Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Langkah dan Mantra yang Diperjuangkan

10 Juli 2020   22:11 Diperbarui: 10 Juli 2020   23:03 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“He...he, begini, tadi aku melihat kamu meneteskan air mata. Nah, menurutku itu sebuah penanda kalau kamu sangat care dengan nasib yang dialami Cicik. Itu artinya, batinmu sudah dipenuhi konsep sayang kepada Cicik. Lalu, aku berpikir, kenapa ndak dijadikan adik angkat? Kan kamu di rumah tidak punya adik perempuan. Adik perempuanku juga di Surabaya. Makanya, tadi aku langsung bilang seperti itu.”

“Berarti batin kita nyambung dong?” goda Nandi sambil mengenakan helm.

“Kadang-kadang sih,” sahut Ivan yang langusng disambut Nandi, lagi-lagi, dengan sebuah cubitan di perutnya.

Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan rencana kunjungan ke Cicik dan barang-barang yang disiapkan. Mereka berjanji untuk menyisihkan uang saku untuk membeli barang-barang tersebut. Entah, mungkin karena kejutan indah mendapatkan adik angkat itulah yang menjadikan Nandi merasa semakin dekat dengan Ivan dan cinta itu tumbuh semakin kuat. 

Sampai-sampai, ia tidak menghiraukan lagi bahwa lelaki yang memboncengnya belumlah resmi menjadi kekasihnya: Nandi memeluk erat pinggangnya dan menyandarkan kepala di pundaknya secara bergantian. Ivan sendiri dihinggapi hawa adem-panas yang mengalir ke syaraf kelelakiannya, ketika buah dada sahabatnya itu menempel di punggungnya. 

“Sabar...sabar...tenang...tenang. Ini hanya gairah sesaat yang tidak perlu dituruti,” gumamnya dalam batin untuk mengendalikan hasratnya yang mulai memburu. Wajarlah, lelaki mana yang tidak seperti itu. 

***

Sementara, Nandi sibuk menulis beberapa artikel pendek tentang kuburan massal PKI di hutan larangan untuk mengisi hari-harinya di Jember, Ivan memilih bergulat dengan skripsi. Hampir setiap malam ia mengetik di rental yang tidak jauh dari tempat kosnya. Sering juga ia menyempatkan diri menengok kawan-kawannya di DKK atau ngopi bareng mereka setelah selesai mengetik. Namun, tidak jarang pula ia mengetik sampai Subuh, sehingga waktu pagi sampai siang menjadi jam tidurnya. Kadang, ia ingin sekali bertandang ke tempat kos Nandi, sekedar mengisi waktu senggang, tetapi itu dibatalkannya karena ia tidak ingin mengganggu konsentrasi sahabatnya untuk menulis artikel tentang hutan larangan. Apalagi, Nandi sendiri yang memintanya untuk konsentrasi skripsi.

“Skripsi itu semakin kamu tunda, akan semakin tidak jelas; tidak jelas alur berpikirnya, tidak jelas pula kapan selesainya,” begitu nasehat Nandi ketika mereka berdua makan di Warung Oyi sekembalinya dari Banyuwangi.

“Terus kalau aku kangen sama kamu?”

“Sudah ditunda dulu kangennya. Bolehlah kamu telepon atau datang ke tempat kosku, syaratnya kamu harus menunjukkan kepadaku sudah berapa halaman skripsi yang kamu ketik. Aku ndak mau sahabatku lebih mementingkan rasa kangen ketimbang skripsinya. Ada saatnya, nanti, kita meresapi itu semua, Van.”

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun