Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengelola Ruang Komunal: Alternatif Pengembangan Budaya Lokal

7 November 2021   08:23 Diperbarui: 7 November 2021   08:26 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Banyuwangi, ratusan sanggar seni menggiatkan dan meramaikan aktivitas kultural berbasis kesenian lokal gandrung, janger, kuntulan, dan lain-lain. 

Di Tulungagung, Sanggar Triwida secara ajeg menyelenggarakan kegiatan literasi kepada anggota dan masyarakat luas terkait bahasa dan sastra Jawa, meskipun mereka harus menghadapi beragam masalah, termasuk regenerasi dan pergeseran selera kultural masyarakat (Sunarko, 2017). Di Ponorogo, kelompok-kelompok reyog terus berkembang dan berdaya, baik dalam hal regenerasi maupun gelaran-gelaran kompetitif.

Mayoritas ruang ekspresi tersebut diinisiasi oleh individu atau kelompok yang memiliki pola pikir keberantaraan dan hibriditas di mana mereka masih ingin terus memperkenalkan dan menjadikan ekspresi budaya lokal tidak punah. Artinya, mereka menyadari bahwa tidak mungkin mengajak masyarakat atau komunitas kembali ke masa lalu-lokal sepenuhnya, tetapi bukan berarti harus larut sepenuhnya dalam ritme dan gerak budaya modern. 

Aktivitas menegosiasikan secara ajeg budaya lokal yang masih ada atau hampir punah merupakan strategi komunal untuk melakukan resistensi lembut terhadap kekuatan hegemonik globalisasi yang digerakkan negara-negara maju. 

Pengaruh positifnya adalah menguatnya kesadaran komunal yang akan menjadi titik-titik kebangkitan sekaligus memunculkan lokalisme baru[5] di mana masyarakat dan budaya lokal bergerak dinamis dan transformatif, bukan hidup dalam kemandegan; terbuka terhadap strategi dan mekanisme liat agar bisa survive dalam arus perubahan (Schuerkens, 2003). 

Ruang ekspresi komunal adalah ruang dinamis yang tidak hendak membawa masyarakat, khususnya generasi muda, hidup dalam kelokalan dan keprimitifan, tetapi terus memahami, mencintai, dan menjalankan sebagian budaya leluhur mereka di tengah-tengah kebiasaan menikmati budaya modern. Dengan pemahaman tersebut, ekspresi budaya lokal bisa tetap dipertahankan bentuknya aslinya, dimodifikasi tanpa meninggalkan substansi dasarnya, atau dikelola dengan perpaduan manajemen modern dan kekeluargaan, sehingga tidak memunculkan kekakuan dogmatis.

Menjalankan Sinergi: Negara dan Masyarakat  

Selain mendukung aktivitas-aktivitas dalam ruang-ruang ekspresi komunal yang sudah berlangsung, baik dalam bentuk dukungan dana maupun pelibatan mereka dalam program-program rutin, pemerintah daerah sebenarnya bisa melaukan langkah-langkah strategis bersama-sama dengan segenap elemen masyarakat. Selain itu, kontribusi pemerintah daerah bukan lagi bersifat top-down, tapi harus berdasarkan riset dan pendapat warga terkait potensi-potensi ekspresi budaya lokal apa yang masih bisa dilestarikan dan dikembangkan keberadaannya untuk masing-masing daerah. 

Dengan cara demikian, masyarakat tidak lagi diikat dalam sekedar formalitas, tetapi mereka juga menjadi subjek atau agen yang terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas yang berasal dari khasana budaya mereka. Pergeseran paradigma ini mutlak dibutuhkan oleh jajaran birokrasi di tingkat daerah, karena hanya dengan itulah integrasi ala gusti-kawula bisa direvitalisasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Prinsip sinergi antara negara dan masyarakat, suka atau tidak suka, harus dilakukan agar mekanisme penciptaan ruang ekspresi komunal dan aktivitas-aktivitas di dalamnya bisa berlangsung secara maksimal dan tidak terkesan hanya memenuhi program. Sinergi dalam hal ini dipahami sebagai kerjasama yang mengusung semangat setara dan saling mendukung antara negara dan elemen masyarakat. Pemerintah daerah sebagai aparatus negara melalui dinas terkait memang memiliki kuasa untuk membuat kebijakan-kebijakan budaya. 

Agar lebih bermanfaat dan dibenar-benar dijalankan warga dengan senang, kebijakan tersebut harus berasal dari permasalahan dan keinginan masyarakat serta melibatkan warga dalam pelaksanaannya, bukan hanya sekelompok orang atau sanggar yang disukai dinas. Dinas sebisa mungkin melibatkan pendidik, LSM, organisasi sosial, institusi kesenian, dan warga yang bisa diajak bersama-sama untuk memetakan potensi dan mengembangkan ekspresi budaya lokal. Dengan prinsip sinergi itulah, pemerintah daerah bisa menciptakan kebijakan-kebijakan berikut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun