Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghadirkan Pendidikan Modern dalam Geliat Kabut Bromo

26 November 2021   13:59 Diperbarui: 28 November 2021   08:26 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua siswa SD di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi

Bahkan, pendidikan bagi warga Tengger juga dimaknai secara ekonomis dan politis. Keterangan Mujono berikut akan membantu menjelaskan persoalan tersebut.

"Masyarakat Desa Ngadas saat ini sudah sadar pendidikan, paling tidak sampai SMA. Adapun yang kuliah biasanya mengambil kuliah di Malang atau di Institut Hindu Dharma (IHD) di Bali. Yang di IHD biasanya mereka mengejar supaya bisa diangkat sebagai guru agama Hindu, karena saingannya sedikit. Sementara, yang kuliah di universitas umum ada yang bekerja di bank swasta di Probolinggo. 

Tapi, kebanyakan kembali ke desa, menjadi petani atau berdagang. Selain itu, pendidikan paling tidak sampai SMA, juga untuk menyiasati aturan-aturan birokrasi. Kan sekarang aturannya yang menjabat kepala desa dan perangkat-perangkat lainnya itu harus SMA. Nanti kalau jarang yang lulus SMA, kan bisa-bisa diisi oleh orang-orang dari luar Tengger, kan bisa berakibat tidak baik buat masyarakat Tengger."

Motivasi untuk diangkat menjadi guru agama Hindu bagi mereka yang kuliah di IHD Bali merupakan contoh betapa kepentingan ekonomis tidak bisa dilepaskan dari pendidikan warga Tengger, seperti halnya di masyarakat lain. Para sarjana agama Hindu sangat sadar besarnya potensi ekonomi profesi guru, apalagi saat ini ada sertifikasi guru. 

Selain itu, pengakuan Mujono tentang motivasi politik untuk mengisi jabatan perangkat desa menarik untuk dicermati. Dhukun pandhita sangat menyadari betapa penting posisi perangkat desa bagi keberlangsungan agama dan budaya Tengger. Ketika warga Tengger tidak ada yang berijasah minimal SMA, maka jabatan kepala desa dan perangkatnya bisa diisi oleh orang luar Tengger yang nota-bene bergama selain Hindu. 

Kondisi ini dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi budaya Tengger. Kejadian tersebut pernah berlangsung di salah satu desa Tengger di wilayah Malang di mana kepala desa dijabat oleh orang non-Tengger. Dengan mengambil fungsi-fungsi pragmatis, ekonomis, dan politis, pendidikan bagi warga Tengger tetap berada dalam kepentingan tradisi dan eksistensi masyarakat Tengger.

Kekhawatiran utama para dhukun pandhita dan perangkat desa adalah syiar agama-agama besar yang dilakukan oleh organisasi Islam maupun Nasrani (Kristen dan Katolik) ke wilayah-wilayah Tengger. Secara historis, praktik tersebut sudah berlangsung lama, sejak era kolonial. 

Beberapa desa Tengger di empat kabupaten berubah menjadi desa non-Tengger karena warganya berpindah agama menjadi Islam ataupun Nasrani. Bahkan, di era Orde Baru dan Reformasi praktik syiar agama, khususnya Islam, semakin sering dilaksanakan. Akibatnya, beberapa perangkat desa maupun masyarakat di beberapa desa Tengger berpindah agama, bahkan ikut mendirikan bangunan ibadah baru di wilayah mereka. 

Menurut catatan sebuah lembaga syiar Islam, sejak tahun 2007 hingga 2011, sudah 700 warga Tengger yang beragama Hindu mengkonversi agamanya menjadi Islam (Purwadi, 2011). Tentu saja, perpindahan agama ini berimplikasi pada berubahnya keyakinan dan ritual yang mereka jalani. 

Meskipun masih ada warga Tengger non-Hindu yang menjalankan sebagian slametan warisan leluhur, secara keyakinan dan praktik ibadah mereka sudah berubah. Menjadi wajar kalau para tokoh adat berusaha mempertahankan eksistensi ke-Tengger-an dengan cara mengisi pos-pos penting dalam birokrasi desa dengan warga Tengger yang sudah berpendidikan.  

MENCIPTAKAN RITUAL "MAYU ILMU" UNTUK PENDIDIKAN MODERN

Menariknya, untuk memperkuat program pendidikan di Tengger secara kultural, perangkat desa berkolaborasi dengan dhukun pandhita menciptakan ritual baru yang bertujuan mensukseskan program tersebut. Hal itu terjadi di Desa Ngadisari. Ritual tersebut bernama Mayu Ilmu. Tentang ritual tersebut, Kades Supoyo menjelaskan:

"Para sarjana dari Ngadisari saya slameti juga. Jadi di sini ada ritual yang namanya Mayu Ilmu, nylameti sarjana asli Tengger, setiap lima tahunan. Saya kumpulkan mereka. Saya minta ke Pak Tomo [pen, dukun pandhito Ngadisari]. Kan Tengger itu kan ada Mayu Desa, setelah pemilihan kepala desa, Mayu Bumi, Unan-unan lima tahunan. Saya tambahi, Mayu Ilmu. Pak Tomo mendukung. Dimulai tahun ini [2010]. Jadi hari Rabu Pahing. Nanti lima tahun yang akan datang Mayu Ilmu, Rabu Pahing lagi. Itu ide saya dan didukung Pak Bupati...Sekarang di Ngadisari ada 25 sarjana."

Penciptaan ritual Mayu Ilmu, meskipun baru berlangsung di wilayah Tengger Ngadisari, menjadi penanda betapa masyarakat Tengger di desa ini telah siap mentransformasikan dan menjalankan nilai-nilai modern berupa aspek kemajuan dan pengetahuan yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun