Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Modern di Desa Era 80-an: Sebuah Ingatan

13 Mei 2023   00:01 Diperbarui: 13 Mei 2023   00:05 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga berjubel nonton TVRI. Sumber: https://voxntt.com

Selain itu, kami juga menggemari program Sanggar Cerita Anak-anak yang banyak memperdengarkan dongeng- dongeng lokal seperti Si Kancil, Timun Mas, dan Jaka Tarub maupun dongeng-dongeng Eropa seperti Cinderella dan Putri Tidur yang inti ceritanya juga tentang hitam- putih kehidupan.

Selain, televisi, radio, dan tape player, situs hiburan lain yang sangat terkenal waktu saya masih kelas 2 SD adalah video player yang hanya dimiliki oleh putra Pak Senden (Kepala Dusun). Dia membelinya di Lamongan. Mesin pemutar kaset video bermerk Betamax ini tentu saja mahal dan tidak ada warga lain yang memilikinya. 

Tidak setiap malam minggu saya dan kawan-kawan bisa menonton video karena dia terkadang pulang dua minggu atau satu bulan sekali. Film-film Amerika (waktu    itu    saya    belum    kenal    istilah Hollywood) yang  paling  sering   diputar adalah Rambo, Commando, dan Rocky. 

Adapun film buatan dalam negeri yang sering diputar adalah film horor, seperti Dendam Jum’at Kliwon dan film kaum muda seperti Macan Kampus. 

Khusus untuk film Rambo, saya dan kawan-kawan benar- benar menggemarinya. Bahkan, kami sering memeragakannya ketika bermain di sawah selepas sekolah. Kami membuat bedil-bedilan (senapan mainan) dari pelepah pisang untuk beradegan seperti Rambo di rimba Vietnam. 

Kami tidak pernah tahu kalau Rambo adalah film propaganda Amerika Serikat karena kalah perang di Vietnam serta medium untuk mencitrakan superioritasnya. Yang kami tahu, Rambo adalah tokoh pemberantas kebatilan. 


Khusus film horor, saya dan kawan-kawan biasanya masih merasakan takut ketika pulang karena harus melewati pohon soka besar di tengah desa. Kami sering berlomba lari ketika melewati pohon tersebut karena oleh masyarakat dianggap keramat.

Meskipun saya, kawan-kawan, orang tua, dan masyarakat secara umum mulai merasakan kehidupan desa yang tengah bergerak menuju modernitas, kecintaan terhadap kesenian tradisional tetaplah tinggi. Pada era 80-an, kesenian tradisional wayang kulit, tayub, dan ludruk masih menjadi situs hiburan yang sangat digemari. 

Setiap ada pertunjukan tayub, misalnya, saya dan kawan-kawan sebaya menonton bersama-sama, layaknya sebuah gank anak-anak kecil. Kami menyaksikan para tandak (penari) menari bersama tamu undangan laki-laki. Kami biasanya mengambil tempat duduk di depan. Sementara, ibu-ibu dan anak-anak perempuan duduk atau berdiri di belakang. 

Keberadaan kesenian tradisional masih menjadi tanda pembeda kehidupan desa dan kota. Di desa saya, tayub merupakan kesenian favorit. Orang tua dan guru ngaji tidak pernah memarahi kami, meskipun para tandak hanya mengenakan pakaian tradisional jarik (kain panjang) dengan kain penutup dada. 

Sembari melihat tayub kami sekaligus belajar gerak tari yang diperagakan tamu undangan. Pagelaran kesenian tradisional seperti tayub, wayang, dan ludruk juga menjadi berkah tersendiri bagi saya, karena ibu selalu memberikan uang untuk njajan (membeli makanan dan buah-buahan).

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun