Asumsi-asumsi ideal yang ditawarkan oleh pemikir pascakolonial mazhab Bhaba harus dibaca secara kritis sesuai dengan kondisi kontekstual dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks sebagai akibat globalisasi.Â
Globalisasi dalam sektor ekonomi-politik menunjukkan bahwa negara-negara maju yang ditopang korporasi transnasional serta institusi finansial terus melakukan praktik imperialisme sehingga sebagian besar negara pascakolonial mengalami ketergantungan terhadap negara-negara maju, utamanya dalam kebijakan ekonomi-politik (Steger, 2006: 38-40; Pieterse, 2004).Â
Globalisasi juga ikut menyebarluaskan neoliberalisme sebagai sistem ekonomi-politik dominan berbasis kebebasan pasar (Clarke, 2005: 50-51; Harvey, 2007: 64-87; England & Ward, 2007: 12).Â
Neoliberalisme diwacanakan sebagai standar peradaban berbasis komitmen terhadap ekonomi pasar bebas, hukum, dan teknologi-pengetahuan Barat bagi  seluruh umat manusia, termasuk masyarakat yang pernah merasakan pahitnya efek kolonialisme (Fidler dikutip dalam Bowden, 2006: 29-30).Â
Selain itu, neoliberalisme juga menjanjikan kebebasan individual, kesamaan, dan persaudaraan antarmanusia (Danaher, Schirato, & Webb, 2000: 91-94). neoliberalisme sebagai sistem ekonomi-politik mampu memasukkan negara dan bangsa pascakolonial ke dalam relasi kuasa dan ketergantungan terus-menerus terhadap negara-negara maju.
Itu semua ditopang institusi modal internasional (Plehwe & Walpen, 2006: 27-45; Carroll & Carson, 2006: 52-68; Weller & Singleton, 2006: 71-85; Bhabha & Comaroff, 2002: 16; Kappor, 2008: 4-6) dan kuatnya pemodal swasta dalam kepemilikan media yang menyebarkan modernitas dan ideologi pasar (Hesmondhalgh, 2008: 101; Curran, 2002: 198-199; Hall, 2000; Kellner & Pierce, 2007: 387-389; Kellner, 2003).
Praktik neoliberalisme di negara-negara pascakolonial, kenyataannya, mengakibatkan permasalahan yang sangat kompleks, seperti meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan di tengah-tengah bertambahnya kekaisaran bisnis baru di level nasional dan internasional serta menguatnya mekanisme pasar dalam setiap aktivitas ekonomi di tingkat lokal (Harvey, 2007: 32; Rankin & Sakya, 2007: 48-51; Robinson, 2006: 13-14).Â
Dalam konteks budaya, muncul tesis imperialisme kultural di mana industri budaya menyebabkan homogenisasi kultural utamanya komodifikasi dalam bentuk, model, dan representasi di negara-negara Dunia Ketiga/pascakolonial (Wise, 2008: 34-35).Â
Dengan neoliberalisme, negara-negara maju berhasil menjalankan neoimperialisme tanpa harus hadir sebagai institusi, karena secara ekonomi-politik, sosial, dan kultural masyarakat pascakolonial tetap berada dalam formasi ketergantungan terhadap mereka (Hoogvelt, 2001).Â
Maka, masyarakat pascakolonial, sebenarnya, tengah berada dalam kuasa Kekaisaran Baru, mengikuti pendapat Hard & Negri (dikutip dalam Venn, 2006: 136-137) yang bersifat sangat lentur, terdesentralisasi, memperlemah makna negara-bangsa, bisa menerima identitas hibrid, serta menjanjikan norma kedamaian dan tatanan yang adil.
Realitas  globalisasi dan kuasa neoliberalisme melahirkan beberapa kritik tajam terhadap kajian pascakolonial. Pertama, penekanan kepada ranah struktur naratif (praktik penandaan/representasi/diskursif) dan praktik sehari-hari kolonial/pascakolonial terkait konsep peniruan, dialog, diaspora, dan hibriditas, menjadikan kajian pascakolonial kurang peka terhadap penjelasan historis dan proses sosio-kultural kapitalisme, sehingga menegasikan kembalinya kuasa Barat dalam kapitalisme dan praktik sosio-kultural kontemporer (Parry, 2004, 2002, 1994; Dirlik, 2002; Majid, 2008).Â