Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pranata Mangsa, Pengetahuan Musim Tanam yang Mulai Ditinggalkan

18 Juni 2020   22:59 Diperbarui: 19 Juni 2020   09:30 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapitu (ketujuh), 22 Desember - 2 Pebruari, berwatak  "wisa kentar ing maruta (bisa terbang tertiup angin). Kawolu (kedelapan), 3 Pebruari - 28 Pebruari, berkarakter  "anjrah jroning kayun" (sesuatu sedang merebak di dalam kehendak). 

Kasanga, 1 Maret - 25 Maret, berwatak "wedare wacana mulya" (keluarnya ucapan/sabda mulia). Kasapuluh (kesepuluh), 26 Maret - 18 April, berwatak "gedong minep jroning kalbu" (gedung tertutup dalam hati/masa binatang hamil). 

Destha (kesebelas), 19 April - 11 Mei, berkarakter "sotya sinarawedi (intan yang tampak seperti diasah. Sada (keduabelas), 12 Mei - 11 Juni "tirta sah saking sasana (air lenyap dari tempatnya". 

Apabila kita perhatikan, yang sangat khas dari pranata mangsa adalah kemampuan para leluhur untuk mengidentifikasi jenis mangsa dan perlambang yang ada pada masing-masing (watak). 

Menariknya, masing-masing watak tersebut menjelaskan kondisi meteorologis dan gejala alam yang menyertai masing-masing mangsa. 

Bagaimana bisa para petani Jawa zaman dulu menemukan perlambang watak dalam pranata mangsa? Tentu saja dari pengalaman-pengalaman selama menggarap lahan pertanian dan dari kehidupan sehari-hari karena pengetahuan tradisional mereka memang lebih bersifat empirik—berdasarkan pengalaman. Berikut ini kodisi meteorologis dan gejala alam dari pranata mangsa. 

Pada mangsa kasa, sinar matahari 76%, lengas udara 60,1%, curah hujan 67,2 mm, suhu udara 27,4 derajat Celcius, dengan bintang Sapigumarang. Gejala alam yang menyertainya adalah daun-daun berguguran, bintang beralih, sejenis belalang masuk ke dalam tanah untuk bertelur. 

Pada masa ini para petani membakar damen  yang tersisa di sawah dan mulai menanam palawija, seperti kedelai. Mangsa karo memiliki kondisi metereologis berupa kemarau (ketiga), curah hujan turun menjadi 32,2 mm, dengan bintang Tagih.

Tanah mulai retak (nela), pohon randu dan mangga mulai berbunga dan manusia mulai mengalami kondisi paceklik. Mangsa katelu ditandai dengan kemarau yang semakin menjadi, meski curah hujan naik 42,4 mm, dengan bintang Lumbung. 

Sumur-sumur warga mulai mengering (nitik), angin kencang berdebu, dan bambu mulai tumbuh. Petani memanen palawija, setelah itu hanya bisa pasrah dan berdoa agar segera turun hujan. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pada mangsa kapat musim hujan (labuh) mulai datang, sinar matahari 72%, lengas udara 75,5%, sedangkan curah huan 83,3 mm dan suhu urdara 26,7 derajat celcius, dengan bintang Jarandawuk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun