Mohon tunggu...
Dyah Rinni
Dyah Rinni Mohon Tunggu... profesional -

The author of Detektif Imai dan Ruangan Separuh Retak (2011) and Detektif Imai dan Misteri Brownies yang Terluka (2011) by Buah Hati. Also Marginalia (2013) and Unfriend You (2013) @deetopia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ikuti Ke Mana Idemu Pergi

17 Mei 2012   04:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:11 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini saya merasa stres. Sebagai penulis, saya memang akrab dengan stres:  stres menghadapi deadline, stres menjelang buku naik cetak, stres melihat buku di toko buku yang belum bergerak--singkatnya, segala macam stres. Akan tetapi saya belum pernah seserius ini menghadapi stres jenis satu ini: stres dalam mengolah cerita. Saya memang belum menjadi penulis paling laku di dunia, akan tetapi saya merasa cukup pede tentang ide tulisan saya. Kalaupun mentok, biasanya satu atau dua hari juga selesai. Saya cukup menggunakan beberapa metode yang saya ketahui untuk membasmi kementokan ini: istirahat, membaca buku, menonton film, melihat cerita dari beragam sisi, dan lain-lain. Sampai saya menghadapi tantangan novel yang satu ini. Tantangannya mungkin biasa saja bagi kebanyakan novelis: menulis novel romantis. Lagipula apa sulitnya menulis novel romantis kan? Cowok ketemu cewek, Mereka terpisah karena satu dan lain hal, mereka memperjuangkan cinta dan akhirnya bersama. Apa sulitnya, kan? Saya pikir juga demikian. Saya, seperti biasa, kemudian membuat draftnya. Saya tulis sinopsisnya. Saya buat karakternya. Bahkan saya buat sinopsis per bab. Singkat kata, saya punya semua bumbu yang saya butuhkan untuk membuat novel romantis. Selama empat hari saya berkutat mengobrak-abrik plot, cerita, dan sebagainya. Hanya saja, entah mengapa saya merasa ada sesuatu yang kurang. Entah apa. Namun hati kecil saya mengatakan, "ini salah. Ini nggak pas!" Bahkan setelah sekitar 20 halaman saya menulis, suara kecil itu terus saja merengek-rengek di kepala saya. Dia sungguh menyebalkan. Dia membuat semua kalimat dalam draft saya berantakan. Saya kemudian memutuskan untuk berhenti menulis selama satu hari dan berpikir. Apa yang salah? Mengapa kalimat saya justru menjadi aneh? Ini sama sekali tidak seperti biasanya. Kemudian saya menyadari bahwa kesalahan saya adalah, saya memaksakan konsep yang ada dalam pikiran saya. Saya ingin itu dan ini. Padahal konsep itu sama sekali tidak sesuai dengan cerita saya. Mungkin ia akan menjadi cerita yang menarik, tetapi tidak kali ini. Lucunya, ketika saya melepaskan konsep itu, konsep yang saya pikir, "wah pasti bakal keren banget kalau konsep kaya' gini masuk ke dalam sebuah cerita", cerita saya malah menemukan jalan yang lebih baik. "In writing, you must kill your darlings", begitu kata penulis kondang William Faulkner. Baru sekarang saya mengerti maknanya.  Terkadang saat kita terlalu menyukai sesuatu, entah tokoh, lokasi, konsep tertentu, kita menjadi tidak obyektif. Kita memaksakan hal lain untuk menyesuaikan diri pada hal yang kita cintai itu. Akhirnya yang terjadi adalah cerita yang 'terpaksa'. Terkadang, Anda bisa melihat wujud yang terpaksa ini dalam cerita  seperti: tokoh utama perempuan yang dipaksa jadian dengan tokoh utama laki-laki, padahal mereka tidak cocok, tokoh utama yang harus tetap hidup di akhir cerita, padahal mati juga gak masalah, dan lain-lain. Jadi, jika Anda mengalami kebuntuan ide atau writer's block, mungkin Anda bisa menggunakan teknik ini. Coba buang tokoh utama, konsep, atau apapun yang paling Anda cintai dan lihat apa jadinya dengan cerita Anda. Siapa tahu ide yang Anda temukan akan jadi lebih keren.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun