Oleh: Deden Sofwan Ismail
Di balik wajah idealisme organisasi baik di lingkungan kampus, keagamaan, sosial, hingga politik---tersimpan realita yang tak selalu indah. Salah satu yang kian menjadi budaya diam adalah proses kaderisasi yang dilakukan dengan tipu daya dan pemaksaan. Fenomena ini semakin umum, namun jarang dibicarakan secara terbuka.
Bayangkan: seorang calon anggota awalnya diajak dengan iming-iming menarik---menginap di hotel, dijanjikan koneksi, fasilitas, atau jalan karier. Tanpa tahu-menahu tentang organisasi yang dimaksud, ia lalu ikut. Setelah "terjebak" dalam sistem, baru ia menyadari bahwa ekspektasinya tidak sesuai dengan realita. Bahkan, tak jarang ada yang terpaksa ikut karena tekanan dari senior, teman dekat, atau bahkan keluarga.
Pertanyaan pentingnya: apa yang akan terjadi jika organisasi dibangun di atas kader-kader yang direkrut lewat kebohongan dan paksaan?
Tipu Daya dan Pemaksaan dalam Kaderisasi: Realita yang Tersembunyi
Praktik ini telah terjadi di banyak tempat: calon kader dijanjikan pengalaman menarik, kegiatan "healing", atau sekadar diajak tanpa penjelasan yang jujur. Dalam dunia digital yang serba instan dan hedonistik, strategi manipulatif ini terasa efektif di awal. Tapi ia menyimpan bom waktu yang bisa meledak kapan saja---baik bagi individu maupun organisasi.
Kader yang direkrut lewat cara semacam ini biasanya:
- Tidak tahu mengapa ia berada di organisasi tersebut
- Tidak memiliki nilai dan visi yang sejalan
- Tidak memiliki ikatan emosional dan moral terhadap organisasi
Kualitas Kader: Buah dari Proses yang Etis
Secara filosofis, kualitas seseorang dalam berorganisasi sangat ditentukan oleh kesadaran dan kebebasan saat memilih. Dalam filsafat eksistensialisme, misalnya, Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa manusia baru menjadi otentik jika ia memilih secara bebas, bukan karena tekanan atau tipu muslihat. Pilihan yang bebas menciptakan tanggung jawab; dan tanggung jawab melahirkan loyalitas.
Jika dari awal seseorang masuk organisasi karena merasa dipaksa atau ditipu, maka:
- Ia cenderung menjadi kader pasif atau bahkan merusak
- Tidak terbentuk rasa memiliki
- Tidak berkembang nilai-nilai luhur organisasi
- Cenderung keluar diam-diam atau membangkang secara terbuka
---