Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menulis & Ngeblog, Cara Saya Merasakan Kebahagiaan Bersama Orang Lain

3 Januari 2019   14:25 Diperbarui: 3 Januari 2019   14:34 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kolase oleh Dedy Hutajulu

Sebagai penulis lokal, saya tidak punya banyak uang untuk menolong orang lain. Kemampuan saya hanya menulis. Itu satu-satunya yang saya punya dalam hidup ini. Kemampuan menulis itulah yang saya jadikan senjata untuk membantu orang lain.

***
UBA Pasaribu, aktivis pemulung menghubungi saya via sambungan telepon. Ia meminta saya 'turun' ke lapangan. "Ada nenek yang harus kita bantu," kata dia waktu itu.

Sebagai teman, saya tak banyak tanya. Kami pun mengunjungi nenek yang perlu dibantu itu. Kami bertemu dengan nenek itu di tempat dia memulung, di sebuah gudang botot di pelosok Sunggal, Deli Serdang. Kami menunggu di depan pintu gerbang sampai jam istirahat makan siang.

Nenek yang kami temui itu bernama Christina Hutagalung (58), seorang janda. Ia mengontrak rumah di pinggiran rel kereta api di kawasan kumuh Sunggal, Km13 ke arah Binjai. Kepada saya, nenek ini bercerita, setiap hari harus keluar dari kontrakannya pukul 5 pagi. Itu dilakukannya demi menghindari cibiran para tetangga. 

"Saya sudah tak tahan. Mereka menuduhku perempuan tak tau diri. Sudah tua hamil lagi, apalagi suamiku sudah tiada," beber nenek dua cucu ini.

Christina dituding hamil lagi hanya karena perutnya 'membuncit.' Rupanya, perut yang membesar itu ternyata karena ia mengidap kanker. Ia berusaha menutupi penyakitnya itu karena ketiadaan dana untuk berobat. "Seandainya saya ada uang, saya mau operasi. Tapi dari mana duit saya," katanya lagi.

Baru dua bulan ia bekerja di gudang botot itu. Ia pun hanya diupah Rp 35 ribu perhari. Namun itu jauh lebih baik, karena ia hanya ditugasi memilah-milah sampah plastik. Sebelumnya, ia memulung dengan berkeliling di jalan sambil memanggul karung. Jika penyakitnya kambuh, ia hanya mengerang kesakitan. 

Nenek ini berjuang sendirian. Ia bukan hanya menahan rasa sakit secara fisik, tetapi martabatnya juga turut terusik oleh cibiran banyak orang yang tak pernah mau tau kenapa perutnya membuncit.

Sebagai penulis, hati saya ikut remuk. Saya pun tergerak. Dari lokasi tempat saya mewawancarai Nek Christina, saya mengketak-ketuk layar ponsel. Dalam sejam, kelar satu ulasan saya tentang kisah hidup Nenek Christina. Tulisan itu saya kirim ke media online. Dan dimuat.

Tak dinyana, tulisan itu dibaca banyak orang. Dan Kepala Humas BPJS Kesehatan Lubuk Pakam mengontak saya. Berkat tulisan itu, Nenek Christina akhirnya bisa bertemu kepala BPJS Kesehatan Lubuk Pakam. Kartu Indonesia Sehatnya langsung diterbitkan. Tak berapa lama kemudian, ia pun bisa menjalani operasi. Tumor di dalam perutnya diangkat.

Dua bulan pasca operasi, saya berkunjung ke kontrakannya. Ia bercerita kalau ia sama sekali tak mengeluarkan biaya apa-apa. Ia bahkan dianjurkan dokter menjalani masa pemulihan selama tiga bulan. Dan selama tiga bulan itulah, Uba Pasaribu, rekan saya membantunya. Kini Christina sudah sembuh dan kembali melanjutkan hidupnya.

Pengalaman mendampingi Nenek Christina meyakinkan saya untuk semakin gigih menulis demi membantu orang lain. Saya masih ingat kejadian ketika Sudarno Simanjuntak, seorang jaringan di Lembaga Perlindungan Anak memosting foto Kassia, bayi umur dua bulan yang matanya bengkak sebesar bakso raksasa. Bayi tersebut menderita kanker di bagian mata.

Screenshot postingan saya di Kompasiana
Screenshot postingan saya di Kompasiana
Saya mengontak Sudarno untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Saya meminta rekan saya di LPA untuk memastikan informasi itu. Karena sudah akurat, saya juga mewawancarai ayah dan ibu kandung Kassia. Dari wawancara itu, lahirlah tulisan saya di Kompasiana tentang bayi Kassia.

Tulisan itu kemudian diviralkan oleh kawan-kawan. Di luar dugaan saya, dan oleh restu Ilahi, mengalir banyak bantuan. Seorang sahabat dari Pekanbaru menggalang dana hingga Rp 20 juta dalam seminggu. Donasi yang masuk ke rekening orangtua korban juga puluhan juta.

Ditambah lagi, Rumah Sakit Lubuk Pakam dan Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik bersedia merawat dan menangani penyakit bayi Kassia. Empati publik luar biasa dahsyat. Sayang Tuhan lebih memilih Kassia di pangkuannya. Meski hati saya sedih, namun saya tidak kecewa, karena saya dan banyak orang sudah berusaha berbuat sesuatu. Bagi saya, menulis juga sebuah aksi nyata yang dapat memenangkan banyak orang.

Kejadian tak kalah mengesankan, ketika Lasma Naftali nyaris meregang nyawa saat partus. Air ketubannya sudah pecah. Namun pihak rumah sakit X (kita rahasiakan demi menjaga nama baik), menolak membantunya bersalin lantaran keluarga ini belum membayar uang pangkal sebesar 500 ribu. 

Ibu Naftali yang sudah tua pontang-panting mencari pinjaman. Kami mendesak pihak rumah sakit agar mengutamakan menyelamatkan Naftali dan bayinya. Akhirnya pinjaman ada, kami lekas daftar, barulah Naftali ditangani. Syukur, ibu dan bayi itu selamat.

Sebagai pemulung, Naftali kewalahan membesarkan anaknya. Lantaran ia baru melahirkan dan butuh istirahat. Sedangkan suaminya juga sudah lama sakit-sakitan, sehingga benar-benar tak bisa diandalkan.

Rekan saya Uba sigap membantu Naftali. Beberapa kali kami berkunjung ke rumah Naftali membawa sembako, susu formula, dan pampers. Kami upayakan agar bayi tersebut bisa tumbuh kembang. Proses kunjungan masih terus kami lakukan hingga hari ini. 

Banyak orang secara ikhlas membantu Naftali, setelah kisah dramatisnya bersalin saya tulis di media online. Bantuan-bantuan yang mengalir itu kami sampaikan langsung kepadanya. 

Saya turut bangga ketika menggendong bayi yang dilahirkan Naftali. Saya merasakan betul, bahwa tulisan yang berdaya gugah bisa memberi secuil harapan bagi orang yang membutuhkan.

Dari gudang botot di Sunggal, sekali lagi saya mengguratkan sebuah kisah naratif tentang Namboru Nursaidah Siahaan, seorang ibu beranak delapan. Nursaidah lumpuh dua tahun, diduga karena pernah terjatuh dan efek sering mengangkat beban berat. Pasca lumpuh ia hanya terbaring di ranjangnya, di sebuah gubuk di lokasi gudang botot. Tak ada orang yang mengunjunginya.

Kisahnya saya tulis di blog, di media online dan disebar-luaskan di media sosial. Kisah tentang Namboru ini juga saya videokan dan tayang di Facebook. Dalam seminggu tak ada perubahan. 

Namun, sekali lagi, saya tak berhenti berharap. Dan benar juga, beberapa hari berikutnya, ada satu komunitas yang digawangi oleh pengusaha asal Medan tergerak hati untuk membantu. 

Komunitas pengusaha ini kemudian mendatangkan Kiki Hendrawan, ahli akupuntur dari Bekasi ke Medan. Di tangan Kiki, Namboru Siahaan akhirnya sembuh. Sayang, dua tahun pasca sembuh, Namboru ini berpulang kepada pencipta-Nya. Tetapi, sekali lagi, walau ada rasa sedih, saya tidak kecewa. Karena saya sempat menyaksikan Namboru ini sehat kembali.

Sebagai penulis sekaligus #blogger, saya menyadari betul kekuatan tulisan. Sebuah tulisan yang berdaya gugah dan berdaya sengat ampuh membawa perubahan.

Melalui tulisan kita bisa menumbuhkan empati publik. Melalui tulisan kita bisa menyengat pejabat publik. Melalui tulisan kita membawa harapan bagi banyak orang yang hopeless.

Dan platform blog sanggup menjembatani niat dan semangat kita untuk melayani orang lain. Tak perlu minder menjadi blogger, walau hanya memiliki platform blogspot atau wordpress gratisan. 

Saya selalu percaya, baik blog gratisan maupun berbayar hanyalah medium. Yang paling penting adalah informasi apa yang hendak kita sampaikan.

Era Digital

Beruntunglah kita hidup di era digital ini. Kekuatan gagasan didukung oleh internet di ujung jari, maka sekali ketukan kita bisa membuat perubahan. Bagi saya, internet dan dunia blog menjadi alat (senjata) pamungkas untuk membawa perubahan.

Dari sumpeknya gudang botot sekalipun, atau dari riuhnya ruang IGD Rumah Sakit, saya akan terus bergerilya menulis dan bersuara. 

Jika di 2017, dan 2018 saya getol menulis, di 2019 semangat itu terus saya nyalakan.
Betul kata Bung Adhi Nugroho dalam sepenggal kalimatnya di https://www.nodiharahap.com/2018/12/kompetisi-blog-nodi.html?m=1Apa gunanya bahagia jika dirasakan oleh seorang diri saja?

Menulis dan ngeblog adalah cara saya merasakan kebahagiaan bersama banyak orang. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun