Dengan prinsip peniruan-pengejekan ini, oposisi biner sebagai basis kolonialisme dilampaui dan diganggu melalui siasat di ruang antara oleh subjek kolonial/pascakolonial yang menghasilkan hibriditas kultural.Â
Hibriditas kultural berpotensi untuk mensubversi kuasa kolonial/pengaruh ideologis kolonialisme dan efek-efek pascakolonialnya, karena subjek seolah-olah mengakui kuasa dengan meniru, tetapi sebenarnya mengejek karena meniru itu tidak pernah sempurna (1994: 112-115).
Hibriditas mempunyai fungsi politis sebagai usaha untuk mengkontestasi budaya dominan melalui "operasi ganda yang ganjil," yakni percampuran elemen-elemen kultural dari budaya dominan (Barat/modern) dan budaya lokal yang semula saling berkonflik menjadi struktur baru dalam produksi kultural yang diulangi secara terus-menerus; repetisi struktural (Young, 1995: 23-25).Â
Siasat hibriditas, dengan demikian, bisa menjadi alat untuk menarasikan diri dan budaya lokal di tengah-tengah operasi kuasa budaya modern, sehingga masyarakat pascakolonial bisa survive dan tidak menyerah sepenuhnya terhadap kuasa modernitas dan Barat; sebuah usaha subversif di tengah-tengah pascakolonialitas (Huddart, 2007).Â
Konsep-konsep yang ditelorkan Bhabha mendapat respons positif dari para pemikir pascakolonial karena dianggap sebagai perspektif yang tepat untuk memandang subjek pascakolonial yang memang tidak bisa dikerangkai sebagai subjek yang selalu diam, tanpa bisa berbuat apa-apa; proyek politis-kultural-akademis pascakolonialisme (Loomba, 1998; Lpez, 2001; Young, 2003; Huggan, 2008: 6; Ahluwalia, 2002: 196-197; Krishna, 2009).Â
Salah satu pengaruh perspektif Bhabha dalam kajian pascakolonial adalah kritik terhadap pemikiran esensialisme atau otentisitas identitas kultural. Â Idealisasi terhadap identitas kultural yang otentik di masa kini merupakan kemustahilan karena budaya berada dalam "proses yang terus menjadi" (Hall, 1990: 223-25).Â
Percepatan teknologi informasi-komunikasi dan massifikasi industri budaya di level nasional yang lebih menekankan makna modernitas menjadi salah satu faktor sulitnya menganggit identitas kultural secara esensialis (Pieterse, 2001: 222; Glynn & Tyson, 2007; McMillin, 2001).Â
Ketika manusia pascakolonial bisa memahami secara kritis karakteristik budaya modern dan lokal, maka hibridisasi budaya yang mereka lakukan bisa berfungsi strategis untuk memunculkan kreativitas baru yang melampaui batas-batas kultural sehingga bisa menjadi budaya baru yang berkembang secara dinamis, tanpa harus kehilangan karakter lokalnya.Â
Dinamisasi budaya hibrid pada masyarakat pascakolonial menjadi mungkin ketika mereka secara sadar dan kritis melakukan penyerapan terhadap budaya global dan mensintesakannya dengan kekayaan budaya lokal sehingga menghasilkan budaya glokal (Giulianotti & Robertson, 2007) atau sebuah lokalisme baru (Schuerkens, 2003; Hannerz, 2000).
Titik Kritik: Kondisi Ekonomi-Politik di Tengah-tengah Pascakolonialitas