Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Modern di Desa Era 80-an: Sebuah Ingatan

13 Mei 2023   00:01 Diperbarui: 13 Mei 2023   00:05 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga berjubel nonton TVRI. Sumber: https://voxntt.com

Ketiga, kontrol terhadap gender dan seksualitas untuk memperkuat kontrol ekonomi dan kekuasaan. Keempat, kontrol terhadap pengetahuan dengan prinsip- prinsip rasionalitas Barat membentuk subjektivitas baru bagi masyarakat terjajah.

Kehadiran pemerintah kolonial di wilayah jajahan tidak hanya mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat terjajah, tetapi juga menyebabkan endapan- endapan ideologis untuk mengangan dan meniru modernitas yang dipraktikkan penjajah. 

Keinginan untuk meniru tersebut berasal kebiasaan diskursif penjajah yang memosisikan masyarakat terjajah sebagai anak kecil atau tabula rasa yang harus dituntun dan diajari untuk menjadi modern dengan peradaban Barat (Aschroft, 2001: 36- 52). 

Kebiasaan penjajah yang memandang masyarakat terjajah secara stereotip sebagai pemalas dan pencuri, memunculkan kekerasan ideologis dan rasis yang seringkali memunculkan inferioritas psikis dan kultural (Memmi, 1975: 79- 89). 

Inferioritas itulah yang menjadikan kelompok elit pribumi berhasrat untuk mendapatkan pengetahuan modern dan mengangannya sebagai ideal. Hal yang sama juga berlangsung di kelompok kelas bawah yang bermimpi menjadi modern melalui perjumpan-perjumpaan dengan para tuan kolonial (Fanon, 2008: 74). 

Para elit pribumi di Hindia-Belanda sudah biasa meniru kemajuan-kemajuan Barat-kolonial melalui institusi pendidikan, militer, dan kebudayaan. Mereka ingin merasakan kemajuan atau menempati posisi sejajar dengan penjajah dan negara-negara maju lainnya (Lombard, 2000; Alisjahbana, 1998).


Sementara, mereka juga tidak bisa meninggalkan sepenuhnya nilai dan praktik tradisional yang berkembang dalam masyarakat. Artinya, subjek terjajah hidup di dalam kegandaan kultural yang secara ajeg menempatkan modernitas sebagai endapan-endapan ideologis yang terus berlanjut di masa pascakolonial (Faruk, 2007: 9; Mbembe, 2001: 12; Quayson, 2000: 16-17). 

Dalam konteks Indonesia, kondisi tersebut diperkuat oleh penerapan sistem kenegaraan hukum, ekonomi- politik, maupun pendidikan yang meniru sistem negara penjajah atau negara-negara maju lainnya karena elit-elit politik negeri ini di awal kemerdekaan adalah didikan Belanda dan sudah terbiasa dengan pemikiran Eropa dan Amerika. 

Meskipun demikian, sistem negara modern yang menjamin kebebasan warga negara sebagai syarat mutlak subjektivitas   modern tidak dijalankan secara menyeluruh oleh elit Republik karena adanya ketakutan hilangnya model kuasa tradisional yang sudah lama berlangsung dalam sistem feodal kerajaan.

Sebagai penerima pendidikan Eropa, para mahasiswa yang setelah Hindia-Belanda merdeka menjadi elit politik negeri ini mengagumi pemikiran Eropa. Mereka menjadi subjek di dalam ide-ide Eropa dengan bermacam posisi ideologis yang bisa merusak hirarki antara penjajah dan terjajah. 

Akibatnya, banyak elit menolak ide-ide Eropa tentang subjektivitas yang tidak sesuai dengan ambisi politik mereka. Kelompok- kelompok intelektual Hindia-Belanda meresponnya dengan beragam cara, utamanya terkait implikasi ide otonomi-diri. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun