Mohon tunggu...
Dedi Ems
Dedi Ems Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Various organizations during school and college. highest position General Secretary of the Student Senate of the Faculty of Economics, Andalas University. working experience at BRI starting from staff until reaching twice as Head of BRI Branch (Padangpanjang and Sampang). And various Section Heads at Regional Offices and Inspection Offices in several BRI Regional Offices / Kanins.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Maunya Menikmati Tol Surabaya-Kartasura-Surabaya (3)

31 Januari 2019   19:32 Diperbarui: 31 Januari 2019   19:41 1674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesibukan di jalan non-tol. Sumber : https://tirto.id/antara/29 April 2018.

Setelah keluar dari pintu tol Colomadu pukul 04.19 WIB, saya langsung mengarahkan mobil menuju Jogjakarta melalui wilayah Karatasura, Boyolali, Klaten, Sleman dan akhirnya Jogjakarta melalui jalan biasa (non-tol) dengan 4 jalur, 2 di kiri dan 2 di kanan. Jalannya lumayan mulus, tapi  traffic light (TL)-nya banyak sekali. 

Karena masih pagi dan lalu lalang kenderaan masih sepi, jam 05.13 WIB sampai di Mesjid Raya Al-Muttaquun, jalan Raya Solo-Jogjakarta, persis di seberang jalan komplek Candi Prambanan. Km di mobil menunjukan angka 33.064.

Artinya hanya untuk melewati jalan sepanjang 42 km dari pintul tol Colomadu hingga ke Mesjid Raya Al-Muttaquun diperlukan waktu sekitar 54 menit, atau sekitar 45 km/jam-nya. Meskipun di pagi hari menjelang waktu sholat Shubuh. 

Bandingkan dengan kecepatan di tol tadi, yaitu 251 km selama 3 jam setelah dikurangi menit istirahat dua kali di rest area) atau sekitar 84 km/jam. Hampir dua kali waktu perjalanan di non-tol. 

Bahkan ada teman di Jogjakarta cerita, dia hanya menghabiskan waktu perjalanan Jogjakarta ke Surabaya lewat tol sekitar 4 jam di siang hari. Dia memang menggunakan mobil model sport dengan cc tinggi. Wah luar biasa....

Data di atas bisa juga diartikan bahwa kebutuhan akan jalan tol yang menghubungkan Solo/Kartasura dengan Jogjakarta, memang sudah saatnya. Dan Alhamdulillah, PT Adhi Karya (Persero) Tbk bersama Grup Gama telah merencanakannya dan akan memulai proyek jalan tol antara Solo/Kartasura hingga Jogjakarta di tahun 2019 ini. Diperkirakan biaya yang diperlukan sekitar Rp. 19 triliun (dikutip dari solopos.com. Bayu Jatmiko Adi, Soloraya, published 14 Oktober 2018). Semoga saja segera terwujud dan lancar pengerjaannya...! Aamiin...!


Setelah istrihat, sholat Shubuh, sarapan Sop Ayam Pak Min Klaten di sekitaran mesjid, perjalanan dilanjutkan menuju Jogjakarta untuk menghadiri pesta penikahan anak teman di Auditorium UNY Jogjakarta. 

Kemudian dilanjutkan dengan acara jalan, belanja, kulineran, mengunjungi saudara/teman, selfi di beberapa lokasi, dan nginap di hotel MMUGM semalam. Besoknya, Minggu tanggal 20 Januari 2019, setelah melanjutkan beberapa acara yang tertunda kemarin, sekitar jam 15.30 WIB mulai meninggalkan Kota Jogjakarta menuju kembali langsung ke pintu tol Colomadu, tanpa melewati atau masuk ke Kota Solo.

Sampai di pintu tol Colomadu lagi sekitar jam 17.17 WIB, dengan jarak lebih kurang 53 km diperlukan waktu +/- 1 jam 47 menit dari Jogjakarta. Lebih lama dibanding saat datang kemaren yakni sekitar 1 jam. 

Menjadi lebih lama/pelan karena lalu lalang kenderaan dan pengguna jalan lebih ramai, dan nunggu lampu hijau menyala di setiap TL relatif lebih lama. Kecepatan rata-ratanya menjadi hanya 33 km/jam. Hampir sepertiga kecepatan saya berkendara di tol.

Selama di tol menjelang Surabaya, sempat istirahat dan sholat Magrib di rest area Forest Village di km 626.  Agak lama memang. Tapi total waktu yang terpakai setelah dikurangi waktu di rest area, relatif sama dengan saat berangkat, yakni sekitar 3 jam. Sampai di pintu tol Warugunung sekitar jam 20.46 WIB, dan Alhamdulillah mobil sudah masuk di garasi rumah sekitar jam 21.26 WIB. Total menghabiskan waktu dari Jogjakarta sebanyak 5 jam 46 menit.

Kalau tolnya sudah nyambung dari Jogjakarta hingga ke Surabaya mungkin waktu yang diperlukan tinggal hanya sekitar 4 jam saja. Saya jadi ingat saat bertugas di Jogjakarta antara tahun 2008 hingga 2011. 

Pernah pulang ke Surabaya  di hari kedua lebaran Idul Fitri tahun 2009, menghabiskan waktu sekitar 15 jam. Berangkat dari rumah dinas di Popongan Sleman sekitar jam 08.00 WIB, baru sampai di rumah di daerah Bratang Gede sekitar jam 23.00 WIB. Luar biasa lamanya dan luar biasa capeknya. Melewati jalan Raya Solo-Jogjakarta saja luar biasa padatnya. 

Antrian kenderaan di setiap TL jumlah banyak dan panjang-panjang sehingga kebagian lampu hijau baru bisa setelah sekitar tiga-empat kali lampu merah menyala, baru kita bisa lewat. Ini memang pengalaman perjalanan saya paling lama dengan mobil sendiri dari Jogjakarta ke Surabaya dan sebaliknya.

Sumber : Mesjid Raya Al-Muttaquun (Hasil searching di Googlemaps).
Sumber : Mesjid Raya Al-Muttaquun (Hasil searching di Googlemaps).
Setelah di rumah bersih-bersih badan dan membaca doa tidur, leyeh-leyeh di springbed.  Sebelum tertidur, teringat bahwa ada beberapa kebiasaan lama jika pulang bersama keluarga dari Jogjakarta yang tidak sempat dilakukan. 

Satu, mampir di toko roti terkenal dan legendaris di Solo, yaitu toko roti Orion. Dua, membeli serabi Solo Notosuman di Kota Sragen. Tiga, membeli tahu Pong Kediri yang dijual di sekitaran pelintasan pintu KA di Kertosono, dan empat, makan nasi goreng enak buatan Pak Topa di Jombang. Lima, membeli jagung rebus manis (manisnya asli loo...!) di depan KC BRI Mojokerto.  Itu belum dihitung beli buah-buahan selama di perjalanan. Semuanya terlewati.

Tapi jika saya lewat jalan non-tol, kalau pun saya lupa dan tidak berkenan, ada anggota keluarga/penumpang lain yang mengingatkan atau request. Beli roti dulu di toko roti Orion buat beli oleh-oleh yuk Pa....! Pa, kok ga mampir ke serabi Solo Notosuman di Sragen...! 

Mama mau beli tahu Pong Kediri dulu di pinggiran jalan Kertosono-Jombang buat lauk sarapan besok pagi...! Pa, kita makan nasi goreng Pak Topa dulu di Jombang setelah istirahat sholat Magrib ya...! Jangan lupa lo beli jagung manis kesukaan Papa di Mojokerto. Itu lo Pa yang jualannya di depan KC BRI Mojokerto... 

Apa ini dampak negatif adanya jalan tol langsung dari Kartasura ke Surabaya terhadap bisnis khususnya UMKM dan lebih khusus lagi bisnis kuliner. Bisa jadi, ya..! Dan yang pasti selama perjalanan dari Jogjakarta ke Surabaya kemarin itu, saya  melewati semua kebiasaan kuliner tersebut. Sehingga para pemilik bisnis kuliner tersebut, kemarin itu tidak (lagi) menerima duit yang keluar dari dompet saya. 

Apakah omset penjualan mereka semua berkurang karena saya tidak berbelanja di situ...? Jawabnya, ya...! Pasti...! Berapa persen share-nya terhadap total sales mereka... ? Pasti kecil sekali...! Kata orang Medan : “siapa lah awak ini. Lalat pun tak mau hinggap...”. (Nuwun sewu, pinjem tag line-nya ya Lae Moreno, sahabatku..!). Akan tetapi jika ada 10, atau 100, atau 1.000 orang seperti saya....? Mikiiiiir....., kata Cak Lontong. (Halo Cak, kulo  nuwun ijin pinjam tag line-nya nggeh....!)   

Analisa sederhana lainnya begini, saat orang masuk ke jalan tol, orang itu tidak memikirkan lagi akan singgah ke mana-mana. Dalam pikirannya hanya ada, bagaimana supaya cepat sampai di tujuan (di rumah). Kalau pun sempat terpikirkan, secara psikologis jadi malas untuk singgah. Terbayang repot dan macetnya jika masuk kota lagi mencari itu semua. Dari pada buang-buang waktu di jalan kota karena macet, mendingan langsung saja tanpa mampir-mampir beli atau menikmati sesuatu.

Analisa berikutnya misalnya kita dari Jogjakarta masuk tol Colomadu jam 15.00 WIB, In syaa Allah pasti sudah makan siang. Kalaupun terasa lapar mau makan lagi, misalnya makan malam, jadi mikir dulu. Karena kalau tidak ada halangan kira-kira 3 jam lagi, atau sekitar jam 18.00 WIB, sudah sampai di Surabaya atau di rumah. Bahkan bisa lebih cepat. “Ah, mendingan makan malam di Surabaya atau di rumah saja, dan bisa langsung istirahat...”.

Jika pun memang terasa lapar, cukup makan camilan yang ada disiapin di mobil. Atau mampir di rest area sebentar, pesan mie instan atau minum kopi. Malah ada yang lebih praktis, yaitu pesan mie instan dan kopi, terus take away

Bahkan di beberapa rest area lainnya ada spot yang menjual makanan/minuman secara drivethru, tanpa perlu turun dari mobil, request, bayar, nunggu sekitar 3 menit, ambil pesanan, langsung jalan lagi. Lebih praktis...! Baik take away mau pun drivethru, makan/minumnya di mobil. Jadi tidak perlu membuang waktu terlalu banyak untuk istirahat makan/minum di perjalanan.

Ada yang berpendapat, kenapa pengusaha UMKM/kuliner tidak dimasukan saja ke rest area untuk berjualan. Kan tinggal mindahin...! Sepertinya mudah, tapi merelisasikannya tidak semudah itu. Karena ada “kesulitan akses” bagi mereka untuk masuk dan keluar area itu, harus melewati birokrasi yang membuat mereka berpikir dan menyimpulkan ; “mendingan ga usah jualan di rest area...”. Masalah biaya sewa lapak/tempat juga kendala bagi mereka, yang mungkin sulit terjangkau oleh pengusaha yang punya label UMKM.

Dan dari sisi konsumen selain karena faktor-faktor di atas, ada kecenderung orang agak malas berbelanja di rest area karena masalah harga yang relatif lebih mahal. Menjadi mahal selain karena faktor HPP (harga pokok penjualan), mungkin juga karena pasar di sana cenderung ke arah monopoli atau oligopoli sehingga pengunjung sulit untuk memilih alternatif lain yang sesuai. Dari pada repot dan kecewa, mendingan langsung saja jalan lagi, dan istirahatnya tidak perlu berlama-lama. Alasan lain mungkin soal rasa. 

Meski punya merek kuliner yang sama, soal rasa belum tentu. Dan ada suasana atau aura yang tidak bisa “dibeli” saat kita berbelanja di rest area dibanding jika kita langsung ke tempat yang biasa kita belanja atau makan biasanya. Tanpa sadar kita sebetulnya butuh dan dibuat tambah nyaman dengan suasana nostalgia yang tersedia saat menikmati makan atau berbelanja di tempat yang biasa kita makan dan bebelanja. Ini yang tidak tersedia di rest area.

Atau apa memang ini yang dimaksud oleh teori ekonomi regional bahwa, kemajuan infrastruktur (misalnya jalan yang lebih baik) akan membuat munculnya pusat kegiatan ekonomi yang baru. Dan pusat kegiatan ekonomi sebelumnya secara perlahan akan hilang dengan sendirinya. Permasalahan ini bisa menjadi tema diskusi atau seminar oleh orang-orang yang tertarik dengan permasalahan ini. Apa lagi dalam suasana menjelang pemilu ini, topik kecil saja sudah bisa menjadi perdebatan hangat dan panjang. Nah, loe...!

Salah satu contoh sederhananya, sekitar tahun 1980-an perjalanan dari Padang (Sumatera Barat) menuju Jakarta, dibutuhkan hingga 3 hari perjalanan. Singkat cerita, setelah mobil turun dari kapal penyeberangan di pelabuhan Merak menuju Jakarta, hingga Balaraja bus hanya bisa menggunakan jalan biasa. 

Tol baru ada setelah Balaraja. Hampir setiap bus yang datang dari Padang (Sumatera) sebelum masuk pintu tol Balaraja, berhenti istirahat makan, sholat (Shubuh), bersih-bersih badan dikit dulu di salah satu RM Padang yang ada sebelum masuk tol tersebut. 

Beberapa tahun terkahir, sejak jalan tol sudah nyambung mulai dari pelabuhan ferry di Merak hingga Jakarta, bus-bus yang dari Padang/Sumatera tidak mau lagi mampir di RM Padang yang ada di Balaraja tersebut. Bahkan pada saat bus baru turun dari kapal saja sudah ada penumpang yang teriak ; “langsung tancap gas hingga terminal Rawamangun Pak Sopir....”. Maksudnya jangan mampir-mampir lagi, meski hanya di rest area.

Semenjak itu RM Padang yang ada menjelang pintul tol Balaraja secara perlahan ditutup karena tidak ada lagi bus-bus dari pulau Sumatera yang singgah berhenti di sana. Kalau di tahun 1980-an restoran itu ramai sekali. Ke toilet dan kamar mandi sampai antri-antri. 

Saking ramainya, muncul bisnis berskala kecil lainnya di sekitar RM Padang tersebut. Ada usaha tambal ban, orang jualan baju/kaos dan keperluan toiletris, jual buah, jual rokok, jual makanan kecil, jual kacamata baca dan kacamata hitam (sun glasses), jual bakso, pijat tradisional, dsb. Kini semua itu tinggal cerita. Pusat kegiatan ekonomi baru mungkin muncul karena adanya tol Merak-Jakarta. Mungkin di tempat lain, yang pasti bukan lagi di sekitar RM Padang menjelang masuk pintu tol Balaraja...

Semoga saja ke depan toko roti Orion (Solo), serabi Solo Notosuman (Sragen), tahu Pong Kediri (di Kertosono), nasi goreng Pak Topa (Jombang), dan jagung rebus manis di depan KC BRI Mojokerto tetap jualan. Meski pun pengguna jalan non-tol semakin lama semakin berkurang.....

Bersambung....

Surabaya, 31 Januari 2019.
Terima kasih...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun