Mohon tunggu...
Dedi Sapriadi Manurung
Dedi Sapriadi Manurung Mohon Tunggu... Mahasiswa Aktif Universitas Negeri Jakarta

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena konten Kreator: Antara Ekspresi Diri dan Komersialisasi Budaya

2 Juli 2025   10:08 Diperbarui: 2 Juli 2025   10:08 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam dekade terakhir, dan semakin mencolok pada tahun 2025, masyarakat global dan khususnya Indonesia menyaksikan gelombang baru dalam penggunaan media sosial: kemunculan konten kreator sebagai aktor budaya yang tak hanya mengekspresikan diri, tetapi juga mengomodifikasi budaya lokal untuk kepentingan ekonomi. Dari YouTube, TikTok, Instagram, hingga platform lokal seperti SnackVideo, masyarakat khususnya generasi muda berlomba-lomba membuat konten yang menarik perhatian publik. Di balik tren ini, terjadi benturan antara ekspresi pribadi, komersialisasi, dan warisan budaya.

Konten kreator seperti food vlogger, travel influencer, hingga penari TikTok tradisional telah mengangkat elemen budaya lokal ke permukaan. Tarian daerah, kuliner tradisional, hingga adat istiadat kini hadir dalam bentuk potongan video berdurasi satu menit, dilengkapi filter, musik viral, dan narasi komersial. Fenomena ini membangun peluang baru bagi pelestarian budaya, tapi juga mengundang kontroversi: apakah budaya sedang dirayakan atau sedang dijual?

Perkembangan ini menyentuh dua sisi mata uang. Di satu sisi, konten kreator menjadi agen ekspresi diri yang bebas dan kreatif, mendekatkan anak muda pada identitas lokal. Di sisi lain, proses ini sering kali mengaburkan nilai-nilai budaya karena dibingkai secara estetis dan ekonomis. Konten budaya yang viral tidak selalu merepresentasikan makna aslinya; ia sering kali direduksi menjadi sekadar tontonan, bahkan komoditas.

Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman etnis dan adat istiadat, pertanyaan yang mengemuka adalah: sejauh mana para konten kreator memahami nilai budaya yang mereka tampilkan? Apakah ekspresi ini memperkaya kebudayaan atau justru mereduksinya menjadi “barang jualan”? Dan bagaimana pendidikan serta masyarakat menyikapi perubahan ini agar tidak terjebak dalam euforia digital semata?

Dalam pandangan fungsionalisme, masyarakat bekerja seperti sebuah sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling mendukung. Budaya berfungsi sebagai perekat sosial yang menjaga kohesi masyarakat. Dalam konteks konten kreator, budaya yang ditampilkan di media sosial berfungsi menyatukan identitas kolektif dan memperkuat rasa kebangsaan. Misalnya, tarian tradisional yang ditampilkan oleh seleb TikTok bisa membuat generasi muda merasa bangga terhadap warisan budayanya.

Namun, ketika konten tersebut semata-mata dibuat untuk mengejar likes, followers, dan uang sponsor, maka fungsi budaya bergeser menjadi alat produksi ekonomi. Nilai budaya menjadi simbol untuk diperdagangkan. Dalam kondisi ini, fungsi budaya tidak lagi menjaga nilai, melainkan memperkuat struktur ekonomi kapitalistik berbasis algoritma dan popularitas.

Teori konflik memandang bahwa masyarakat selalu berada dalam dinamika perebutan kekuasaan dan sumber daya. Dalam konteks konten kreator, terjadi ketimpangan akses dan representasi budaya. Budaya minoritas sering kali dijadikan “ornamen eksotik” oleh konten kreator yang berasal dari luar komunitasnya. Ini dapat menciptakan bentuk baru dari eksploitasi budaya (cultural appropriation) di mana budaya lokal dijadikan konten tanpa pemahaman mendalam dan tanpa memberi manfaat ekonomi bagi komunitas aslinya.

Misalnya, seorang influencer dari kota besar menggunakan pakaian adat Papua untuk konten fashion TikTok tanpa menyebutkan maknanya atau asal budayanya, dan kemudian mendapatkan sponsor besar dari brand tertentu. Sementara komunitas adat yang memiliki budaya itu tetap hidup dalam keterbatasan, tanpa akses terhadap platform digital atau keuntungan dari viralitas tersebut.

Teori Interaksionisme Simbolik menjelaskan bahwa makna budaya terbentuk melalui interaksi sosial dan simbol. Ketika konten kreator membuat konten tentang ritual budaya atau kuliner daerah, mereka tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi penonton. Masalah muncul ketika simbol budaya itu direduksi menjadi hiburan ringan, contohnya ritual adat yang dijadikan parodi atau bahan meme yang kemudian membentuk persepsi keliru tentang makna budaya tersebut.

Sebagai contoh, tarian suku tertentu yang awalnya bersifat sakral bisa menjadi viral sebagai tantangan TikTok tanpa memperhatikan konteks spiritual atau nilai adatnya. Ini menciptakan distorsi makna dan berisiko menghilangkan nilai otentik budaya tersebut.

Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, simbol (seperti gaya, bahasa, atau budaya) memiliki nilai ekonomi. Budaya yang ditampilkan konten kreator menjadi “modal simbolik” yang dapat ditukar dengan modal ekonomi, misalnya melalui endorsement, paid promote, atau monetisasi YouTube. Para konten kreator berlomba-lomba menciptakan citra otentik untuk mendapat pengakuan, padahal apa yang ditampilkan seringkali hasil konstruksi demi pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun