Pendidikan Islam: Dari Klasik ke Kontemporer
Sejak masa keemasan peradaban Islam, pendidikan dipandang sebagai kunci lahirnya generasi terbaik. Ibnu Sina menekankan keseimbangan akal dan moral, Al-Ghazali menegaskan pentingnya harmoni antara akal dan hati, sementara Ibnu Rusyd mengajarkan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan.
Kini, warisan besar itu ditantang oleh derasnya arus globalisasi, disrupsi teknologi, serta perubahan sosial-budaya. Pertanyaannya: masih relevankah filsafat pendidikan Islam hari ini? Jawabannya: justru semakin relevan!
Isu-Isu Panas dalam Pendidikan Islam Kontemporer
-
Generasi Digital dan Krisis Moral
Kehadiran media sosial, game online, dan arus informasi tanpa filter membentuk karakter generasi muda yang serba instan. Di satu sisi, mereka cerdas secara teknologi, tetapi di sisi lain, banyak yang kehilangan pijakan etika. Filsafat pendidikan Islam berfungsi mengingatkan bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan, melainkan harus melahirkan adab. Konsep ta'dib (pendidikan berbasis adab) yang dikembangkan al-Attas, misalnya, kembali relevan untuk membentuk karakter digital native. HAM dan Gender dalam Perspektif Islam
Diskursus tentang kesetaraan gender, kebebasan beragama, hingga hak anak dan perempuan banyak diperdebatkan. Pendidikan Islam ditantang untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai Qur'ani justru selaras dengan penghormatan terhadap martabat manusia. Misalnya, pendidikan berbasis rahmatan lil 'alamin mengajarkan kasih sayang universal, bukan eksklusivisme.Sains, Teknologi, dan Spiritualitas
Dunia modern menempatkan sains dan teknologi di pusat kehidupan. Namun, pendidikan sekuler sering memisahkan aspek spiritual. Filsafat pendidikan Islam justru menekankan integrasi: bahwa pengetahuan tentang alam semesta harus membawa manusia semakin dekat dengan Sang Pencipta. Ini membuka jalan bagi riset interdisipliner, misalnya etika AI dalam Islam, bioteknologi yang berpijak pada prinsip halal, atau ekologi berbasis nilai Qur'ani.Ekonomi, Sosial, dan Pembangunan Berkelanjutan
Di era perubahan iklim dan ketimpangan global, pendidikan Islam dituntut melahirkan solusi sosial. Wacana tentang ekonomi Islam dan sosial entrepreneurship yang berbasis keadilan sosial kini semakin penting. Misalnya, peran wakaf produktif dalam pengentasan kemiskinan atau kurikulum pendidikan Islam yang mendorong kepedulian lingkungan.
Menghidupkan Warisan Filosof Muslim
Ibnu Sina (980--1037 M)
Dalam filsafat pendidikannya, Ibnu Sina menekankan keseimbangan antara pengembangan akal, moral, dan kesehatan jasmani. Relevansinya hari ini adalah pentingnya pendidikan holistik yang tidak hanya mencetak generasi "pintar akademis" tapi juga sehat fisik, mental, dan spiritual.Al-Ghazali (1058--1111 M)
Ia menolak pemisahan tajam antara ilmu agama dan ilmu rasional. Baginya, ilmu harus selalu menumbuhkan ketakwaan. Pendekatan ini penting di era modern agar pendidikan Islam tidak terjebak pada dikotomi "ilmu umum" vs "ilmu agama".Ibnu Rusyd (1126--1198 M)
Ibnu Rusyd percaya bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan, justru saling melengkapi. Perspektif ini bisa jadi kunci bagi pendidikan Islam kontemporer untuk membuka ruang dialog dengan Barat, tanpa kehilangan identitas.