Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengelola Ruang Komunal: Alternatif Pengembangan Budaya Lokal

7 November 2021   08:23 Diperbarui: 7 November 2021   08:26 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ritual Seblang di Olehsari dan Bakungan di Banyuwangi atau ritual Sedekah Bumi bisa ditambahi gelar produk kuliner, diskusi kearifan-kearifan ekologis-kultural, ataupun pemutaran film dokumenter tentang potensi budaya desa. Selain itu, bisa juga dibuat event baru yang mempertemukan para penggiat ruang komunal dan para seniman dengan tujuan menampilkan karya kreatif atau hasil proses pendampingan terhadap warga komunitas tanpa meninggalkan basis tradisi yang sudah ada sebelumnya.

Para penggiat di Dewan Kesenian Jember (DeKaJe, kini Dewan Kebudayaan Jember), misalnya, bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Perhutani, pemerintah kecamatan dan pemerintah desa menyelenggarakanBolo Srewu Jaranan Barong (2017-2018) dan Bhakti Bumi Gunung Mayang (2017-2018). 

Bolo Srewu 2017. Dok. DeKaJe
Bolo Srewu 2017. Dok. DeKaJe
Bolo Srewu adalah pagelaran yang mempertemukan para pegiat seni jaranan/jathilan, barongsai dan beberapa kesenian lain yang tumbuh dan berkembang di Jember. Para seniman rakyat dilibatkan langsung untuk mendesain dan melaksanakan acara. Keterlibatan langsung para seniman ini menunjukkan bahwa subjek pelaku dan pewaris aktif diberikan hak bersuara dan menyuarakan gagasan mereka dalam pengembangan ekspresi budaya lokal. 

Adapun Bhakti Bumi merupakan acara ritual warga desa di Kecamatan Mumbulsari yang sekaligus menampilkan karya seni dan kuliner lokal. Dalam acara ini juga dilakukan penanaman pohon bersama sebagai upaya untuk menghijaukan-kembali Gunung Mayang yang sebagian besar pohonnya ditebang sejak pasca Reformasi 1998. Pelibatan generasi penerus dalam dua kegiatan tersebut merupakan usaha untuk menjadikan ruang komunal, lapangan desa, sebagai tempat yang saling mempertemukan kepentingan ritual dan ekologis dengan regenerasi ekspresi budaya lokal.

Barongan dalam Rampak Ujung Gethekan. Dok. DeKaJe
Barongan dalam Rampak Ujung Gethekan. Dok. DeKaJe
Selain itu, pada tahun 2019, DeKaJe menggelar acara gotong royong bersama warga di kawasan Lojejer, Kecamatan Wuluhan, berupa Rampak Ujung Gethekan yang menggelar ritual adat, pertunjukan jaranan, janger berdendang, barongan, kuda kencak, dan yang lain. Acara yang digelar di pinggir sungai Bedadung ini dimaksudkan untuk mengembangkan budaya lokal dan kesadaran ekologis masyarakat pinggir sungai. 

Reyog dalam Sukorejo Serempak. Dok. DeKaJe
Reyog dalam Sukorejo Serempak. Dok. DeKaJe

Tahun 2020, DeKaJe menggelar hajatan budaya di ruang komunal kota, yakni Taman Kota Sumbersasi, dengan acara Sukorejo Serempak. Acara ini menampilkan para seniman muda jaranan, reyog Ponorogo, gelar cemeti, dan yang lain. Tujuannya ingin memperkenalkan kembali kasanah kesenian lokal Jember yang cukup beragam di ruang komunal kota sehingga anak-anak dan kaum muda setidaknya tahu bagaimana budaya mereka.

Masih di tahun 2020, sebelum pandemi menyerang, DeKaJe menyelenggarakan event eko-kultural bertajuk Lembayung di Sepikul, di Desa Pakusari, Jember. Dua bukit yang dikenal dengan nama Sepikul menjadi arena kultural seperti painting on the spot, parade sound mini, dan gelar ragam pertunjukan etnis di Jember. Melalui acara ini masyarakat diajak bersama-sama untuk memahami pentingnya budaya dan kelestarian ekologis dalam kehidupan mereka. 

Catatan Penutup

Tentu saja, beberapa kebijakan di atas hanyalah alternatif yang bisa dikerjakan pemerintah daerah. Pemerintah daerah tentu bisa mengadopsi atau memodifikasi alternatif-alternatif tersebut atau memformulasi kebijakan baru yang disesuaikan dengan keadaan, potensi, dan permasalahan terkait ekspresi budaya lokal di masing-masing wilayah. 

Paling tidak, prinsip sinergi dengan perspektif bottom up bisa mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang diharapkan bisa memberikan dampak positif bagi pengembangan ekspresi budaya lokal. Pemerintah daerah sudah seharusnya melakukan terobosan kebijakan yang tidak hanya berorientasi kepada ekonomi pariwisata, sebagaimana sedang menjadi trend dewasa ini. Kebijakan budaya berorientasi ekonomi pariwisata memang sah-sah saja, tetapi tetap harus diperkuat dengan program-program berorientasi pelestarian dan pemberdayaan ekspresi budaya lokal di tingkat masyarakat secara langsung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun