Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Empat Mata dan Tukulisme ala Kandidat Doktor

30 November 2021   04:00 Diperbarui: 30 November 2021   04:05 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukul Arwana. Dok. Kompas.com

Pak Agung, tidak ketinggalan, berkomentar: “Kalau seperti ini caranya, Empat Mata akan dianggap sebagai media politik, alat kampanye dan banyak politisi beramai-ramai ingin masuk.”

Komentar-komentar oposisional seperti di atas biasanya berlanjut ketika jedah iklan dalam bentuk percakapan sela. Tentu saja ini tidak sekedar kebetulan sesaat. Meski menjadi akademisi pertanian, tetapi ketiga kandidat doktor itu juga selalu mengikuti perkembangan perpolitikan di tanah air. Tidak heran ketika acara berita juga menjadi salah satu program favorit mereka.

Di tambah dengan berita-berita dari koran (Kompas) sehingga ketika terjadi isu-isu politik, mereka selalu memberikan komentar-komentar dalam bentuk percakapan. Kehadiran si menteri dianggap representasi kekuatan politis yang memanfaatkan ketenaran Empat Mata, demi untuk memperbaiki citra belaka. Dan bagi mereka, ketika Empat Mata sudah menjadi alat politik, itu bisa membahayakan populeritasnya, karena bisa jadi penonton akan kecewa.

Namun, pemahaman mereka, bisa juga berbeda satu sama lain, terutama ketika muncul isu-isu sensitif seputar Empat Mata. Ketika pada pertengahan Mei 2007 KPI memberikan teguran kepada tim kreatif atas beberapa indikasi adegan yang tidak baik secara moral seperti cipika/cipiki dan obrolan yang menjurus porno, maka terjadi sedikit perubahan format perilaku Tukul, semisal ia tidak mau lagi cipika/cipiki dengan bintang tamu perempuan.

Ketiga informan memiliki tanggapan yang beragam. Ketika saya memberikan komentar tentang persoalan itu dengan menyatakan ketidaksepakatan atas tindakan KPI dan perubahan yang dilakukan tim kreatif, Pak Wayan, misalnya, cenderung berbeda dengan pendapat saya dan lebih sepakat dengan apa-apa yang dilakukan Tukul: “Saya sepakat dengan apa yang dilakukan Tukul karena cipika/cipiki itu kan bukan tradisi bangsa ini. Dan kita tidak harus meniru adegan-adegan yang berasal dari Barat seperti itu.”

Sementara, Pak Parwata mempunyai komentar dengan nada berbeda, cenderung satiris: “Ya, daripada Empat Mata dihentikan, mungkin itu lebih baik. Kan kita belum begitu siap untuk hal-hal seperti itu. Kalau di Barat itu kan menjadi hal yang sangat biasa.” Adapun Pak Agung cenderung menolak relasi kuasa negara ke dalam format Empat Mata: “Ngapain kayak gitu aja ditegur, kayak kurang kerjaan aja. Kan masih banyak tayangan lain yang lebih porno.”

Dari pernyataan mereka, tampak perbedaan dalam menyikapi persoalan dan itu semua bisa jadi dipengaruhi oleh orientasi kultural di antara mereka. Pak Wayan lebih memilih untuk ‘menghormati’ tradisi sebagian masyarakat yang masih mentabukan cipika/cipiki. Artinya Pak Wayan berada dalam posisi pembacaan dominan-hegemonik dengan menyepakati apa-apa yang dilakukan Tukul dan pada kesempatan yang sama juga menerima tabu tradisi yang masih berkembang dalam sebagian masyarakat kita.

Meskipun dalam keseharian ia bergulat dengan persoalan eksakta pertanian yang bisa jadi jauh dari urusan tabu, ternyata Pak Wayan tetap menganggap itu sebagai persoalan penting yang harus dihormati dan dijaga dalam kehidupan sosial. Hal itu rupanya dipengaruhi oleh kesukaan Pak Wayan untuk membaca buku-buku budaya lokal di samping tugas utamanya membaca jurnal ilmiah. Pernah ia berkata: “Saya ini seperti orang yang salah jurusan, karena saya itu suka membaca buku-buku budaya, terutama yang berkaitan dengan tradisi lokal.”

Posisi yang diambil Pak Parwata memang terkesan menerima, tetapi penerimaan itu bernada kritis. Bukan karena persoalan tabu, tetapi masyarakat yang dibayangkan negara memang belum siap menerima perilaku seperti yang ada di Empat Mata. Untuk menegaskan alasannya ia membandingkannya dengan kondisi di Barat. Logika yang berkembang adalah daripada Empat Mata dihentikan, mungkin lebih baik menurut pada teguran-teguran tersebut.

Posisi oposisional yang diambil Pak Agung bersifat paradoks dengan sosok ningrat yang melekat pada dirinya. Di satu sisi, ia dalam kehidupan keluarganya selalu berusaha memperketat perilaku sosial anak-anaknya agar jangan sampai terjerumus dalam ‘hubungan-hubungan yang merusak’. Namun di sisi lain, ia sangat tidak suka dengan campur tangan negara terhadap Empat Mata. 

Padahal bisa saja ia bersifat menerima tindakan negara tersebut karena ia sendiri sangat membatasi kehidupan anak-anaknya. Ini menunjukkan betapa terdapat ruang kultural yang berbeda ketika Pak Agung berada di rumah dan ketika di tempat kos. Di tempat kos Pak Agung biasa berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan politis terutama yang menyangkut ketidakberesan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan negara dalam mengelola suatu kebijakan. Sementara di rumah ia lebih banyak berinteraksi dengan konsep keluarga yang harmonis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun