Bulan Oktober kian mendekat, dan saat itu kompetisi Liga 1 musim 2020 dikabarkan kembali bergulir. Masyarakat penggemar bola nasional pun kembali bersemangat, termasuk para profesional di atas lapangan.
Tetapi, kenyataannya tak semua pihak sepakat dengan keputusan tersebut. Diantaranya adalah Persebaya, Persipura, juga Barito Putera.
Seperti yang sudah jamak diberitakan, alasan Persebaya belum optimis dengan kelanjutan musim kompetisi Liga 1 adalah jaminan keselamatan pemain dan regulasi. Sedangkan Persipura juga membutuhkan adanya kepastian tentang penggunaan daerah yang dapat menjadi tempat berkompetisi.
Sedangkan keluhan pihak Barito adalah tentang jadwal yang padat dan persiapan singkat. Khusus untuk alasan ini, penulis berpikir bahwa semua tim akan mengalami hal yang sama. Jadi, rasanya kurang menarik untuk dijadikan alasan meski itu masuk akal.
Menurut penulis, pihak Barito diduga memiliki kendala lain dari sisi internalnya ketika harus turut ambil bagian di musim darurat ini. Misalnya, perihal bermain di luar kandang mereka.
Sudah bukan rahasia, jika semua klub sepak bola menginginkan tempat bertanding di kandang. Selain hemat akomodasi, mereka juga seperti mendapatkan suntikan mentalitas yang lebih baik daripada bermain di tempat lain.
Keluhan tentang perhelatan kompetisi dengan venue yang berubah akibat pandemi memang bukan hanya menimpa sepak bola Indonesia, tetapi juga dunia. Di Eropa, mereka juga sempat mengalami kegelisahan yang luar biasa terkait hal itu.
Hanya, Indonesia tidak bisa sepenuhnya berkaca pada liga-liga tersebut yang mana mereka masih bisa menggelar laga home-away. Hal itu terjadi karena wilayah negara mereka sebagian besar masih satu daratan.
Tentu berbeda dengan di Indonesia, yang antar klub ada yang terpisah pulau hingga beberapa pulau. Seperti misalnya jika Persiraja harus bertandang ke Persipura. Mereka harus berangkat dari ujung Pulau Sumatera ke Papua dengan melalui lebih dari dua pulau.
Ganjalan terhadap geografis inilah yang sulit dihadapi dengan situasi seperti sekarang. Tidak hanya fisik yang harus prima, tetapi biaya operasional juga harus prima.
Itulah mengapa pihak PT. LIB memusatkan gelaran Liga 1 ini di satu pulau, yaitu Jawa. Pilihan ini memang wajar diambil, karena Jawa memiliki lebih dari 4 stadion berstandar nasional dan internasional, maka daerah tersebut masih ideal untuk menjadi "host" Liga 1 2020.
Dengan pemusatan tempat penyelenggaraan itu, kekhawatiran terkait jadwal padat dan persiapan singkat seharusnya tidak lagi mengudara. Jadwal padat memang menjadi kelumrahan yang juga terjadi di sepak bola internasional.
Sedangkan untuk keluhan terkait persiapan singkat itu juga kurang tepat. Karena saat PT. LIB menggagas kelanjutan kompetisi, itu sudah ada di bulan 7, dan kompetisi akan "kick-off" bulan 10. Maka, ada 2 bulan lebih untuk persiapan.
Bagaimana dengan kompetisi di Eropa yang menargetkan bulan Mei-Juni restart, sedangkan persiapannya hanya 1 bulan saja. Mereka tetap bisa kok.
Memang, jika melihat bagaimana laga-laga awal Bundesliga saat restart, kita seperti melihat permainan semi-pro. Namun, mereka pasti akan meningkatkan standar permainannya ketika sudah berjalan beberapa pertandingan.
Para pelaku sepak bola pasti akan menemukan atmosfer kompetitifnya lagi. Itulah mengapa, persiapan 2 bulan--walau masih dalam kondisi ketidakpastian, tetaplah lebih cukup daripada hanya sebulanan.
Jika alasannya karena memanusiawikan ekonomi klub, maka seharusnya bukan dengan membiarkan ke-18 klub itu tetap bermain di Liga 1, melainkan membuat 18 klub itu bersaing untuk bertahan di Liga 1 2020 agar mendapatkan kompensasi yang lebih besar daripada kasta di bawahnya.
Aura kompetitif harus ada di setiap kompetisi, meski secara ekonomi sedang terlilit. Jika dicari formulasinya yang tepat, maka masih banyak cara untuk membuat kompetisi tetap seperti yang seharusnya; ada degradasi-promosi.
Sebenarnya langkah PT. LIB membuat satu daerah sebagai konsentrasi kompetisi sudah bagus. Upaya itu sudah membuat biaya operasional semua klub menjadi lebih terminimalisir. Ditambah jika PT. LIB memberikan kompensasi setiap posisi yang berbeda di akhir musim, maka mereka sudah pasti akan menerima, walau harus ada yang terdegradasi.
"Apakah klub yang terdegradasi di era pandemi akan menyalahkan pandemi dan kompetisi?"
Rasanya semua klub berhak merasakan hal yang sama ketika pandemi ini terjadi. Hanya, mereka tetap harus ingat bahwa mereka adalah tim profesional, maka mereka juga harus tetap kembali bermain seperti saat belum ada pandemi ini.
Harapan itulah yang kemudian penulis gantungkan kepada semua klub, meski nantinya pihak PT. LIB dan PSSI tetap bersikukuh tidak menerapkan degradasi di Liga 1. Karena, nantinya yang repot juga mereka ketika situasi kembali normal.
"Apakah mereka akan tetap menampung 20 klub dalam satu kompetisi atau kembali pada 18 klub?"
Penulis berpikir bahwa nantinya tidak gampang untuk "mengusir" 4 klub untuk terdegradasi. Mereka bisa saja ada yang tidak terima dengan apa yang sudah mereka capai. Kecuali jika PSSI dan PT. LIB mampu membuat perjanjian kepada semua kontestan bahwa kompetisi Liga 1 harus kembali ke format 18 klub.
Jika tidak ada hitam di atas putih, maka selesai sudah. Drama tentang sepak bola Indonesia akan muncul lagi.
Memang, apa yang mereka suarakan adalah suatu kewajaran. Penulis pun sepakat dengan tuntutan mereka terkait jaminan keselamatan pemain dan protokol kesehatan saat berkompetisi.
Bahkan, penulis juga merasa bahwa tanpa ada klub yang masih tidak setuju seperti Persebaya ini, PSSI dan PT. LIB bisa menjalankan kompetisi tanpa ada proses dialektika dengan para kontestan liga. Ini akan menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi akan membuat PT. LIB segera fokus untuk bergerak cepat menjalankan kompetisi. Di sisi lain, mereka akan melewatkan beberapa detail terkait pandangan klub.
Penulis menduga bahwa Persebaya sebenarnya memiliki kendala internal yang dapat membuat mereka tidak optimis dengan kompetisi ini. Salah satunya adalah target juara.
Jika merujuk pada pencapaian mereka di turnamen pramusim, maka ada kemungkinan besar bahwa mereka sedang memasang target untuk juara. Namun, dengan situasi seperti saat ini mereka bisa saja berpikir bahwa target itu mulai tidak realistis.
Dugaan ini muncul karena kabar adanya rapat antara manajemen dan pelatih Persebaya (29/7), dan ternyata masih belum menemukan kesepakatan. Bisa saja ini berkaitan dengan perihal yang sangat teknis terkait misi untuk juara.
Namun, berhubung target itu belum memungkinkan untuk direalisasikan, misalnya dari pihak pelatih ternyata menemukan catatan-catatan kendalanya. Maka, yang terjadi adalah pihak Persebaya membuat alasan yang umum agar tidak terlalu "curhat" tentang rahasia dapurnya.
Penulis memang memaklumi perihal tersebut jika memang seperti itu adanya. Tetapi, di sisi lain penulis juga berpikir bahwa untuk mengarungi kompetisi sedarurat ini, lebih baik semua klub termasuk Persebaya fokus dulu untuk comeback ke lapangan. Tentang apakah bisa juara atau tidak, lihat saja saat musim kompetisi berjalan.
Hal ini juga sama untuk Persipura yang memang tak hanya mempermasalahkan tentang sistem liga, tetapi juga tentang pemilihan homebase. Jika memang kota atau daerah yang paling memungkinkan adalah Yogyakarta dan sekitarnya, maka untuk sementara mereka lebih baik berkandang di sana terlebih dahulu.
Memang, tidak ada salahnya mereka juga menyiapkan plan berbeda untuk menempati stadion di kota lain. Hanya, penulis berharap hal semacam ini tidak mengganggu persiapan mereka untuk kembali bermain.
Begitu pun untuk PSSI dan PT. LIB yang diharapkan untuk dapat memberikan jaminan dan regulasi yang kuat agar semua klub yakin untuk kembali berkompetisi. Jangan sampai sepak bola kita kembali mengisi kolom berita bola hanya dengan dramanya.
Malang, 31 Juli 2020
Deddy Husein S.
Berita terkait:
Medcom.id, Tempo.co, Tirto.id, Kompas.com, Wartakota.Tribunnews.com, Detik.com.