Negara dan banga pascakolonial memang sudah merdeka secara administratif-politis, tetapi kekuatan diskursif Barat bukanlah "kotoran yang bisa dibersihkan dengan air dan sabun cuci."Â
Endapan-endapan ideologis terhadap oksidentalisme semakin menguat seiring gagalnya rezim negara dan masyarakat pascakolonial mengkonsolidasikan kekuatan kultural yang semakin cair dan kompleks di tengah-tengah pengaruh peradaban pasar hari ini.
Dalam peradaban yang demikian, para intelektual di negara-negara pascakolonial, seperti Indonesia, sudah semestinya membuat pilihan-pilihan strategis dan liat.Â
Pascakolonialisme menyediakan pintu masuk melalui pembacaan-ulang dan modifikasi teoretis-metodologis secara ajeg untuk membongkar kompleksitas kultural masyarakat melalui objek naratif yang dihubungkan dengan kondisi sosio-kultural-historis saat ini.Â
Pilihan untuk terlibat dalam permasalahan tersebut merupakan pilihan yang menuntut keliatan teoretis-metodologis, sehingga kita tidak hanya dikatakan sebagai "riak-riak kecil" di tengah kemapanan institusi perguruan tinggi.Â
Sejarah panjang dunia akademis telah memberi pelajaran bahwa terlalu kaku dalam memahami disiplin hanya menjebak intelektual dalam inkorporasi kapitalisme tanpa bisa berbuat banyak menghadapi realitas kuasa lembut berwajah manusiawinya.Â
Maka, membaca-ulang pascakolonialisme merupakan proyek politiko-kultural-akademis yang menjadikan kita tidak gagap menghadapi pesona-pesona peradaban pasar. Â
Daftar Bacaan
Adorno, Theodor W. 1997. "Culture Industry Reconsidered". Dalam Paul Marris and Sue Tornhman (eds). Media Studies: A Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.
__________________. 1991. The Culture Industry: selected essays on mass culture. London: Routledge.
Ahluwalia, Pal. 2001. Politics and Post-colonial Theory: African Inflections. London: Routledge.