Para prajurit mungkin terpaksa beroperasi dengan senjata yang tidak memadai, persediaan yang minim, atau pelatihan yang tidak mencukupi sehingga kondisi ini dapat berakibat fatal di medan perang. Sebagai contoh, selama operasi melawan militansi di Nigeria utara, beberapa unit militer dilaporkan hanya memiliki 30 peluru per prajurit yang sebenarnya jauh di bawah standar minimum karena dana untuk amunisi telah digelapkan. Akibatnya, tingkat kematian di kalangan personil militer meningkat signifikan, dan upaya menangkal terorisme menjadi kurang efektif.
Dr. Olivia Allison, peneliti keamanan di University of Cambridge, mengemukakan bahwa korupsi juga merusak kemampuan institusi militer untuk beradaptasi dan berinovasi.Â
"Negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi di sektor pertahanan cenderung tetap bergantung pada teknologi usang dan doktrin kadaluarsa, bahkan ketika lingkungan keamanan mengalami perubahan drastis," tulisnya dalam jurnal "Defense & Security Analysis" pada 2020.Â
Hal ini terjadi karena inovasi dan reformasi mengancam aliran keuntungan ilegal yang telah mapan. Kisah dalam "War of Loong" menemukan resonansinya di konflik modern. Selama invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, misalnya, sejumlah laporan mengindikasikan bahwa korupsi endemik dalam militer Rusia berkontribusi terhadap kinerja yang lebih buruk dari yang diperkirakan. Banyak unit yang tiba di medan perang dengan peralatan usang, kendaraan yang tidak terawat, dan ransum kadaluarsa. Alih-alih menginvestasikan dana untuk modernisasi yang sesungguhnya, beberapa komandan diduga telah mengalihkan anggaran tersebut untuk kepentingan pribadi. Mark Galeotti, pakar militer Rusia dari University College London, mencatat: "Apa yang kita saksikan adalah konsekuensi dari korupsi sistemik yang telah menggerogoti kesiapan pertempuran selama bertahun-tahun."
Moral Pasukan dan Implikasi Psikologis
Film "The War of Loong" juga secara implisit menyoroti hubungan antara korupsi dan moral pasukan dengan tema yang banyak dibahas dalam literatur psikologi militer kontemporer. Ketika para prajurit di Zhengnan Guan mengetahui bahwa kekurangan yang mereka alami bukan karena keterbatasan sumber daya negara melainkan akibat korupsi Jenderal Wang, kepercayaan mereka terhadap rantai komando nyaris runtuh sepenuhnya. Hanya tindakan tegas Jenderal Feng yang berhasil memulihkan semangat juang mereka.
Dr. Leo Blanken dari Naval Postgraduate School menemukan korelasi kuat antara persepsi korupsi kepemimpinan dan penurunan kohesi unit. "Ketika prajurit menyadari bahwa komandan mereka memperkaya diri sementara pasukan kekurangan sumber daya dasar, kepercayaan menjadi elemen fundamental dalam kohesi militer akan runtuh dengan cepat," jelasnya dalam penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pasukan yang dipublikasikan pada 2019.
Profesor Dave Grossman, penulis "On Killing" dan pakar psikologi militer, menambahkan dimensi lain dari dampak korupsi. "Prajurit bersedia mempertaruhkan nyawa ketika mereka percaya bahwa pengorbanan mereka memiliki makna dan bahwa atasan mereka menghargai hidup mereka," tulisnya.Â
"Korupsi menghancurkan kepercayaan ini, membuat prajurit merasa dieksploitasi dan dikhianati sehingga menciptakan suatu kondisi yang dapat melumpuhkan efektivitas tempur bahkan dari unit elit sekalipun."
Penelitian yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2021 mengonfirmasi hal ini. Dalam studi yang melibatkan mantan anggota militer dari 12 negara berbeda, 76% responden menyatakan bahwa pengetahuan tentang korupsi di tingkat atas secara signifikan mengurangi kesiapan mereka untuk mengambil risiko di medan perang. Dengan kata lain, korupsi tidak hanya mengurangi kapabilitas material pasukan, tetapi juga merusak etos tempur mereka dan rdampak yang jauh lebih sulit diukur tetapi potensial sama destruktifnya.
Penanganan Korupsi Militer melalui Pendekatan Global