Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Zaman Boleh Berubah, Logika Sederhana Harusnya Bertahan

10 Maret 2021   00:52 Diperbarui: 10 Maret 2021   10:45 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Proagentsolutions.com via Tribunnews.com

Tok, tok, tok! "Deddy! Kau ada di rumah?"

Belum ada sahutan.

Tok, tok, tok! "Deddy! Ini aku, (orang itu menyebut namanya)."

Masih belum ada sahutan. Bahkan, bisa saja tidak akan ada sahutan.

Orang itu kesal, juga bimbang. Dia telah datang ke rumah orang yang bernama Deddy untuk memberi sebuah barang. Itu adalah hadiah ulang tahun si Deddy, teman lamanya.

Dia berusaha sabar, duduk di salah satu kursi yang ada di beranda. Bahkan, akhirnya rokok sebatang dikeluarkan dari bungkusnya. Dia menyalakan rokok itu dan menghembuskan asapnya dengan sedikit kesal, karena pintu itu seperti takada tanda-tanda kehidupan.


"Sudah jam 10 lebih 5 menit, dia masih saja memeluk guling. Dasar bujang kalong!"

Setelah sebatang rokoknya habis, dia tersadar bahwa asap dan aroma rokoknya tidak mempan untuk memancing keluar temannya. "Sialan emang, si Deddy. Udah budek, hidungnya juga gak peka. Untung aku bukan pacarnya."

Akhirnya, orang yang ternyata perempuan itu berdiri. Dia sempat memikirkan sesuatu, tapi sepertinya dia memilih menggagalkan apa yang ia pikirkan. Dia memilih menuju sepeda motornya dan mengeluarkan sepeda motor itu dari halaman depan rumah Deddy.

Hari itu dia tidak bisa bertemu Deddy. Namun, esok hari dia berhasil menemui Deddy yang sedang ngopi bareng teman-teman "begundalnya". Kebetulan, dia juga ngopi dengan teman-teman kerjanya.

"Heh, besok aku ke rumahmu. Awas kalau kautidur!"

Si Deddy tampak kaget, lalu dia seperti mengerti maksud perempuan itu. Teman-teman "begundalnya" yang juga kenal perempuan itu juga hanya diam saja. Tidak ada trik basi orang lebay yang menggoda hubungan antara Deddy dengan perempuan itu.

Esoknya lagi, perempuan itu nongol di beranda rumah Deddy. Ia kembali mengetuk pintu dan memanggil nama Deddy.

"Deddy!"

Belum ada sahutan.

Perempuan itu mengetuk pintu lagi.

"Deddy!"
"Iya."

Akhirnya, ada sahutan.

Pintu terbuka.

"Nih, buat kau."
"Apa ini?"
"Buka aja!"

Deddy mundur ke dalam.

"Kau gak mempersilakan aku masuk?"
"Healah, masuk aja. Kayak vampir aja, perlu diundang biar bisa masuk rumah orang lain."
"Itu namanya adab. Kau ini penulis, tapi gak beradab."
"Lah!"
"Kenapa? Kau gak terima?"

Deddy akhirnya memilih diam dan membuka bungkusan barang itu.

"Bungkusnya kayak paket. Tapi aku sepertinya gak mesen apa-apa beberapa hari ini."
"Itu memang dariku."
"Lah, ngapain ngasih aku ini?"
"Kau sok lupa atau beneran lupa?"

Deddy diam saja. Terlihat berpikir, mungkin.

"O, ya udah kubuka nanti aja."
"Kenapa?"
"Ya gakpapa. Kan ini udah barangku."

Perempuan itu diam.

"Kamu mau minum apa?"
"Kopi."
"Pagi-pagi udah minum kopi."
"Jam 11 ini, bambang!"

Deddy melangkah ke ruang lain. Tidak lama, ia muncul sembari membawa dua gelas. Sama-sama kopi rupanya.

"Makasih."
"Kamu kayak tamu."
"Emang aku tamu. Apalagi, kita udah lama gak ketemu."
"Cuma setahun, dan kamu gak banyak terlihat berubah."
"Ada kok yang berubah. Kau aja yang belum tau."
"Apaan tuh?"

Perempuan itu tak menjawab, melainkan meniup-niup kopinya dan menyeruputnya.

"Oiya, aku kemarin lusa ke mari. Kuketuk-ketuk dan kupanggil-panggil, tidak ada sahutan."
"Oalah, iya. Aku masih tidur. Jam 12 aku bangun."
"Bah, pantesan!"
"Karena mau kasih ini? Kenapa gak taruh aja di bawah meja. Aman kok. Gak ada maling di komplek ini."
"Bukannya gak ada maling, tapi gak bagus.
Kalau ternyata yang kaubuka itu bom, gimana?"

Deddy tertawa.

"Lagian, emangnya kau bakalan mau menyentuh barang yang ditaruh di beranda, apalagi tanpa tulisan di luarnya?"
"Hem, entah. Tapi, orang paket biasanya ada yang begitu, kok. Paketku ditaruh di bawah meja kalau gak kunjung ada sahutanku."
"Itu gak bener. Kalau diambil orang lain, gimana? Siapa yang bakalan tanggung jawab?"
"Iya sih."

"Dan, aku juga gak mau melakukannya, karena itu namanya aku tidak menghargai diriku dan dirimu. Aku menaruh barang pemberianku tanpa langsung diterima orangnya, akan membuatku seperti gak penting. Begitu juga bagi orang yang dikasih, sekalipun dia senang, tapi dia juga pasti diselimuti banyak tanda tanya.
Itu kalau dia senang. Kalau ternyata dia kecewa dengan hadiahnya, dia makin kecewa juga, karena udah dikasih tanpa tahu siapa yang ngasih, hadiahnya pun gak jelas. Gimana perasaanmu, kalau kau yang jadi penerima?"

"Bener. Aku juga akan merasa seperti kurang dihargai, walau mungkin itu juga salahku, karena gak cepat menemui orangnya."
"Aku sebenarnya juga kesel sih, kemarin. Tapi, abis itu aku maafin. Karena, siapa tau aku nanti juga ada momen begitu. Tiba-tiba aku lagi gak di rumah, tapi ada yang cari aku."
"Tapi, kan bisa chat dulu."
"Kemarin niatku ngasih kejutan. Biar kau kaget, kalau temen lamamu ternyata datang dan pas hari ultahmu. Kalau di luar itu, bener, aku pasti akan ngehubungi dulu."
"Biar ada adabnya?"
"Biar ada manfaatnya kita punya kontak dan bisa ngechat."
"Kau masih seperti dulu."

Perempuan itu tidak menanggapi. Dia memilih menyeruput lagi kopinya.

"Pantesan, ibuku kadang nanyain kabarmu. Mana tuh, temen kuliahmu?
Kayaknya dia suka dengan gayamu yang tau adab, sedangkan aku tidak. Tetangga aja kadang kuacuhin."
"Aku ada perubahan, tapi kalau hal-hal yang ada logika sederhananya, kupertahanin."
"Termasuk kepada teman?"
"Apalagi ke temen. Logika sederhana harus dipertahankan. Jangan mentang-mentang sama temen terus gak tau cara bersikap."
"Pantesan, kamu tadi mengetuk pintu. Padahal, pintuku tadi gak kukunci, karena aku ingat yang tadi malam."
"Aku memang temenmu, tapi ketika aku datang ke rumahmu, aku juga seperti tamu. Lain cerita kalau aku dan kamu di tempat ngopi. Gak perlu pakai salam. Langsung samperin aja. Beres."
"Aku mulai paham."
"Bagus. Kalau gitu, aku pamit. Abis ini aku kerja. Kau juga pasti mau kerja, kan?"
"Oiya, jam 1 aku kerja."

Perempuan itu berdiri, disusul Deddy. Keduanya melangkah ke luar.

Gerbang dibukakan Deddy, dan perempuan itu menuntun sepeda motornya keluar. Dia kemudian sudah naik dan menyalakan mesin motornya.

"Hati-hati ya, dan terima kasih kadomu."
"Iya. Terima kasih kopinya. Kau tau seleraku."
"Haha, itu juga seleraku, kok."

Akhirnya, perempuan itu pergi. Deddy terus melihatnya sampai perempuan itu sudah berbelok ke arah gerbang keluar komplek.
Deddy kemudian menutup gerbangnya.

"Ternyata yang ada bau rokok kemarin, itu dia. Dia telah berubah, tapi yang baik-baik tetap tinggal di dalam kepalanya."

***


Malang, 9 Maret 2021
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun