Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghadirkan Pendidikan Modern dalam Geliat Kabut Bromo

26 November 2021   13:59 Diperbarui: 28 November 2021   08:26 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbincang dengan Dhukun Pandita Sutomo di perapian rumahnya. Foto: Dok. Pribadi

Selain untuk kepentingan pemertahanan budaya, pendidikan modern juga dimaksudkan sebagai sarana untuk bisa mendapatkan keuntungan ekonomis dari sektor pariwisata Bromo, yang selama ini memang lebih banyak melibatkan tenaga-tenaga muda dari wilayah bawah. 

Didasari atas motivasi untuk ikut menikmati rezeki pariwisata, terutama dari aspek perhotelan dan jasa-jasa wisata lainnya, para guru asal Tengger bekerjasama dengan perangkat desa dan dhukun pandita menggagas ide untuk mendirikan SMK Pariwisata. Drs. Suprapto, Kepala Sekolah SMK Pariwisata Sukapura di Ngadisari, menjelaskan:

"Saya yang awalnya punya ide pendirian SMKN Pariwisata. Ketika mendapatkan sinyal positif dari warga, saya bergerak, mengumpulkan Pak Mujo, Pak Poyo, juga Pak Yoyok, pemilik Hotel Yoschi. Ide itu muncul 2010. Ternyata mereka semua memberikan tanggapan yang sangat baik dan mendukung ide itu. Kami langsung berembug untuk membuat proposal dan mengajukannya ke Bupati. 

Beliau menyambut dengan baik pula dan meminta kami untuk membuka SMK Pariwisata. Beliau pula yang meresmikan secara langsung. Saya diserahi tugas untuk mengelola. Karena belum ada gedungnya, kami disuruh menggunakan gedung pariwisata yang berada di pendopo Ngadisari. Tahun pertama yang mendaftar banyak, 36 siswa. Karena dikira kejar Paket C. Angkatan kedua, 2012 dapat 32. 

Yang kami ajarkan adalah teknik-teknik pengelolaan hotel, dari urusan tamu sampai food and beverage, juga menjadi guide wisatawan mancanegara. Saat ini saya sudah punya kebanggaan, karena pada hari libur ketika ada momen-momen tertentu, seperti kemarin Jazz Gunung di Java Banana Cafe, pihak hotel sudah menelpon saya minta anak-anak untuk membantu. Saya ngirim 15 anak. Ya, mereka dapat bayaran. Di SMKN Pariwisata secara khusus juga diajarkan budaya Tengger. Misalnya, cara membuat kalender, sejarah dan tokoh-tokoh Tengger."

Kerjasama sinergis antara pemuka adat, pendidik, dan pemimpin formal di wilayah Tengger untuk mendirikan SMK Pariwisata menegaskan sebuah pola pikir yang sangat modern, terkait pendidikan dan hubungannya dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dari pariwisata Bromo. 

Artinya, mereka tidak mau hanya menjadi penonton dari ramainya pariwisata Bromo dengan segala keuntungan finansial yang selama ini dinikmati para pemodal dan tenaga kerja non-Tengger. Mereka juga tidak hanya mau menjadi sopir jeep dan ojek kuda. Mereka juga ingin bekerja dengan cara mengikuti pendidikan kejuruan yang memang didesain untuk menjadi tenaga-tenaga profesional dalam pengelolaan pariwisata. 

Maka, selain menjadi strategi untuk terus menegosiasikan ketradisionalan, hibriditas kultural juga menjadikan masyarakat lokal tidak bisa keluar dari pengaruh diskursif modernitas, termasuk orientasi finansial.

Kesadaran untuk mengeruk rezeki dari wisata Bromo melalui jalur sekolah kejuruan memang sudah agak terlambat, melihat geliat industri pariwisata yang sudah berlangsung lama di wilayah ini. Ironisnya, semenjak Orde Baru, sektor pariwisata digerakkan oleh para pemodal dari luar Tengger; Probolinggo maupun Surabaya. 

Mereka mendirikan hotel yang melayani wisatawan mancanegara maupun domestik yang ingin menikmati indahnya matahari terbit ataupun pesona kawah Bromo. Meskipun sebagian kecil warga Tengger menyewakan rumah mereka untuk home stay para wisatawan, usaha tersebut masih kalah jauh dengan pengelola hotel yang memberikan fasilitas lebih lengkap. Sebagian kecil warga juga menyewakan jeep dan ojek kuda. 

Maka, usaha untuk mencetak tenaga-tenaga terampil yang bisa disalurkan ke hotel sebagai pramusaji maupun pemandu wisata bisa dibaca sebagai usaha untuk berpartisipasi sekaligus mendapatkan keuntungan finansial di luar penyediaan jasa home stay maupun penyewaan jeep dan ojek kuda. 

Dengan usaha ini, mereka yang terlibat dalam industri pariwisata bukan hanya warga yang berkecukupan secara ekonomi, tetapi juga generasi muda kurang mampu yang memiliki keterampilan khusus. Meskipun demikian, mereka tetap saja berada dalam posisi subordinat terhadap para pemilik hotel.

Belajar dari kasus SMK Pariwisata, apropriasi masyarakat lokal terhadap praktik dan institusi modern memang memunculkan kompleksitas tersendiri. Kompleksitas tersebut bisa dibaca dalam beberapa kerangka. Pertama, siasat untuk menjalankan mekanisme modern memang mengantarkan masyarakat ke dalam capaian-capaian ideal berupa rezeki finansial dari praktik yang dilakukan oleh para pemodal besar dari luar wilayah mereka. 

Dengan mekanisme itu pula, keuntungan finansial bukan hanya menjadi monopoli pemodal, khususnya pemilik hotel, tetapi bisa mengalir pula ke tenaga-tenaga terdidik dari wilayah lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun