Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Pengetahuan Tradisional Masyarakat Tengger tentang Kehidupan

11 Desember 2022   10:30 Diperbarui: 12 Desember 2022   11:23 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para dhukun Tengger di era kolonial. Sumber: Tropenmuseum Belanda

Secara umum bisa dikatakan bahwa pengetahuan tradisioal masyarakat Tengger di kawasan Gunung Bromo tidak bisa dipisahkan dari konsep keseimbangan mikro-kosmos (jagat cilik; manusia/masyarakat) dan makro-kosmos (jagat gedhe; alam, kekuatan adikodrati, dan Tuhan). 

Manusia adalah entitas kecil yang menjadi bagian dari sebuah entitas besar bernama semesta dan segala isinya yang dikendalikan oleh kekuatan mahabesar bersama Hong Pukulun, Tuhan Penguasa Semesta. Dalam hal religi, masyarakat Tengger mewarisi ajaran leluhur yang berasal dari zaman Singasari dan Majapahit di mana pengaruh Hindu, Budha, dan keyakinan lokal sangat kuat. 

Meskipun sejak pemerintahan Orde Baru mayoritas mereka memeluk agama Hindu, bukan berarti mereka meninggalkan ajaran leluhur yang bersumber pada konsep keseimbangan di atas. 

Pengetahuan-pengetahuan yang diwarisi dari ajaran leluhur tersebut tidak hanya memuat ajaran religi, tetapi juga ajaran tentang keberaturan kehidupan sosial dan sistem numerologi yang berkaitan dengan penanggalan dan hari.

Pengetahuan tradisional yang diwarisi secara turun-temurun berkaitan dengan nilai dan tata perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dan masyarakat dengan penguasa,  serta manusia dan masyarakat dengan lingkungan dan kekuatan adikodrati (kekuatan ghaib di luar jangkauan nalar manusia). 

Dengan pengetahuan itulah masyarakat Tengger memahami dan menjalankan kehidupan dalam lingkup keluarga, masyarakat, negara, dan religi dengan tujuan utama untuk mendapatkan keseimbangan dan kesempurnaan hidup, baik dalam kehidupan di dunia dan akhirat.

Bekti Marang Guru Papat

"Bekti marang guru papat" dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai "bakti kepada empat guru", yakni Guru Sing Kuwasa "Tuhan Yang Mahaesa", Guru Wong Tuwo "kedua orang tua", Guru Pemerintah "penguasa yang memberikan perlindungan", dan Guru Pasinaon "guru yang memberikan ilmu pengetahuan. 

Dari konsep empat guru tersebut bisa dilihat bagaimana masyarakat Tengger memberi penghormatan luar biasa terhadap empat subjek yang menjadikan kehidupan berlangsung. Keempat subjek tersebut harus dihormati karena merekalah yang menjadikan kehidupan Tengger, pada khususnya, dan masyarakat lain, pada umumnya, bisa terus berlangsung.

Persiapan ritual Kasada di era kolonial. Sumber:  Digital Collection Leiden University Libraries
Persiapan ritual Kasada di era kolonial. Sumber:  Digital Collection Leiden University Libraries
Orang tua merupakan bapak dan ibu yang melahirkan anak yang berarti melahirkan generasi penerus masyarakat Tengger. Tanpa mereka, masyarakat Tengger tidak bisa bertahan dan berkembang. Orang tua pula yang memberi bekal materi, keagamaan, dan pendidikan kepada anak-anak sebagai penerus keluarga di masa mendatang. 

Artinya, orang tua dan institusi keluarga memiliki peran penting dalam menanamkan kebaikan dan kebajikan serta menyiapkan anak-anak untuk menghadapi kehidupan bermasyarakat.

Guru ilmu dalam pemahaman masyarakat Tengger terdiri dari "dhukun" dan guru umum/sekolah. Dhukun atau dhukun pandita adalah pemimpin adat dan 'penjaga gawang' pemertahanan budaya dan religi Tengger di tengah-tengah arus besar perubahan dunia. 

Mereka berperan dalam mengajarkan adat-istiadat dan agama kepada generasi muda Tengger, memimpin upacara adat, dan memimpin peribadatan (Hindu Tengger). Kehadiran dukun sangatlah penting  bagi kehidupan masyarakat Tengger. Karena dhukun akan selalu mengawal dan menjaga keyakinan masyarakat terhadap adat-istiadat leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. 

Ketika adat-istiadat warisan leluhur tersebut tetap dipertahankan dan dikembangkan, masyarakat Tengger akan selalu dilimpahi kesejahteraan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan terhindar dari bencana dahsyat, sehingga mereka masih tetap eksis hingga saat ini.

Sementara, guru umum/sekolah dihormati karena mengajarkan generasi penerus Tengger ilmu-ilmu pengetahuan umum yang menjadikan mereka tidak ketinggalan zaman. Dari para guru umum mereka belajar membaca dan menghitung serta mengenal ilmu-ilmu modern, seperti matematika, sains, bahasa Indonesia dan Inggris, dan lain-lain. 

Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan modern, selain tidak menjadikan mereka masyarakat tertinggal, juga amat berguna untuk berhubungan dengan masyarakat lain, baik yang datang untuk kepentingan berwisata ataupun perdagangan. Mereka juga bisa mendapatkan pengetahuan yang menunjang usaha pertanian maupun usaha-usaha jasa di kawasan Tengger.

Adapun yang dimaksud dengan guru pemerintah adalah aparat pemerintah dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pusat. Penghormatan terhadap guru pemerintah tidak bisa dilepaskan dari sejarah masyarakat Tengger yang berasal dari kaum pandhita (ahli agama) yang diberikan tanah perdikan (bebas pajak) oleh para raja Singasari dan dilanjutkan oleh para raja Majapahit. 

Dhukun Tengger memimpin ritual di era kolonial. Sumber: Tropenmuseum Belanda
Dhukun Tengger memimpin ritual di era kolonial. Sumber: Tropenmuseum Belanda

Sejarah itulah yang menjadikan mereka patuh kepada pemerintah Indonesia dari zaman kepemimpinan Soekarno, Soeharto, hingga kepemimpinan di zaman pasca Reformasi saat ini. Meskipun demikian, untuk urusan partai politik, orientasi mereka tetaplah partai berhaluan nasionalis. 

Kepatuhan terhadap pemerintah menjadikan mereka terlindungi sebagai suku minoritas di Jawa Timur dan Indonesia, sehingga pelestarian masyarakat dan budaya Tengger bisa terus berjalan dari waktu ke waktu, meskipun rezim berganti.

Sama dengan penganut agama lain, masyarakat Tengger juga sangat meyakini kekuasaan Tuhan Yang Mahaesa atau Hong Pukulun yang berkuasa terhadap alam dan segala isinya, termasuk manusia di dalamnya. 

Kepatuhan masyarakat Tengger terhadap Hong Pukulun merupakan kepatuhan total yang diwujudkan dalam doa/mantra dalam setiap sembahyang ataupu ritual yang mereka selenggarakan. Dengan kekuasaan-Nya, masyarakat Tengger tetap bisa bertahan dan berkembang hingga saat ini.

Welas Asih Pepitu

Konsep keharmonisan dalam menjalani kehidupan tercermin dalam ajaran welas asih pepitu, "tujuah ajaran cinta kasih," yang mencakup bagaimana seharusnya warga Tengger mengembangkan laku hidup penuh kasih sayang. 

 Welas asih pepitu tersebut berupa cinta kasih kepada: Hong Pukulun, ibu pertiwi (bumi/tanah), bapa-biyung (ayah dan ibu/kedua orang tua), jiwa-raga (jasmani dan rohani), sepadha-sepadha ngahurip (sesama makhluk hidup), sato kewan (binatang piaraan), dan tandur tuwuh (tanaman). 

Pengantin baru Tengger bersama kerabat di era kolonial. Sumber: Tropenmuseum Belanda
Pengantin baru Tengger bersama kerabat di era kolonial. Sumber: Tropenmuseum Belanda

Dengan menjalankan ajaran welas asih pepitu masyarakat Tengger bisa mewujudkan kehidupan yang sejahtera jasmani dan rohani. Ketika manusia lahir dan menjalani kehidupan di muka bumi, ia tidaklah berdiri-sendiri atau terbebas dari keberadaan manusia atau elemen-elemen yang lain di semesta. 

Diri seorang manusia menjadi bahagia di muka bumi ketika ia bisa mengembangkan sikap simpatik berupa kasih sayang dan dan cinta kasih kepada Tuhan Yang Mahaesa, ibu pertiwi, orang tua, jiwa-raga, sesama makhluk hidup, binatang piaraan, dan tanaman.

Pancasetya

Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, masyarakat Tengger meyakini dan menjalankan pancasetya, yakni lima petunjuk kesetiaan yang dijadikan pedoman laku hidup sehari-hari. 

Lima pedoman itu adalah (1) setya budaya, taat dan hormat kepada adat warisan leluhur; (2) setya wacana, kesesuaian antara kata dan perbuatan; (3) setya semaya, selalu menepati janji; (4) setya laksana, bertanggung jawab terhadap tugas; dan, (5) setya mitra, membangun kesetiakawanan terhadap sesama warga. 

Semarak Kasada di era kolonial. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Semarak Kasada di era kolonial. Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries

Keyakinan terhadap panca setya menjadikan masyarakat Tengger tidak pernah berkonflik terhadap sesama, meskipun mereka berasal dari desa ataupun kabupaten yang berbeda, karena mereka selalu merasa satu keturunan dan selalu mengembangkan rasa saling setia dan percaya. 

Selain itu, mereka juga tetap menjalani tradisi leluhur yang menjadi identitas budaya di tengah-tengah pengaruh budaya modern yang dibawa oleh media maupun industri pariwisata Bromo.

Pralima

Pralima Adalah pengetahuan lokal yang menjadi pegangan hidup sehari-hari orang Tengger, selain pengetahuan yang lain. Biasa dikenal pula dengan istilah kaweruh budha, yang berperan sebagai penunjang dari pancasetya. 

Pralima ini terdiri dari: prasaja (sederhana), prayoga (menunaikan kewajiban), pranata (taat kepada penguasa), prasetya (setia kepada janji dan bertanggungjawab), dan prayitna (selalu waspada). 

Meskipun saat ini sebagian besar masyarakat Tengger sudah hidup berkecukupan dengan hasil sayur-mayur dan pariwisata Bromo, tetapi ajaran pralima menjadikan mereka tetap tidak menyombongkan diri secara berlebihan, mewujudkan pola hidup yang sederhana dan bertanggungjawab terhadap janji serta mengembangkan sikap waspada dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

Selain itu, warga Tengger adalah bagian dari negara Republik Indonesia sehingga program-program pemerintah dijalankan dengan baik serta tetap mematuhi aturan dan sistem bernegara, bahkan capaian-capaiannya melebihi komunitas-komunitas lain di bawah. 

Untuk urusan membayar pajak, mereka termasuk pembayar pajak bumi dan bangunan yang sangat patuh, bahkan tanpa diberi pengumuman warga Tengger akan datang ke kantor desa masing-masing untuk membayar. Wilayah Tengger juga termasuk zero crime zone, wilayah yang tidak ada tindak kriminal, kecuali yang dilakukan oleh orang-orang non-Tengger.

Panca Sradha

Kalau pancasetya dan pralima mengajarkan pengetahuan tentang kehidupan yang bersifat sosial, panca sradha lebih mengajarkan keimanan bagi masyarakat Tengger. 

Pertama, percaya kepada Hong Pukulun, Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Kedua, percaya kepada atma, yaitu ruh leluhur termasuk ruh dirinya sendiri. Ketiga, percaya kepada karmapala, yaitu hukum sebab-akibat bahwa setiap perbuatan manusia akan mendatangkan akibat yang kembali padanya.

Keempat, percaya kepada punarbawa (reinkarnasi), yaitu bahwa manusia terikat pada hukum hidup berkali-kali sesuai dengan adanya dharma (perbuatan) semasa hidupnya. Kelima, percaya kepada moksa (sirna dari kehidupan bumi). Apabila manusia sudah mencapai tahapan moksa, ia tidak akan terikat lagi pada punarbawa dan akan hidup dalam kedamaian abadi (zaman kelanggengan).

Kekuatan adikodrati (supernatural) adalah kekuatan yang tak kasat mata, tetapi sangat menentukan dalam kehidupan manusia. Nalar manusia sangat terbatas untuk bisa menjangkau kekuatan-kekuatan adikodrati yang ada di sekitar mereka. Bagi masyarakat Tengger, keterbatasan itu menghasilkan keyakinan mendalam terhadap kekuasaan di luar jagat manusia. 

Maka, mereka sangat meyakini kekuatan dan kekuasaan Hong Pukulun yang memulai, memelihara, dan mengakhiri kehidupan. Tak seorang pun yang bisa lepas dari kekuatan Hong Pukulun, sehingga dalam setiap mantra Tengger yang dibacakan dalam ritual Hong Pukulun selalu menjadi ucapan suci yang dilafalkan pertama kali.

Ruh leluhur atau atma adalah arwah nenek moyang, sesepuh desa, maupun orang tua yang telah meninggalkan kehidupan duniawi. Dalam keyakinan Tengger, mereka tetap mengawasi atau berada di sekitar kehidupan manusia, sehingga pada hari-hari tertentu, khususnya malam Jum'at Legi, selalu disediakan sesajen di masing-masing rumah sebagai hidangan pada para ruh tersebut. 

Sesajen untuk para leluhur pada malam Jumat Legi di rumah warga Tengger Ngadisari. Dokumentasi penulis
Sesajen untuk para leluhur pada malam Jumat Legi di rumah warga Tengger Ngadisari. Dokumentasi penulis
Tujuannya agar mereka tidak mengganggu kehidupan duniawi manusia. Inilah yang sangat khas dari keyakinan Tengger, yakni memperlakukan ruh-ruh leluhur atau kekuatan-kekuatan ghaib tetap hidup dalam alam mereka yang berdampingan dengan alam manusia, tanpa diganggu. 

Pemberian sesajen merupakan bukti bahwa manusia Tengger berusaha agar ruh-ruh tersebut bisa tetap hidup dalam kedamaian serta tidak mengganggu keberadaan manusia.

Dalam ajaran semua agama, pada dasarnya, terdapat ajaran tentang hukum sebab-akibat. Artinya, siapa yang berbuat sesuatu, maka mereka akan menanggung akibatnya, baik berupa pahala ataupun dosa. Dalam ajaran Tengger, konsep tersebut disebut karmapala, yang tidak hanya berlaku bagi manusia setelah meninggal, tetapi bisa pula berlaku ketika mereka masih hidup. 

Warga Tengger Tosari berangkat menuju Bromo untuk mengikuti Kasada (sekira 1941 - 1953). Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Warga Tengger Tosari berangkat menuju Bromo untuk mengikuti Kasada (sekira 1941 - 1953). Sumber: Digital Collection Leiden University Libraries
Artinya, ketika manusia Tengger melakukan kesalahan yang berakibat buruk bagi orang lain, maka ia pada suatu saat akan mendapatkan balasan setimpal. Keyakinan inilah yang menjadikan mereka berusaha sebisa mungkin tidak melakukan perbuatan atau ucapan yang bisa merugikan orang lain. 

Perbuatan-perbuatan jahat juga akan berakibat pada punarbawa, di mana manusia akan ber-reinkarnasi untuk menebus perbuatan-perbuatan tersebut dalam bentuk kehidupan-kehidupan baru. Ketika perbuatan-perbuatan jahat itu belum selesai ditebus, mereka akan terus ber-reinkarnasi dalam kehidupan-kehidupan baru yang lain. 

Apabila semua tahapan-tahapan tersebut sudah selesai dilakoni, maka mereka baru bisa moksa, sirna dari muka bumi dan terbebas dari hukum sebab-akibat serta masuk ke alam keabadian.

Dhasar Pitung Perkawis 

Merupakan tujuh macam prinsip hidup yang terdapat dalam doa dukun Tengger. Pertama, Hong mandaera pulun sak empuna dhumerek ing sasi Kasada meningaken ing tamah, "Semoga Yang Maha Agung memberi cahaya terang (keselamatan dan kesejahteraan) setelah Kasada dilaksanakan."

Kedua, milanga sarining patra kang gumelar ngajenganing sarining patra sak srep ngambek sak tengahe manah, "Lihatlah roh sejati yang menyejukkan hati."

Ketiga, Kang adoh pinaraken kang parek pinariki nang angon aron-aron, "Yang berada di tempat jauh mendekatlah, yang berada di sekitar merapatlah, yang sedang mengembara berhentilah."

Keempat, Anggrasuka ajang kang pinayu dening Sang Hyang Sukma, "Masuklah ke dalam tempat yang berada dalam perlindungan Sang Hyang Sukma."

Kelima, Jiwa raga sinusupan baban warna sanga, "Jiwa dan raga yang memiliki sembilan lubang hawa nafsu." Keenam, Ngelongana jiwa remana maha ngimbuhana banyu kahyuwanan, "Hindarilah angkara murka agar mendapatkan kebahagiaan."

Ketujuh, Denira ngeja nyandra nitis sepisan kerta rahayu palinggihan Hyang Lurah Dhukun Kaki Dukun sagunge anak putu sami andaya Pulun, "Datanglah [wahai ruh sejati] ke tempat yang telah disediakan oleh lurah dhukun kaki dhukun untuk-Mu [Hyang] agar kami beserta anak cucu bahagia dan sejahtera).

Dhukun Tengger membaca mantra dalam sebuah ritual di era kolonial. Sumber: Tropenmuseum Belanda
Dhukun Tengger membaca mantra dalam sebuah ritual di era kolonial. Sumber: Tropenmuseum Belanda
Dhasar Pitung Perkawis menunjukkan bagaimana para dhukun Tengger selalu menghaturkan doa-doa terbaik yang mengedepankan keharmonisan dan kedamaian, sehingga kehidupan mereka bisa selamat dan sejahtera.

Walima 

Sejak zaman dahulu, masyarakat Tengger hidup dalam lingkungan pegunungan yang penuh tantangan, dari gunung meletus, gempa, angin dan badai, banjir, dan lain-lain. Selain itu, sempitnya lahan datar yang bisa dijadikan tempat untuk mendirikan rumah dan bercocok-tanam menjadikan mereka harus berjuang untuk meneruskan kehidupan. 

Kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi itulah yang menjadikan mereka berjanji untuk berhasil dalam mewujudkan lima tujuan hidup di dunia, yakni wareg (cukup makan), waras (sehat jasmani dan rohani), wastra (cukup sandang/pakaian), wasis (cukup ilmu), dan wisma (rumah).

Pengetahuan walima menjadikan masyarakat Tengger para pekerja keras, baik dalam bidang pertanian (sayur-mayur), jasa pariwisata, maupun perdagangan. Tanpa bekerja keras, mereka tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup yang semakin bertambah dari waktu ke waktu. 

Zaman dulu sebelum ada tanaman sayur-mayur, mereka menanam jagung putih yang berusia sembilan bulan. Sekarang, mereka menamam sayur-mayur (wortel, kentang, bawang pre, tomat, kubis, dan lain-lain) untuk bisa membeli beras dari wilayah bawah dan membangun rumah tembok sebagai pengganti rumah kayu. 

Mereka juga  bisa membeli pakaian yang layak, baik untuk pakaian adat maupun pakaian sehari-hari, membiayai sekolah anak-anak mereka agar bisa mendapatkan pengetahuan yang luas, maupun berobat ke kota ketika sakit keras. 

Selain dengan bekerja keras, sesuai dengan bidang masing-masing, untuk bisa mencapai tahapan walima dalam kehidupan, masyarakat Tengger harus selalu berdoa kepada Hong Pukulun serta menjalankan ritual sesuai dengan ajaran leluhur.  

Malima

Lima hal atau perkara yang harus dihindari atau dijauhi oleh warga Tengger untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup dalam situasi walima. Lima hal tersebut biasa disebut malima, yakni maling (mencuri), main (berjudi), madat (mengkonsumsi candu/narkoba), minum (mengkonsumsi minuman beralkohol), dan madon (main perempuan). 

Orang-orang yang menjalani malima akan mendapatkan kesengsaraan dalam hidup karena setiap rezeki yang mereka peroleh selalu terkuras untuk menuruti hawa nafsunya. Akibatnya, mereka akan kesulitan mewujudkan walima dan anak-turunnya akan menanggung penderitaan.

Walat 

Sama dengan konsep kuwalat dalam masyarakat Jawa di dataran rendah, konsep walat bagi masyarakat Tengger merupakan keyakinan akan datangnya musibah bagi mereka yang melanggar atau tidak mematuhi adat-istiadat dan keyakinan warisan leluhur. 

Warga yang tidak melakukan ritual atau terlibat dalam pelaksanaan ritual besar akan mendapatkan musibah, seperti rezekinya sulit, sakit-sakitan, susah mendapatkan pekerjaan, atau menerima penderitaan-penderitaan lain dalam menjalani kehidupan. Ketakutan terhadap walat inilah yang menjadikan masyarakat Tengger selalu mematuhi ataupun menjalankan ajaran leluhur hingga saat ini. 

Orang yang terkena walat, selain mendapatkan penderitaan secara fisik juga akan merasa malu dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, generasi muda Tengger yang menempuh kuliah di kota-kota besar masih meyakini konsep walat tersebut, meskipun mereka sudah terbiasa dengan pikiran-pikiran modern dan pergaulan kota.

Menjaga dan Melakoni Kehidupan di Tengah Kabut

Pengetahuan tradisional Tengger terbukti mampu menjadikan masyarakat Tengger terus menjalani kehidupan dengan harmonis, di tengah-tengah pengaruh modernitas yang begitu kuat. Menjaga keseimbangan antara jagat cilik (manusia dan masyarakat) dengan jagat gedhe (semesta, kekuatan adikodrati serta Tuhan Sang Pencipta) merupakan formula yang terus dilakoni masyarakat Tengger. 

Maka, untuk terus menjaga dan mengembangkan pengetahuan lokal tersebut, para dhukun pandita dan orang tua Tengger terus mengajak anak-anak dan generasi muda terlibat dalam acara-acara adat agar mereka bisa belajar sembari mempraktikkan (ngelmu kanti laku) warisan para leluhur di masa kini. 

Dhukun Ngadisari sekaligus Koordinator Dhukun se-kawasan Tengger, Sutomo, memimpin sebuah ritual. Dokumentasi penulis 
Dhukun Ngadisari sekaligus Koordinator Dhukun se-kawasan Tengger, Sutomo, memimpin sebuah ritual. Dokumentasi penulis 

Dengan tetap mempertahankan dan melakoni pengetahuan tradisional tentang kehidupan, manusia dan masyarakat Tengger bisa terus melakukan evaluasi dan refleksi secara komprehensif bagaimana harus menempatkan diri mereka dalam hubungan sosial, hubungan dengan guru, hubungan dengan pemerintah, hubungan dengan semesta, dan hubungan dengan Hong Pukulun. 

Dengan begitu, kehidupan Tengger akan terus bergerak secara dinamis di antara poros modernitas dan poros hila-hila yang menempatkan kawasan Bromo dan sekitarnya sebagai kawasan suci dengan bermacam laku adat dan religi yang harus dijalani. 

Mereka adalah manusia-manusia gunung yang hidup secara dinamis yang menyerap dan menjalankan modernitas sesuai kebutuhan, tanpa melupakan pengetahuan dan religi warisan leluhur dalam kehidupan masa kini. 

*Tulisan ini saya persembahkan kepada guru kinasih (alm) Prof. Dr. Ayu Sutarto yang sudah mengenalkan saya dengan masyarakat, budaya, dan religi Tengger sejak tahun 2003. Suwargi langgeng, Prof. Hong Ulun Basuki Langgeng. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun