Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masyarakat Tengger: Menanam Sayur-mayur, Merangkul Modernitas

20 November 2021   23:01 Diperbarui: 20 November 2021   23:05 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lanskap gunung di Tengger dalam lukisan era kolonial Belanda. Dok. Collectie Tropenmuseum Belanda

Pada sebuah pagi berkabut, 5 Agustus, 2009, di tepi jalan Desa Ngadisari, saya berbincang santai dengan seorang pemuda Tengger bernama Handi. Pemuda berumur 27 tahun ini mengenakan jaket ketat yang sedang populer, celana jeans, topi, sembari menyelempangkan sarung di lehernya. 

Ketika saya bertanya tentang kegiatan kaum muda Tengger dalam ranah pertanian, Handi bertutur bahwa sehari-hari kalau sedang musim tanam, ia dan kawan-kawannya biasanya ikut ke ladang, karena dari situlah sumber kehidupan wong Tengger. Beberapa kawannya juga menjadi sopir jeep, mengantar para wisatawan ke Bromo dan Penanjakan. 

Biasanya, Selepas panen, mereka akan mendapatkan uang dari orang tua untuk membeli pakaian. Biasanya Handi dan kawan-kawannya juga membeli pakaian menjelang Hari Raya Karo, semacam lebaran. Mereka harus menerima tamu dan bertamu ke rumah kerabat dan tetangga, makanya harus tampil bagus. Kaum muda di Ngadisari sering mengenakan pakaian-pakaian modis yang dibeli dari kota, dalam kehidupan sehari-hari.

Ucapan Handi tentang "tegal sebagai sumber kehidupan" menegaskan betapa pentingnya pertanian sayur-mayur bagi keberlangsung hidup masyarakat Tengger. Kebiasaan mereka untuk mengenakan pakaian modis, lebih dari itu, membuktikan bahwa pertanian komersil menjadikan masyarakat Tengger terbiasa mengkonsumsi benda-benda modern buatan pabrik serta menghubungkan mereka dengan citra-citra kemajuan, salah satunya melalui pakaian. 

Panorama di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dok. Dias Fannah, Wikimedia Commons
Panorama di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dok. Dias Fannah, Wikimedia Commons

Secara historis, proses kultural seperti yang dilakoni oleh Handi dan kawan-kawannya sudah berlangsung lama sebagai akibat pertanian komersial yang dijalani wong Tengger. Sebelum melakukan intensifikasi pertanian dengan tanaman sayur-mayur, masyarakat Tengger adalah petani subsisten yang menanam jagung varietas lokal berusia 9-10 bulan sebagai tanaman utama sekaligus makanan pokok. 

Pertanian subsisten melahirkan cara pandang hidup dan praktik budaya yang mengedepankan kesederhanaan, keharmonisan, dan kebersamaan. Wong Tengger, misalnya, tidak terlalu mengedepankan orientasi pada kemelimpahan duniawi, tetapi lebih mengutamakan capaian sederhana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang bisa diperoleh dari ladang jagung. 

Dalam kerja-kerja pertanian, mereka juga mengedepankan gotong-royong, baik dengan meminta bantuan kepada sesama anggota keluarga dan kerabat maupun tetangga. Artinya, upah pekerjaan diwujudkan dengan membantu kerja pertanian kerabat atau tetangga yang pernah membantu kerja serupa. 

Selain itu, kedekatan mereka dengan alam dan penghormatan terhadap kekuatan dewata, menjadikan warga Tengger selalu mementingkan ritual-ritual sebagai doa kepada penguasa jagat, ruh-ruh nenek moyang, dan alam semesta. Namun demikian, kehadiran pertanian modern yang dibawa kolonialisme Eropa, telah mengantarkan masyarakat Tengger ke dalam "alam antara": antara tradisional dan modern.

Wong Tengger sebenarnya mulai menanam sayur-mayur sejak era kolonial Belanda. Mereka menanam sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Eropa dan Cina, terutama di kota-kota besar, seperti Surabaya dan sekitarnya. Meskipun demikian, jumlahnya tidak terlalu massif. 

Masyarakat Tengger baru menanam secara massif sayur-mayur pada periode 70-an. Meskipun tanpa diminta oleh pemerintah rezim Soeharto, seperti di wilayah-wilayah dataran rendah, masyarakat Tengger berinisiatif untuk menanam tanaman komersial. Hefner (1999: 15-16) mengatakan: 

...pada tahun 1970-an mereka merasa tergelitik oleh berbagai inovasi revolusi hijau yang berlangsung di dataran rendah. Respons mereka tidak menunjukkan watak konsevatif seperti yang biasanya dituduhkan kepada petani. Sebelum pemerintah mengkampanyekan  pada mereka, para petani gunung itu telah mencari bibit-bibit baru dan obat-obatan dengan usaha sendiri. Mereka melakukan berbagai percobaan teknik tanam. Akhirnya mereka menemukan sejumlah jenis tanaman yang dapat menaikkan produksi mereka. Tanpa petunjuk dari pemerintah, para petani gunung telah melancarkan revolusi hijau sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun