Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Polemik Desain HUT RI ke-75 dan Jersey FC Koln

14 Agustus 2020   18:41 Diperbarui: 14 Agustus 2020   19:17 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polemik simbol agama di perayaan HUT RI ke-75 dan jersey pink FC Koln. Gambar: diolah dari Twitter/Kirekswasta/KemensetnegRI dan FCKoeln_en

Pertama, kita harus melihat lingkupnya terlebih dahulu. Kita perlu melihat di mana pernyataan berdasarkan sekali pandang itu dapat diungkap. Karena, pernyataan yang hanya berdasarkan sekali pandang perlu menyesuaikan pemahaman dan pemakluman dari orang di lingkup tersebut.

Contoh sederhananya seperti ketika seseorang mendapatkan permintaan untuk menanggapi sebuah karya bernama puisi. Namun, ternyata orang yang dimintai pendapat itu sedang berhalangan untuk mencermati karya tersebut. Sehingga, ia memilih hanya menilai dengan berdasarkan sekali pandang.

Tidak lupa, orang itu juga menyertakan istilah "berdasarkan sekali pandangku" karya ini memiliki blablabla dan memberikan dampak blablabla ke pembaca. Penilaian ini tentu akan menjadi perdebatan seandainya tidak dibubuhi istilah "sekali pandang".

Karena, penilaian dengan sekali pandang hanya berdasarkan apa yang mudah ditangkap alias kulitnya saja. Tentu, ini bisa membuat si pemilik karya puisi tersebut akan kurang puas. Namun, dengan adanya pemberitahuan sebelumnya, maka dia bisa memaklumi.

Penilaian berdasarkan sekali pandang juga berguna untuk mengajak orang lain kembali memahami hal-hal yang mendasar dari setiap hal termasuk karya seni. Karya semacam puisi identik dengan perenungan dan pemahaman.

Itulah mengapa, ketika ada seseorang yang berani menggunakan PSP untuk menanggapi sebuah karya puisi, maka ia juga sedang mengajak orang lain termasuk pemiliknya untuk menyadari bagaimana rupa sampul yang telah ditampilkan. Sebelum perbincangan itu melangkah lebih dalam.

Sudah bukan rahasia, bahwa setiap karya dewasa ini selalu mengundang kepala kita untuk berpikir lebih jauh, apalagi si empu karyanya. Malah bisa saja dia hanya fokus dengan intisari karyanya bukan pada sampulnya.

Padahal, sampai detik ini buku bisa laris dibeli juga tak lepas dari daya tarik desain sampulnya. Kira-kira hanya ada dua tipe orang yang akan berkata tidak. Pertama, orang naif. Kedua, temannya atau penggemar fanatiknya si empu buku tersebut.

Dan, sebagai empu karya, tak sedikit dari mereka juga ingin melihat sampul karyanya terlihat menarik agar sepadan dengan apa yang telah ia rasakan dalam membuat karya tersebut. Itu adalah kerja kerasnya!

Berdasarkan syarat pertama itulah, si penilai yang akan menggunakan PSP patut mempertimbangkan terlebih dahulu lingkupnya. Apakah hanya di lingkup orang-orang yang mengerti apa tujuannya berpendapat demikian atau tidak.

Sebaiknya menggunakan penilaian berdasarkan sekali pandang harus mempertimbangan itu agar tidak terjadi kesalahpahaman dan dianggap tidak menghargai kerja keras orang lain. "Memangnya kamu bisa bikin puisi sepertiku?" (Waduh!)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun