Artinya, sejak awal kolonialisme memang berkembang melalui 'percumbuan manis' beragam situs yang memunculkan endapan dampak diskursif dan praksis bagi masyarakat terjajah dan eks-terjajah sampai dengan hari ini. Â
Kolonialisme dibangun melalui praktik politik, militer, ekonomi, dan kultural (pendidikan/pengetahuan, agama, bahasa, sastra, dan budaya) untuk menaklukkan, menguasai, dan mengeksploitasi sebuah wilayah beserta potensi sumberdaya alam dan masyarakatnya (Gillen & Ghosh, 2007: 14); sebuah matrik kuasa kolonial (Mignolo & Tlostanova, 2008).
Proyek kultural kolonialisme berbasis formasi modernitas menempatkan pihak penjajah pada posisi "superior/ordinat" dan pihak terjajah pada posisi "inferior/subordinat".Â
Keunggulan Barat (rasional, berpendidikan, beragama, beradab, dan modern) seolah mendapatkan pembenarannya ketika dipertentangkan secara biner dengan stereotipisasi Timur (terbelakang, kanibal, tidak bependidikan, mistis, eksotis, dan tidak beragama) melalui konstruksi dan mobilisasi makna ideologis.Â
Konstrukdis dan  mobilisasi tersebut direpresentasikan dalam banyak catatan perjalanan, karya sastra, pameran etnografis, buku antroplogi, maupun pendidikan, sehingga kolonialisme mendapatkan alasan pembenaran atas nama "misi pemberadaban" (Said, 1978, 1994; Slemon, 1995; Clestin, 1996; Weaver-Hightower, 2007; Brantlinger, 2009; Pennycook, 1998).
Kolonialisme tidak hanya berimplikasi pada persoalan politik dan ekonomi, tetapi juga wilayah psikis, kultural, dan ideologis di mana manusia terjajah tidak merdeka untuk mengkonsepsi subjektivitas berdasarkan kekuatan kultural sendiri. Mereka dikonsepsikan sebagai tabula rasa ataupun anak kecil yang harus diajari untuk menjadi modern dengan peradaban Barat (Aschroft,  2001: 36-52).Â
Setiap hari masyarakat terjajah "dipandang" secara stereotip oleh penjajah sebagai pemalas serta pencuri, sehingga mereka mengalami kekerasan ideologis dan rasis yang seringkali memunculkan inferioritas psikis (Memmi, 1975: 79-89).Â
Sebaliknya, masyarakat terjajah secara ajeg "memandang" kecantikan/ketampanan orang-orang Eropa dengan kulit putih yang seolah 'diberkahi' kepandaian dan kehidupan modern, sehingga muncul "ketidaksadaran kolektif" untuk bermimpi dan meniru keunggulan mereka (Fanon, 2008: 74).Â
Meskipun demikian, mereka juga tidak bisa sepenuhnya meninggalkan pengetahuan kultural-lokal. Akibatnya, subjek terjajah mengalami permasalahan psikis dalam mengkonsepsikan subjektivitas karena selalu berada dalam ambivalensi antara tradisionalisme dan modernisme yang seringkali menghadirkan dualitas tragis atau kegandaan psikis (Mbebe, 2001: 12; Quayson, 2000: 16-17).Â
Subjektivitas yang dikonsepsikan dari kegandaan dan ambivalensi kultural menjadi karakteristik utama masyarakat pascakolonial. Hasrat untuk menikmati kemerdekaan, nyatanya, bukan berarti menghapus semua pengaruh diskursif kolonialisme.Â
Masih kuatnya endapan ideologis terhadap pesona modernitas, menjadikan para founding fathers negara pascakolonial mengadopsi sistem kenegaraan, baik hukum, politik, maupun ekonomi, yang berasal dari Barat (Baxi, 2005; Venn, 2006: 69).Â