Komersialisasi ini menciptakan kelas sosial baru: mereka yang mampu memonetisasi ekspresi budaya, dan mereka yang terpinggirkan dari ekonomi digital. Budaya tak lagi milik bersama, tapi menjadi milik perseorangan yang mampu menjadikannya konten yang "menjual."
Salah satu contoh yang mencolok adalah akun TikTok dari seorang kreator muda asal Yogyakarta yang secara konsisten menampilkan prosesi adat Jawa seperti upacara siraman, mitoni, dan kirab pengantin. Meskipun banyak penonton mengapresiasi keindahan budaya yang ditampilkan, tidak sedikit pula yang mengkritik adanya pengemasan berlebihan dan penggunaan musik modern yang mengaburkan makna spiritual dari ritual itu.
hanbok dan makanan tradisional juga mengalami "instagramisasi" demi mendongkrak pariwisata dan ekonomi kreatif. Namun, pemerintah Korea secara aktif menetapkan regulasi dan program pendidikan untuk memastikan konten budaya yang dibuat tetap menghormati nilai dan sejarah aslinya.
Fenomena ini mengajak dunia pendidikan untuk tidak hanya melihat media sosial sebagai hiburan atau ancaman, tetapi sebagai ruang baru pembentukan nilai dan identitas. Â Sekolah dan universitas harus mengintegrasikan kurikulum literasi digital berbasis budaya. Siswa perlu dibekali kemampuan memahami, mengkritisi, dan menghasilkan konten yang menghargai keberagaman budaya, pendidikan harus menekankan pentingnya etika representasi budaya, penggunaan budaya untuk konten harus mempertimbangkan izin, konteks, dan kontribusi nyata kepada komunitas asalnya. sekolah dan lembaga pendidikan dapat menjadi jembatan antara komunitas kreatif digital dan komunitas adat. pendidikan dapat mendorong siswa mengembangkan kewirausahaan berbasis budaya lokal, bukan sekadar ikut tren, pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kominfo, dapat mengambil peran aktif dengan membuat panduan etika, insentif, dan pelatihan kreator budaya yang etis.
Fenomena konten kreator di era digital tidak dapat dibendung. Ia hadir sebagai bentuk ekspresi diri sekaligus sebagai arena baru ekonomi digital. Namun, ketika ekspresi ini melibatkan budaya, maka yang dipertaruhkan bukan hanya soal klik dan view, tapi juga makna dan nilai identitas kolektif.
Sosiologi membantu kita memahami bahwa di balik video pendek yang viral, tersembunyi dinamika kekuasaan, nilai, dan identitas. Di sinilah pentingnya pendidikan hadir untuk membekali generasi muda dengan kemampuan membaca, mencipta, dan mengelola konten dengan bijak dan beretika.
Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dari pertunjukan budaya yang kita miliki, tanpa pernah benar-benar memahaminya apalagi memperjuangkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI