Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengelola Ruang Komunal: Alternatif Pengembangan Budaya Lokal

7 November 2021   08:23 Diperbarui: 7 November 2021   08:26 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang perlu dicatat adalah bahwa dalam tulisan ini saya tidak akan buru-buru menyinggung atau menghubungkan aktivitas-aktivitas pengelolaan ekspresi budaya lokal dengan agenda wisata. Pengelolaan ekspresi budaya lokal yang secara terburu-buru dijadikan atraksi wisata bisa mengabaikan keutamaan mekanisme pewarisan dan pelestarian karena hanya mengusahakan kehadiran wisatawan dan uang sebagai tujuannya.

Berangkat dari Ruang Ekspresi Komunal

Saya meyakini bahwa mayoritas masyarakat masih menginginkan dan mendambakan budaya warisan leluhur, meskipun tidak sepenuhnya. Bukan hanya masyarakat yang tinggal di desa, tetapi juga masyarakat perkotaan, tentu dengan derajat yang berbeda. 

Buktinya, kuliner lokal yang dihidangkan di restoran-restoran kota masih digemari oleh kelas menengah ataupun kelas elit. Sanggar-sanggar tari di perkotaan masih diminati anak-anak dan kaum remaja. 

Artinya, dalam gempita modernitas dan globalitas yang seringkali dicap sebagai ancaman bagi eksistensi keberagaman kultural sebuah bangsa, masih ada celah dan strategi untuk terus menegosiasikan ekspresi budaya lokal. 

Untuk bisa menjalankan strategi ideal tersebut, pertama-tama kita bisa membuat atau merevitalisasi ruang ekspresi komunal, sebuah area yang diperuntukkan untuk mengenalkan-kembali, mengembangkan, dan mempertahankan kekayaan budaya masayrakat. Konsep "ruang" dalam pemaknaan ini tidak harus berupa bangunan permanen, tetapi bisa juga berupa tanah lapang, kebun, lahan pertanian, atau tempat-tempat pertemuan warga. 

Mengikuti pemikiran Habermas (1989) tentang ruang publik, di ruang ekspresi inilah semua warga bisa berpartisipasi untuk menjalankan agenda-agenda bersama dalam suasana guyub, rukun, dan bergembira, dengan tujuan menegosiasikan dan terus mengembangkan kekayaan tradisi. 

Semua warga berhak memberikan masukan terkait pelestarian dan pengembangan serta berhak terlibat langsung, baik secara aktif maupun pasif, dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama, tanpa memandang status sosial mereka.

Contoh sederhana ruang komunal adalah tanah lapang atau halaman rumah tempat anak-anak generasi 70-an hingga 80-an bermain gopak sodor, benteng-bentengan, pal-palan, dan lain-lain. Semua anak bisa bermain dengan riang gembira menjadikan tubuh mereka sehat sembari menginternalisasi nilai-nilai "kesetiakawanan", "kompetisi sportif", "perjuangan", "kerjasama", dan lain-lain. 

Ruang komunal lain yang sampai sekarang masih bisa dijumpai adalah tempat pedhanyangan dusun di mana warga sebuah dusun secara ajeg menggelar selamatan desa berupa sedekah bumi/manganan/nyadran yang menghadirkan makanan-makanan khas dengan tujuan untuk mendoakan para leluhur, meminta keselamatan dan kemelimpahan hasil panen, serta sebagai bentuk kearifan ekologis untuk menjaga pohon-pohon besar atau sumber-sumber mata air. 

Kedua ruang komunal tersebut dengan aktivitias-aktivitas kultural di dalamnya merupakan contoh bagaimana ekspresi budaya lokal bisa dipraktikkan sembari terus dinegosiasikan dalam kehidupan warga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun