Mohon tunggu...
Dede Suprayitno
Dede Suprayitno Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Mantan Jurnalis

Dosen ilmu komunikasi yang juga memiliki minat pada isu ekonomi. Saat ini mengajar di UPN Veteran Jakarta dan Unisma Bekasi. Sebelumnya pernah berkarir sebagai reporter di Jawa Pos dan Harian Kontan serta menjadi produser di CNBC Indonesia TV.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Perhatian! Ekonomi AS Resesi Lagi! Politik Bahasa Dimainkan?

29 Juli 2022   07:00 Diperbarui: 5 Agustus 2022   07:30 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Secara teknis ekonomi AS telah mengalami resesi. Namun para elite di AS menolak data-data itu sebagai sebuah konfirmasi resesi (Unsplash/Nik Shuliahin)

Ekonomi AS sudah terkontraksi 2 kuartal berturut-turut. Sebelumnya resesi juga terjadi pada 2020, saat pandemi covid-19 merebak. Namun, Janet Yellen menolak kondisi saat ini sebagai resesi.

Menurutnya, kondisi resesi baru terjadi bila telah terjadi pelamahan pada ekonomi secara luas. Dia pun mengklaim bahwa pasar tenaga kerja AS masih kuat. Inilah yang menjadi alasan dirinya, bahkan ekonomi AS tidak seburuk yang dinyatakan oleh angka PDB yang dirilis Biro Statistik dan Tenaga Kerja AS.

Yang tak kalah mengejutkan, pernyataan kedua datang dari Jerome Powell yang mengaku tidak percaya ekonomi AS tengah dalam kondisi resesi.

"Saya tidak berpikir ekonomi sedang dalam resesi sekarang," kata Powell, dikutip dari Reuters, Kamis (28/7).

Menurut Powell pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat. Sehingga tidak masuk akal baginya, jika ekonomi AS masuk dalam resesi. Mengutip CNBC Indonesia, data lapangan kerja AS pada Juni tetap dengan 372.000 pekerjaan baru.

Sedangkan tingkat pengangguran bertahan pada kisaran 3,6%. Powell melihat "soft landing" pada ekonomi AS. Menurutnya, AS beralih dari pertumbuhan yang cepat ke pertumbuhan yang stabil.

Sumber: Freepik.com
Sumber: Freepik.com
Apakah ini sebuah permainan politik bahasa? Apakah tujuan para elit untuk menenangkan pasar berhasil?

Ya, saya rasa itu semua saling berkaitan. Penolakan istilah resesi oleh elit AS, mengindikasikan adanya keinginan untuk meredam kekhawatiran pasar. Meskipun sudah menjadi pemahaman umum, bila ekonomi terkontraksi 2 kuartal berturut-turut, tanda resesi terkonfirmasi. 

Politik bahasa yang dimainkan, seolah ingin menentang persepsi umum yang sudah ada sebelumnya. Penolakan ini juga mengindikasikan, bahwa para elit justru tidak mempercayai rilis data yang dipublikasikan dan segala metode yang digunakan untuk menghasilkan data akhir pertumbuhan itu. Apakah untuk kali ini saja? Atau justru untuk selama ini?

Jika itu yang terjadi, berarti ada standar ganda yang dilakukan elit AS dalam menafsirkan sebuah data. Dan tentu saja, itu semua untuk kepentingan politik ekonomi semata.

Yang jelas, begitulah kondisi ekonomi AS saat ini. Tingginya inflasi, masih membuat laju ekonomi menjadi berat. Hal ini mau tak mau turut mempengaruhi negara lain, termasuk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun