunia sebagai akibat semakin rakusnya industri ekstraktif. Setidaknya, terdapat empat konsep yang bisa digunakan untuk mengorganisir cara berpikir kritis terkait ekstrativisme.

Pertama, ekstraktivisme melibatkan perampasan kekayaan sumber daya alam dan manusia oleh para pemodal rakus yang didukung negara, menghasilkan kondisi yang merusak atau menghabiskan sumbernya dengan cara yang berpotensi tidak dapat diubah. Kedua, ekstraktivisme didasarkan pada akumulasi modal dan sentralisasi kekuasaan. 

Ini dapat terjadi karena perbedaan kekuatan relasional (ketidaksetaraan/ketidakseimbangan) di mana para pemodal dengan kekuatan finansial dan teknologinya serta janji-janji berlimpahnya pendapatan nasional bisa mengendalikan kekuasaan negara untuk mendukung mereka dalam melakukan eksploitasi. 

Ketiga, pengurasan, terkait dengan ekstraktivisme, dapat dianalisis sebagai aliran sumber daya dan kekayaan dalam ruang dan waktu (pada dan melalui berbagai tingkat bertingkat, termasuk lokal, negara, regional, dan global). 

Keempat, ekstraktivisme adalah modalitas akumulasi modal dalam pembangunan kapitalis global saat ini yang mengkondisikan, membatasi, dan menekan kehidupan hampir semua manusia dan selain manusia. 

Dengan demikian, ekstraktivisme mengacu pada kompleks praktik penguatan diri, mentalitas, dan perbedaan kekuatan yang mendasari dan merasionalisasi cara pengorganisasian kehidupan yang merusak secara sosio-ekologis melalui penaklukan, penipisan, dan non-timbal balik. 

Ekstraktivisme bergantung pada proses sentralisasi dan monopoli, didasarkan pada akumulasi modal, dan mencakup dinamika pembangunan dan resistensi yang berbeda-beda di sektor-spesifik.

Tentu konsep-konsep di atas bisa terus diperbaiki untuk memperkaya, memperluas, dan memperdalam pemahaman. Dunlap & Jakobsen (dikutip dalam Chagnon, et al, 2017: 764) menawarkan konsep ekstraktivisme total, sebuah proses di mana serangkaian praktik ekstraktivisme dari bermacam sumber daya mendorong, memperkuat, dan mengintensifkan satu sama lain. 

Ekstraktivisme total merupakan dorongan yang tak terpuaskan yang mendorong tekno-kapitalisme global untuk mengonsumsi dan mencakup semua kehidupan, termasuk sumberdaya alam dan sumberdaya mineral.  

Sementara, Petras & Veltmeyer (dikutip dalam Chagnon, et al, 2017: 766)  memberikan kritik kunci terhadap neo-ekstraksi di Amerika Latin. Mereka berargumen bahwa alih-alih menjadi model pembangunan sosial yang berkelanjutan dan setara, hal itu digembar-gemborkan sebagai, neo-ekstraktif terus memperkuat jalur ketergantungan lama dan menunjukkan bentuk predator kapitalisme dan imperialisme. 

Di Brazil, neo-ekstraktivisme disebut neo-developmentalism dan dipuji selama berkuasanya Presiden Lula oleh banyak kalangan Kiri sebagai strategi negara yang berhasil, terutama di tengah krisis keuangan global pasca-2008. 

Namun, hal ini juga dikritik karena menciptakan lebih banyak kekuatan bagi perusahaan ekstraktif besar untuk digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi  yang hasilnya dapat dilihat pada kebangkitan populisme otoriter (pedesaan) di Brasil. 

Kritik yang lebih baru ditawarkan, misalnya oleh Andrade (dikutip dalam Chagnon, et al, 2017: 766), yang dalam konteks Brasil, ekspansi dan reproduksi akumulasi berbasis sumber daya dalam bentuk neo-ekstraksi telah memperkuat degradasi negara dan masyarakat secara sistematis untuk menguntungkan aktor pencari rente dan keuntungan modal, seperti korporasi.

Kajian kritis terbaru lainnya tentang ekstraktivisme dan neo-ekstraktivisme juga berfokus pada persoalan gender dan kehidupan pribumi dalam hubungannya dengan operasi ekstraktif. Para peneliti geografi manusia sudah melakukan kajian kritis terkait bagaimana perempuan pribumi di wilayah Amerika Latin mengorganisir diri untuk melawan praktik industri ekstraktif yang mencemari air sungai sebagai sumber kehidupan mereka (Caretta, et al, 2020; Caretta & Zaragocin, 2020). 

Komunitas pribumi/lokal merupakan simbol dari banyak masalah, konflik, kekerasan, dan perlawanan yang telah diciptakan oleh neo-ekstraktivisme sebagai model mental yang berkembang. Mobilisasi masyarakat pribumi telah meluas sejak era neo-ekstraktivis, mengarah ke studi tentang penentuan nasib sendiri masyarakat adat, peran, hak, dan dan hubungannya dengan narasi negara. 

Di Bangladesh, komunitas lokal berhasil mengorganisir diri mereka serta membangun koneksi dengan NGO di tingkat nasional dan transnasional berbasis prinsip setara dan reriprokal untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap industri ekstraktif berupa pertambangan terbuka (Luthfa, 2017). 

Tentu bukan persoalan mudah membangun kerjasama strategis dan praksis lintas komunitas dan lintas organisasi, apalagi melibatkan organisasi transnasional. Namun, kepentingan untuk menyelamatkan kehidupan dan lingkungan alam sebagai ekosistem terbukti mampu mewujudkan kerjasama untuk melawan industri ekstraktif yang merusak.

Kajian semacam ini bisa pula menjadi ranah para peneliti kajian budaya, dampak industri ekstraktif terhadap kehidupan sehari-hari perempuan dan laki-laki serta warga pribumi secara umum, termasuk bagaimana mereka menyikapinya. 

Tentu, para peneliti kajian budaya bisa memasukkan aspek yang lebih spesifik, seperti terkait bagaimana keberadaan ekstraktivisme sebagai pengetahuan/rezim kebenaran dikonstruksi dalam banyak wacana dan media,  ketidakadilan relasi kuasa yang dilegitimasi negara serta dampaknya terhadap masyarakat lokal, narasi perlawanan masyarakat dan upaya negara melindungi pemodal, usaha pemodal untuk menghegemoni masyarakat dengan menawarkan fasilitas, dan yang lain.

Namun demkian, Parks (2021) mengingatkan bahwa kita tidak bisa melepaskan kompleksitas terkait ekstraktivisme dan industri ekstraktif dari rangkaian sejarah panjang kapitalisme, kolonialisme, dan penjajahan internal terhadap sumberdaya alam dan mineral di negara-negara pascakolonial yang mengadopsi neoliberalisme. 

Ekstraktivisme merupakan ekspresi dari kolonialisasi terhadap alam yang bersifat politis karena melibatkan banyak aktor dalam tingkat kebijakan dan pemodal yang diperkuat dengan bermacam mekanisme penguasaan/penataan ulang ruang dan kekerasan terhadap mereka yang menolak/melawan. 

Bentuk-bentuk kekerasan cenderung dianggap wajar dalam kerangka ekstraktivisme demi kepentingan yang lebih besar bernama pembangunan dan kesejahteraan. Kolaborasi manis antara pemodal dan pemerintah menopang secara legal bermacam kepentingan pembangunan dan ekonomi, meskipun menghadirkan bermacam kekerasan terhadap manusia dan pengancuran terhadap alam. 

Kapitalisme ekstraktif, dengan demikian, dengan keras mengatur ulang wilayah-wilayah serta terus melanggengkan ketimpangan sosial dan ekonomi.  Karakteristik seperti itu, termasuk politisasi sumber daya alam, kepentingan negara dan korporasi yang tidak dapat dibedakan, dan reorganisasi ruang yang kejam, adalah faktor-faktor yang menjadi jelas ketika kita mencermati praktik-praktik ekstraktivis. 

Mengambil konsep ekstraktivisme, yang terjalin dengan sejarah kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme yang sedang berlangsung, sebagai titik awal analisis budaya memungkinkan kita untuk memetakan keterkaitan antara pola konsumsi masyarakat, kekerasan dan eksploitasi yang terjadi di pinggiran barat, dan bencana perubahan iklim yang terjadi pada skala planet. 

Dengan kata lain, analisis budaya terkait pengaruh ekstraktivisme terhadap kehidupan manusia dan kompleksitasn permasalahan yang diciptakannya tetap harus menimbang konteks historis serta ekonomi-politik negara dan pemodal yang memberikan peluang berkembangnya industri ekstraktif secara luas.

Rujukan

Caretta, Martina Angela & Sofia Zaragocin. 2020. Women's resistance against the extractive industry: embodied and water dimensions. Human Geography, Vol. 13(1): 3--5. doi: 10.1177/1942778620910893.

Caretta, Martina Angela, Sofia Zaragocin, Bethani Turley, & Kamila Torres Orellana. 2020. Women's organizing against extractivism: toward a decolonial multisited analysis. Human Geography, 00(0): 1--11. doi: 10.1177/1942778620910898.

Chagnon, Christopher W., Francesco Durante, Barry K. Gills, Sophia E. Hagolani-Albov, Saana Hokkanen, Sohvi M. J. Kangasluoma, Heidi Konttinen, Markus Krger, William LaFleur, Ossi Ollinaho & Marketta P. S. Vuola. 2022. From extractivism to global extractivism: the evolution of an organizing concept. The Journal of Peasant Studies, Vol. 49(4): 760-792. doi: 10.1080/03066150.2022.2069015. 

Junka-Aikio, Laura & Catalina Cortes-Severino. 2017. Cultural studies of Extraction. Cultural Studies, Vol. 31(2-3): 175-184. doi: 10.1080/09502386.2017.1303397.

Luthfa, Samina. 2017. Transnational Ties and Reciprocal Tenacity: Resisting Mining in Bangladesh with Transnational Coalition. Sociology, Vol. 51(1): 127--145. doi: 10.1177/0038038516668132.

Nygren, Anja, Markus Krger & Barry Gills. 2022. Global extractivisms and transformative alternatives. The Journal of Peasant Studies, Vol. 49(4): 734-759. doi: 10.1080/03066150.2022.2069495.

Parks, Justin. 2021. The poetics of extractivism and the politics of visibility. Textual Practice, Vol 35(3): 353-362. doi: 10.1080/0950236X.2021.1886708.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun