Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Penulis

Peminat Sejarah, Budaya dan Kajian Keamanan Nasional. Cita-cita jadi anggota KOWAL tapi gagal karena mabuk laut. Ingin jadi WARA tapi phobia ketinggian. Ingin jadi Diplomat tapi TOEFL belum 600.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Senapan Berkarat :Refleksi Korupsi Militer dalam Film "The War of Loong"

19 April 2025   12:46 Diperbarui: 19 April 2025   12:46 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Teaser Film The War of Loong (Sumber : pinterest.com) 

Tindakan drastis Jenderal Feng dalam film juga menimbulkan pertanyaan tentang cara terbaik menangani korupsi militer. Meski eksekusi langsung terhadap koruptor memang mengembalikan kepercayaan pasukan dalam jangka pendek, pendekatan tersebut sulit dipertahankan dalam sistem modern yang menjunjung tinggi proses hukum. General (Purn.) Stanley McChrystal, mantan komandan pasukan Amerika di Afghanistan, berargumen bahwa integritas institusional lebih berkelanjutan daripada tindakan keras individual. "Membangun sistem yang transparan dengan akuntabilitas yang kuat lebih efektif dalam jangka panjang dibanding mengandalkan keputusan heroik namun ekstrem dari komandan tunggal," ujarnya dalam sebuah esai di Foreign Affairs pada 2021.

Pengalaman negara-negara yang telah berhasil mereformasi sistem pertahanan mereka mendukung pandangan ini. Kolombia, misalnya, berhasil mengurangi tingkat korupsi dalam angkatan bersenjatanya melalui kombinasi antara transparansi anggaran, peningkatan pengawasan sipil, dan reformasi dalam proses pengadaan. Inisiatif ini termasuk publikasi kontrak pertahanan non-rahasia, pelibatan masyarakat sipil dalam komite pengawas, dan rotasi personil di posisi rentan korupsi. Hasilnya, indeks persepsi korupsi sektor pertahanan Kolombia meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir.

Dr. Alexandra Wrage dari TRACE International mencatat bahwa kesuksesan Kolombia berakar pada pendekatan sistemik yang melibatkan both carrots and sticks atau insentif untuk perilaku etis dan konsekuensi tegas bagi pelanggar. "Alih-alih fokus hanya pada penghukuman pelaku, Kolombia juga memberikan insentif karier dan penghargaan bagi perwira yang menegakkan standar integritas tinggi," jelasnya dalam studi kasus yang dipublikasikan pada 2020.

Ukraina, yang sebelum 2014 dikenal memiliki tingkat korupsi militer tinggi, juga menunjukkan perbaikan signifikan setelah menerapkan reformasi komprehensif. Pasca Revolusi Maidan, Kiev meluncurkan program antikorupsi yang mencakup digitalisasi sistem pengadaan pertahanan, verifikasi aset pejabat militer, dan pembentukan badan pengawas independen. Meski belum sempurna, reformasi ini berkontribusi pada peningkatan kemampuan tempur yang terlihat jelas ketika Ukraina menghadapi invasi Rusia pada 2022.

Profesor Peter Feaver dari Duke University, pakar dalam hubungan sipil-militer, menekankan pentingnya pengawasan demokratis dalam mengendalikan korupsi. "Militer yang paling tangguh terhadap korupsi adalah yang beroperasi di bawah pengawasan sipil yang kuat namun tidak bersifat politis," tulisnya dalam "Armed Servants: Agency, Oversight, and Civil-Military Relations." Negara-negara dengan tradisi kontrol sipil yang mapan, seperti Jerman dan Denmark, konsisten menunjukkan tingkat korupsi militer yang rendah.

Korupsi Militer sebagai Krisis Moral

Yang menarik dari film "The War of Loong" adalah bagaimana ia menggarisbawahi fakta bahwa korupsi militer bukan sekadar masalah ekonomi atau administratif, melainkan juga krisis moral. Jenderal Feng memperlakukan pengkhianatan Wang tidak hanya sebagai kejahatan terhadap negara, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai fundamental militer seperti, kehormatan, kesetiaan, dan pengorbanan. Perspektif ini bergaung dalam literatur akademik modern tentang etika militer.

Profesor Samuel Huntington dalam karya klasiknya "The Soldier and the State" menekankan pentingnya "profesionalisme militer" yang mencakup etika pelayanan dan pengorbanan. Korupsi, dalam perspektif ini, bukan hanya mengurangi kemampuan tempur tetapi juga merusak identitas dan tujuan institusi militer itu sendiri. Akademisi kontemporer seperti Dr. Martin Cook dari US Naval War College mengembangkan pemikiran ini lebih jauh, menggambarkan korupsi sebagai "pengkhianatan ganda" terhadap masyarakat yang dilayani dan terhadap sesama prajurit.

Dr. Shannon E. French, direktur Inamori International Center for Ethics and Excellence, menyoroti bagaimana korupsi militer bertentangan dengan konsep "warrior code" yang ada di hampir semua tradisi militer dunia. "Kode ini menekankan bahwa kekuatan yang diberikan kepada prajurit harus digunakan untuk melindungi yang lemah, bukan untuk keuntungan pribadi," tulisnya dalam "The Code of the Warrior: Ethics and Confrontation in Historical and Contemporary Perspective." Ketika pemimpin militer terlibat korupsi, mereka tidak hanya melanggar hukum tetapi juga mengkhianati tradisi etis yang mendefinisikan institusi mereka.

Argumen ini diperkuat oleh penelitian Dr. Rebecca Schiff dari University of Michigan tentang teori "concordance" hubungan sipil-militer. Schiff menemukan bahwa militer yang memiliki tingkat koherensi nilai tinggi dengan masyarakat yang dilayaninya cenderung lebih resisten terhadap korupsi sistemik. "Ketika angkatan bersenjata dan masyarakat sipil berbagi pemahaman yang sama tentang tujuan dan nilai-nilai institusi militer, lingkungan yang kondusif bagi integritas tercipta," tulisnya dalam jurnal Armed Forces & Society.

Dampak Teknologi dan Transparansi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun