Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menonton dan Memroduksi Teater Mahasiswa di Jember: Sebuah Ingatan

18 Desember 2021   10:23 Diperbarui: 18 Desember 2021   13:53 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panggung Terbuka Fak. Sastra UNEJ yang digunakan latihan dan pentas seni. Dok. Alumni Sastra Inggris FS UNEJ Angkatan 1996

Namun demikian, tercatat beberapa intelektual dan komunitas dari beragam ranah yang berani melakukan kritik terhadap kekuasaan Suharto. Kita mengenal Petisi 50 yang diinisiasi oleh mantan aparatur negara, Gus Dur dengan Forum Demokrasi-nya, Amien Rais dengan tuntutan suksesi kepemimpinan nasionalnya, Sri Bintang Pamungkas yang siap menjadi presiden. 

Dalam ranah kebudayaan kita mengenal W.S Rendra yang sejak era 70-an sudah melawan rezim Suharto dengan pertunjukan teater maupun sajak-sajak pamfletnya yang 'menelanjangi' pembangunanisme Orba. Juga, Nano Riantiarno dengan Teater Koma-nya yang selalu menghadirkan lakon-lakon komedi kritis, dan beberapa lagi yang lain. 

Gaya berteater Rendra yang dikenal dengan istilah mini-kata ikut mempengaruhi gaya pertunjukan sebagian kelompok teater di Jember, seperti Kebun Sanggar Bermain (KSB) Mumbulsari, pimpinan Faturohman alias Mas O'onk. Para penggiat teater kampus juga terinspirasi gaya berteater Rendra dan Bengkel Teater. 

Di Yogyakarta, sekelompok seniman muda berideologi kerakyatan membentuk Taring Padi, yang mengangkat isu-isu sosial, pertanian, ekonomi, budaya, dan politik dalam karya-karya mereka. Beberapa penggiat kultural berusia muda mendirikan Jaringan Kerja Budaya (Jaker) (Wiji Thukul berada di dalamnya) dengan tujuan untuk menghubungkan komunitas-komunitas kultural untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan rezim Suharto.   

Dalam konteks demikian, kenakalan tematik dan diskursif yang dihadirkan oleh ACP menjadi sebuah pengantar sekaligus pemantik awal bagi proses berteater yang saya alami untuk bergerak menuju 'kenakalan'. Mengapa demikian? 

Bersama-sama dengan wacana-wacana lain yang saya dapatkan dari bahan bacaan yang disediakan oleh para senior dan berita-berita dari media, apa yang disajikan ACP dan lakon-lakon teater bertema serupa di Jember mampu mengubah cara pandang saya terhadap Orde Baru dan segala kehebatannya, khususnya tentang kepahlawanan Sang Jendral yang tersenyum manis dan membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia melalui pembangunan nasional; sebuah cerita doktriner yang saya peroleh dari SD hingga SMA. 

Selain itu, saya menjadi terbiasa dengan gaya pertunjukan yang menawarkan eksplorasi gerak simbolik dan ekspresi verbal seperlunya untuk menyuarakan persoalan-persoalan sosial secara metaforis dalam iklim represif Orde Baru. Pada era ini, sebagian besar kelompok teater di Jember memang menggemari kritik dan resistensi terhadap rezim Orde Baru. 

Mereka melakukannya melalui peristiwa dramatik yang menghadirkan sosok penguasa sebagai kekuatan yang menyebabkan bermacam masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu saja, mereka harus bersiasat dengan bahasa-bahasa simbolik yang multitafsir. 

Maka, pertunjukan-pertunjukan teater pra Reformasi 1998 menjadi medan wacana yang menyemaikan ideologi perlawanan dalam balutan bahasa-bahasa ekspresif-eksperimental sebagai bentuk siasat di tengah-tengah pengawasan ketat rezim. Apakah ini sebuah 'berkah' bagi penumbuhan kesadaran kritis untuk para penonton? Jawaban saya, iya dengan catatan. 

Mengapa demikian? Mayoritas penonton teater di kampus adalah para penggiat teater atau penggiat seni yang berasal dari komunitas-komunitas kampus. Artinya, mereka tentu tidak terlalu sulit membaca wacana-wacana resistensi terhadap penguasa karena mereka memiliki peta konseptual yang serupa atau, bahkan, sama terhadap kondisi zaman dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat. 

Meskipun, ada sebagian kecil yang kesulitan, forum apresiasi pasca-pertunjukan bisa menjadi pintu masuk untuk memahami wacana yang ditawarkan para aktor dan aktris di atas panggung. Wacana "resistensi" terhadap penguasa menjadi semacam pengetahuan komunal di antara para penggiat teater di Jember, baik yang berasal dari UNEJ, Univ. Muhammadiyah, IKIP PGRI dan kampus-kampus lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun