Kedua, kajian pascakolonial larut dalam kritik terhadap perjumpaan kolonial antara Barat-Timur/penjajah-terjajah dan usaha untuk mendekonstruksinya, tetapi kurang kritis terhadap realitas baru dari konfigurasi kuasa neoimperial di era globalisasi dan kapitalisme neoliberal (Dirlik, 1994; Behdad, 2000; Shohat, 2000; Brennan, 2008; San Juan Jr., 2008).Â
Dalam ungkapan yang lebih sengit, Appiah menganggap kajian pascakolonial "berkonspirasi" atau "menjadi komprador" dari kapitalisme dunia (dikutip dalam Sheshadri-Crooks, 2005: 145). Â
Kritik-kritik tersebut, pada dasarnya, menginginkan adanya pembacaan kontekstual atau kesadaran historis dari kajian pascakolonial terhadap kuasa neo-imperialisme Barat/negara-negara maju melalui praktik ekonomi-politik neoliberalisme yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan sosio-kultural masyarakat pascakolonial.Â
Mereka seolah tidak punya kuasa untuk menunjukkan identitas ataupun melakukan resistensi kultural, kecuali bermain-main dengan hibriditas kultural seperti yang banyak muncul di dalam format dan representasi naratif produk-produk industri budaya (Hogan, 2004: 14; Kraidy, 2005: 1-12; Kalra, Kaur, & Hutnyk, 2005: 91-93).Â
Memang muncul kesan bahwa kajian ekonomi-politik sulit berdialog dengan kajian pascakolonial. Pada dasarnya, kajian pascakolonial tidak melupakan konteks ekonomi-politik maupun sosio-kultural yang berlangsung dalam masyarakat kontemporer.Â
Perhatian pada praktik representasi dalam narasi dan kehidupan sehari-hari memberi celah untuk melihat secara kritis beroperasinya kuasa/pengetahuan neoliberalisme yang melanjutkan kuasa Barat/negara-negara maju serta kemungkinan mendekonstruksinya.Â
Dengan banyaknya kritik tersebut, para pemikir pascakolonial, paling tidak, bisa lebih kritis dalam menyikapi kuatnya pengaruh praktik ekonomi-politik dalam kehidupan masyarakat.Â
Masyarakat pascakolonial memang tidak bisa lepas lagi dari kuasa/pengetahuan yang berasal dari Barat, baik dalam sektor pendidikan, ekonomi, politik, media, dan sosio-kultural karena kuatnya  pengaruh modernisme yang digerakkan oleh mekanisme pasar dan globalisasi. Memang, dalam praksis kultural masyarakat masih menjalankan sebagian budaya lokal.Â
Namun, orientasi ideal mereka tetap mengarah kepada modernitas, sehingga budaya lokal semakin menempati ruang marjinal dalam formasi kultural sehari-hari.Â
Bermacam produk industri budaya populer ikut mengarahkan dan membentuk subjektivitas masyarakat pascakolonial karena makna-makna ideologis yang direpresentasikan lebih mengarah kepada modernitas dan membatasi kerangka pikir terhadap kemungkinan-kemungkinan lain (Venn, 2000: 43), seperti penguatan budaya lokal.
Implikasi Teoretis dan MetodologisÂ