Mohon tunggu...
defitta dewi rinjani
defitta dewi rinjani Mohon Tunggu... Seorang Mahasiswa

Mahasiswa universitas al azhar, psikologi 2020

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Silent Sturggle : Krisis Komunikasi diri Di Era Society 5.0

22 Mei 2025   08:35 Diperbarui: 22 Mei 2025   08:34 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah gemerlap kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi Society 5.0, manusia dihadapkan pada tantangan baru yang tak kalah kompleks dari era sebelumnya: krisis komunikasi. Bukan hanya antarindividu, tetapi juga dengan dirinya sendiri. Dunia yang hiper-terkoneksi justru membuat banyak orang semakin asing dengan pikiran, emosi, dan bahkan nilai-nilai pribadinya. Inilah yang disebut sebagai krisis komunikasi intrapersonal.

Kita hidup di zaman di mana “double tap” bisa berarti cinta, “seen” bisa terasa seperti penolakan, dan voice note 3 menit lebih sering didengar daripada suara hati sendiri. Meskipun terlihat lebih ‘terhubung’, faktanya banyak individu kini justru mengalami isolasi emosional. Mereka kesulitan mengidentifikasi emosi, berbicara jujur pada diri sendiri, hingga menjalin hubungan yang benar-benar otentik. Krisis komunikasi interpersonal juga turut terjadi. Munculnya social anxiety, ketergantungan validasi dari media sosial, hingga budaya cancel menjadi bukti bahwa komunikasi sehat antar manusia mulai tergeser oleh algoritma.

Mengapa Ini Terjadi?

1. Teknologi Menciptakan Distraksi Konstan
Gawai dan media sosial terus menarik perhatian kita. Akibatnya, kita jadi lebih sering merespons notifikasi daripada menyadari apa yang sedang kita rasakan.

2. Budaya Produktivitas Berlebihan
Di era Society 5.0, manusia dituntut adaptif dan selalu produktif. Celakanya, waktu untuk merenung dan memahami diri jadi ‘terlupakan’ karena dianggap tidak produktif.

3. Kurangnya Edukasi Emosi Sejak Dini
Banyak dari kita dibesarkan tanpa pembelajaran tentang literasi emosi. Padahal, kemampuan mengenali dan mengelola emosi adalah dasar komunikasi yang sehat, baik dengan diri sendiri maupun orang lain.

Dampaknya? Jangan Anggap Sepele

Burnout mental karena terus memaksakan diri tanpa refleksi. Kehilangan jati diri, karena lebih fokus menjadi ‘apa yang diinginkan orang’ dibanding siapa kita sebenarnya, Bahkan hubungan dangkal, karena komunikasi hanya sebatas teks dan emoji, tanpa kedalaman makna. Kecemasan sosial, karena terbiasa berinteraksi dalam dunia digital yang bisa diedit dan disaring.

Era Society 5.0 memang menawarkan peluang besar bagi kemajuan. Namun, tanpa komunikasi intrapersonal yang sehat, manusia hanya akan menjadi mesin yang berjalan tanpa arah. Sudah saatnya kita menyeimbangkan kecanggihan teknologi dengan keintiman pada diri. Karena sesungguhnya, the most important conversation you’ll ever have is the one with yourself.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun