Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pelajar, Belajar dan Mengajar. Duduk, Lihat, Dengar, Berpikir, Analisis dan Bicara. #Nulisaja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

TANAH ADAT DI TENGAH PEMBANGUNAN NASIONAL

4 Desember 2021   00:01 Diperbarui: 6 Desember 2021   14:03 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tak kenal Amerika Serikat, sebagai negara Super Power, Amerika Serikat dapat dikatakan sebagai rujukan bagi negara-negara berkembang dalam menentukan kebijakan publik mereka. 

Kemajuan ekonomi Amerika Serikat yang sangat hebat tersebut juga merupakan contoh yang sering dihadirkan ketika ekonomi mereka ingin dibangun. 

Tetapi, negara-negara berkembang itu lupa bahwa untuk menjadi negara adikuasa banyak yang harus dikorbankan di awal perencanaan. 

Misalkan pada abad 15 saat melakukan kolonisasi di benua Amerika, banyak sekali genosida yang dilakukan oleh para penjelajah dari Eropa terhadap suku Indian. 

Perebutan kekuasaan wilayah menjadi salah satu alasan terjadinya genosida terhadap suku Indian, bahkan untuk mereka yang masih hidup, paksaan untuk melupakan adat istiadat leluhur pun dilakukan oleh penjelajah Eropa. 


Mulai dari dilarangnya penggunaan bahasa asli suku-suku Indian, pemakaian atribut suku Indian hingga pada dirusaknya wilayah adat suku Indian dan digantikan oleh aturan-aturan orang-orang Eropa yang pada saat itu bertujuan untuk mengeksploitasi kekayaan alam Amerika. 

Hilangnya aturan adat suku Indian dikarenakan aturan tersebut dianggap terlalu lunak terhadap alam sehingga menghilangkan potensi ekonomi yang bisa didapatkan dari kekayaan alam Amerika. 

Bahkan di tahun 2021, masih ada penggiat HAM dan Lingkungan Hidup keturunan Indian yang menuntut hak mereka kepada pemerintah AS dan Kanada atas pengeksploitasian Tanah adat suku Indian yang tidak memperhatikan pemeliharaan lingkungan. 

Fakta inilah yang sering dilupakan oleh negara-negara berkembang tentang efek buruk dari pemaksaan pembangunan yang berlebihan karena tergiur oleh investasi dan keuntungan ekonomi tanpa memperhatikan nilai-nilai adat-istiadat wilayah masing-masing.

Di Indonesia sendiri, sudah banyak kebijakan negara atas nama pembangunan ekonomi dan investasi yang pada akhirnya merusak lingkungan terutama ulayat adat lokal. 

Suku dayak di Kalimantan Barat menjadi salah satu suku yang dirugikan karena wilayah adat mereka mulai mengalami penggerusan akibat aktivitas penambangan, hukum adat mereka tak mampu menandingi kekuatan hukum dari Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang memberikan akses bagi perusahaan tambang ke wilayah adat suku Dayak. 

Padahal kekuatan Hukum Adat telah diakui oleh Undang-undang Dasar sebagai pedoman dasar dalam pengelolaan sumber daya alam yang aman bagi lingkungan hidup masyarakat sekitar. 

Tetapi, siapa yang mau menggubris hukum adat, jika Perda sudah direpresentasikan sebagai “kehadiran negara” dalam memutuskan masalah.

Provinsi Nusa Tenggara Timur juga menjadi salah satu provinsi yang menjadi sorotan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai dari sumber daya alamnya serta pembangunan ekonomi, sehingga tidak mengherankan jika NTT mulai mengalami pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. 

Tetapi, pembangunan infrastruktur yang begitu masif tidak disertai dengan melek budaya. NTT merupakan salah satu Provinsi yang masih ketat dalam menjalankan adat-istiadat masing-masing, berbeda dengan kota Kupang, daerah-daerah lainnya di NTT masih mengalami cultur shock akibat pembangunan yang masif, di antaranya perbedaan persepsi tentang wilayah adat, di mana pemerintah NTT melihat wilayah adat sebagai wilayah yang dapat diotorisasi secara penuh jika berpatokan pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3, tetapi masyarakat adat pun bertahan pada UUD 1945 pasal 18B ayat 2. 

Tetapi, terdapat celah pada pasal 18B ayat 2, di mana hak masyarakat adat dibatasi oleh kepentingan negara / kesejahteraan umum, semisalnya pembangunan infrastruktur dan ekonomi. 

Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto yang didengungkan sebagai era pembangunan, tanaman Cendana NTT banyak dieksploitasi demi kepentingan ekonomi, para petani diancam apabila menggunakan cendana demi kepentingan pribadi. 

Padahal cendana itu sudah menjadi bagian dalam aktivitas mereka. Merasa dirugikan dan dieksploitasi, konon katanya petani NTT mulai memusnakan tanaman cendana secara diam-diam karena menurut mereka tanaman asli NTT tersebut tak memberikan faedah apa pun terhadap mereka selama pemerintahan Soeharto. 

Ternyata akhir pemerintahan Soeharto pun tidak serta-merta menghentikan pengeksploitasian terhadap kekayaan alam guna ekonomi. 

Pengeksploitasian tersebut tetap ada, misalnya pengelolaan pertambangan batu mangan, dan pengambilalihan tanah pribadi maupun adat adat tanpa mempertimbangan aspirasi adat masyarakatnya.

Masyarakat adat selalu ditakut-takuti dengan kemiskinan apabila tidak menyerahkan tanah adat mereka untuk dikelola oleh negara atau pun swasta guna pembangunan ekonomi. 

Sesuatu yang sangat lucu, di mana rakyat yang menjadi komponen utama berdirinya suatu negara harus diancam menggunakan tugas utama negara yakni mensejahterakan rakyat. 

Bukankah kesejahteraan rakyat adalah tujuan negara? mengapa negara harus mempertontonkan ketidakmampuan mereka dalam mencapai tujuan berdirinya negara di hadapan rakyat? 

Kembali ke persoalan pengambilalihan tanah adat, di Pulau Timor (Kabupaten Timor Tengah Selatan) sendiri, peristiwa pengambilalihan hutan adat masyarakat di Besipae masih menjadi kemelut panjang, di mana pemerintah menganggap bahwa hutan adat merupakan asset milik pemerintah provinsi NTT sedangkan menurut aturan adat yang berlaku di kalangan masyarakat adat secara umum di NTT, hutan, lahan, ataupun tanah adat merupakan asset yang pantang atau pamali untuk diperjual belikan, karena merupakan “tanah air” bagi masyarakat adat. Kalau pun ingin dimanfaatkan maka hutan, lahan atau tanah tersebut hanya bisa disewakan oleh ahli waris kepada pemerintah guna kepentingan bersama. 

Alasan mengapa ada keterlambatan pembangunan di daerah timur bukan dikarenakan oleh masyarakat adat yang terlalu “comel” dalam mempertahankan tanah adatnya tetapi karena ketidakmampuan pemerintah dalam menerjemahkan aturan adat di dalam pembangunan infrastruktur. 

Berbeda dengan pembangunan di daerah perkotaan yang cenderung mudah, pembangunan di daerah pedesaan cukup rumit karena persoalan lahan bukan hanya tentang ekonomi tetapi tentang simbol “tanah air”, harga diri, kepercayaan, dan tanggung jawab moril.

1. Simbol Tanah Air
Jauh sebelum kemerdekaan, tanah air bagi masyarakat hanyalah sekitar kampong halamannya. Tempat di mana dia dilahirkan, dibesarkan, tempat di mana orang-orang yang dia kasihi tinggal. 

Tempat itu pula yang mengajarkannya tentang bagaimana hidup berdampingan dengan alam. Dalam setiap budaya tradisional prinsip umum tentang alam ialah tentang memberi dan menerima. 

Alam akan menyediakan segala kebutuhan manusia apabila manusia mau menjaga kelestarian alam. Misalnya tradisi suku Kajang yang sangat menghargai hutan mereka, sesuatu yang tabu bagi mereka untuk menebang pohon, tetapi jika terpaksa maka mereka akan menanam pohon yang baru sebagai pengganti pohon yang telah ditebang. Contoh rasa nasionalisme sederhana yang ditampilkan oleh suku Kajang. 

Di NTT sendiri, penghormatan terhadap “tanah air” juga dilakukan oleh suku Kolana di kabupaten Alor, pantang bagi mereka menjual tanah peninggalan leluhur, walaupun ditawari sejumlah uang oleh pemerintah karena niat awal pemerintah adalah untuk membeli sebidang tanah yang diperuntukan bagi pembangunan sekolah menengah pertama di salah satu kampung di wilayah kecamatan Pureman, Alor (suku Kolana). 

Oleh ahli waris, niat pembelian tanah tersebut ditolak karena kampung halaman tidak bisa diperjual belikan dengan alasan apa pun, tetapi sebagai bentuk ketaatan terhadap pemerintah (negara), tanah tersebut disewakan untuk pembangunan sekolah TANPA memungut sepeser pun uang dari pemerintah.

2. Harga Diri
Tanah bukan hanya sekadar asset secara “ekonomi” atau modal utama dalam kebutuhan primer masyarakat adat atau desa. Tanah merupakan sebuah ukuran kekuasaan atau hierarki dalam suatu kelompok adat. Semakin luas tanah yang dimiliki atau yang diwarisi maka makin terpandang kedudukan seseorang. 

Inilah alasannya mengapa rata-rata kepala suku atau pemimpin “gudang adat” memiliki tanah yang lebih luas dibanding anggota masyarakat suku lainnya. 

Hal ini pula yang kadang membuat persoalan pengambil-alihan tanah adat jauh lebih rumit karena uang bagi masyarakat desa bukanlah segalanya, mengingat kebutuhan primer sangat mudah terpenuhi di daerah pedesaan.

3. Kepercayaan dan Tanggung jawab Moril
Kepercayaan di sini lebih kepada mitos atau pantangan masyarakat adat setempat. Masyarakat adat percaya bahwa tanah adat digolongkan sebagai sesuatu yang “hidup” dan selalu hidup berdampingan denga para pewaris. Konon katanya setiap tanah adat dijaga oleh para leluhur yang akan terus mengikat para pewaris atau penjaga tanah adat. 

Apabila tanah adat tersebut diperjual belikan maka akan terjadi musibah yang menimpa salah satu anggota masyarakat adat, entah itu pewarisnya atau orang-orang yang membelinya. 

Sementara tanggung jawab moril ialah tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan keberadaan tanah adat bagi anak-cucu nanti. Sesuatu yang memalukan bagi masyarakat adat jika dikemudian hari anak-cucu mereka adalah tamu di tanah leluhur sendiri.

Tiga faktor inilah yang menurut saya, harusnya menjadi perhatian pemerintah ketika melakukan pembangunan infrastruktur. Tidak ada yang salah dengan niat pemerintah dalam menyediakan sarana prasarana bagi masyarakat Indonesia tapi tidak salah pula bagi masyarakat adat untuk mempertahankan hak mereka sebagai pribadi maupun kelompok adat. 

Ini pula merupakan salah satu resiko yang ditakutkan oleh Bung Hatta bahwa suatu saat perbedaan budaya akan menjadi celah pertikaian, sebuah resiko besar bagi negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Kepentingan negara atau publik tidak bisa meniadakan hak individu atau suatu kelompok masyarakat adat di dalam bernegara dan bermasyarakat. 

Buat apa mengejar pembangunan jika harus melindas nilai-nilai kultural? Jika nilai-nilai tradisional mampu memanusiakan manusia, mengapa modernitas justru menginjak hak-hak manusia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun