Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bimbel Dapat Menentukan Masa Depan Anak?

12 April 2019   08:50 Diperbarui: 13 April 2019   10:40 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak bimbel (Foto: www.quipper.com)

Bulan April ini tidak hanya diisi dengan semarak panggung politik Indonesia. Namun juga gelora pendidikan di negeri khatulistiwa ini. Tepat di awal bulan (1/4), adik-adik SMA/SMK sederajat telah menjalani ujian nasional. 

Tidak berhenti di situ, ujian juga akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya bagi yang sedang ingin mengikuti SBMPTN. Yaitu, sebuah tataran seleksi untuk dapat masuk ke perguruan tinggi (negeri dan swasta---ada jalur tesnya juga). Artinya, jadwal masyarakat Indonesia di bulan April sangat padat. Namun, tetap harus dijalani dengan penuh semangat dengan keterbukaan. Artinya, kepala kita tetap harus segar, walau segala beban kehidupan terus menggelayut.

Terkhusus pada bidang pendidikan, kita tidak bisa lepas dari upaya untuk pencerdasan bangsa. Sangat penting bagi kita untuk selalu memiliki generasi penerus yang cerdas. Karena, dengan modal itu, masa depan negeri akan dapat diikhlaskan untuk dikelola oleh para penerus tersebut. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah sudah cukup pendidikan bagi anak, cucu, dan adik-adik kita hanya dilakukan di lingkup sekolah?

Secara subjektif, penulis mengatakan bahwa itu sudah cukup.

Ada beberapa hal yang membuat pendidikan di lingkup sekolah sudah cukup, alias tidak perlu ditambah dengan bimbel atau les.

Pertama, adalah estimasi waktu untuk belajar. Belajar dari pukul 8 pagi sampai pukul 1 siang atau bahkan pukul 3 sore bagi yang akan menghadapi ujian, tentunya sudah cukup. 

Apapun upaya mencerdaskan generasi muda, tetaplah perlu diingat bahwa otak manusia tidak bisa terus-menerus digerus dengan kegiatan berat dan apalagi monoton. Perlu ada variasi, dan variasi itu harus diakali dengan pengelolaan waktu yang tepat. Salah satunya adalah mencukupkan durasi belajar dengan hanya mengandalkan pendidikan di sekolah saja.

Kedua, di luar sekolah, anak perlu melakukan kegiatan lainnya. Kegiatan yang dapat mengasah keterampilan maupun keberanian. Keterampilan ini bisa dikaitkan dengan intelektualitas, spiritualitas, maupun emosionalitas. 

Para anak dan remaja kita perlu memiliki waktu untuk mengasah ketiga hal itu. Karena dengan ketiga hal itu, anak dapat mulai mempelajari dan memiliki modal untuk membangun moralitas. Pintar saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kemapanan moralnya bukan? Apalagi jika tinggal di negara yang memiliki akar budaya sekuat Indonesia. Tentunya hal ini penting, dan ini terkadang tidak terlalu dioptimalkan di sekolah. Untuk itulah, perlu dilakukan di luar sekolah.

Lalu, apa yang bisa dilakukan anak saat mencoba membangun ketiga hal tadi? Salah satunya adalah bermain game.

Lhoh? Bukankah bermain game itu akan membuat si anak malas, bodoh, dan lain sebagainya? Tidak.

Tapi bisa jadi, bermain game secara berlebihan dapat menjadikan si anak seperti itu pula. Apalagi jika memikirkan atau membandingkan bahwa bermain game lebih nyaman daripada belajar matematika, bukan?

Namun, ada beberapa hal yang dapat diperoleh dari bermain game. Kekalahan.

Kekalahan dalam bermain game akan memicu upaya bagi si anak untuk survive. Artinya, si anak akan mulai terbiasa untuk belajar dari kekalahan. Ya, mempelajari suatu hal di dalam game pada akhirnya dapat dijadikan simulasi bagi si anak ketika dia sudah tumbuh dewasa dan menghadapi problematika kehidupan. Artinya, membiasakan diri untuk belajar dan survive di dalam bermain game dapat menjadi pondasi dalam membentuk karakter (kuat) di dalam kehidupan yang sebenarnya.

Selain itu, kekalahan juga menjadi terapi emosi. Karakter meledak-ledak si anak tentu perlu dihadapkan pada kekecewaan dan jatuh. Ibaratnya saat belajar menaiki sepeda dan jatuh, maka, satu hal yang harus dilakukan oleh si anak adalah mencobanya lagi ketika sudah sembuh. 

Artinya, pada saat dia menangis dan sedih, saat itu harus ditekankan pada upaya untuk sabar dan mencobanya lagi ketika sudah mampu untuk melakukannya lagi. Dari situlah, si anak perlahan namun pasti akan tahu caranya untuk menghadapi kehidupan yang biasanya jauh dari ekspektasi. Hehehe...

Berbicara soal emosionalitas juga tidak bisa lepas dari penanaman spiritualitas dari orangtua dan keluarga. Keterlibatan lingkungan sosial juga dapat membentuk spiritualitas si anak, dan itu penting untuk diraih oleh anak dan tanpa perlu adanya tekanan yang berlebih---contohnya dengan patokan nilai. Lepaskan anak untuk mempelajari dunia spiritualitas untuk menemukan jati diri dan cara terbaik untuk menghadapi permasalahannya. 

Salah satunya adalah permasalahan bullying/perundungan. Hal ini tidak atau jarang didapatkan di sekolah---cara untuk mengatasi perundungan. Maka, perlu dicarikan di luar sekolah, dan itu harus berada di jam-jam yang masih ideal. Saat sore menjelang petang adalah waktu yang bagus untuk memberikan waktu bagi anak untuk melakukan pencariannya terhadap spiritualitas.

Selain itu, ada perihal keberanian. Keberanian ini bukan keberanian untuk mengambil resiko. Melainkan, keberanian untuk berinteraksi. Dewasa ini, semakin sulit melihat anak untuk berani keluar rumah. Selain karena adanya ketakutan untuk diculik, juga karena merasa takut untuk menghadapi permasalahan. Salah satunya adalah perundungan.

Perundungan seolah-olah menjadi momok dan ketakutan bagi anak dan pada akhirnya si anak tidak berani keluar rumah. Padahal perundungan akan semakin menebal ketika si anak tidak berani "menampakkan" dirinya. Apakah Anda tahu bagaimana caranya untuk menang dalam pertarungan tinju?

Memukul balik lawan, bukan hanya menghindar saja. Itulah yang harusnya terjadi dalam menghadapi perundungan. Untuk itu, jangan terlalu sering belajar. Keluar. Main-main di warnet, bersama teman, ngopi, PS-an, dan lainnya. Dengan begitu, keberanian si anak akan terlatih dan itu akan membangun mentalitas dalam menghadapi kehidupan yang keras. Hidup itu keras, nak! Hehehe...

Lalu, sampailah pada poin ketiga. Yaitu, pentingnya waktu yang cukup bagi anak untuk terbiasa berada di jangkauan interaksi dengan orangtua. Hal ini cukup penting. Karena, meningkatnya tingkat kenakalan remaja bukan hanya karena si anak bodoh atau tidak diajari tata-krama oleh orangtuanya, namun kurangnya waktu untuk berkomunikasi antara orangtua dan anak.

Hal ini biasanya terjadi di keluarga yang ekonomi menengah-atas, orangtuanya pekerja setengah hari dan pulang malam. Maka, ketika pulang, si anak sudah tidur ataupun sudah memiliki kesibukannya---contohnya belajar/mengerjakan PR. Maka, komunikasinya akan cukup sedikit, dan ini akan membatasi kesempatan bagi anak untuk berkomunikasi dengan orangtuanya apalagi mencurahkan kisah-kisah yang dialami saat di sekolah.

Keterbatasan waktu untuk berinteraksi antara anak dan orangtua ini akan punya potensi membuat anak mulai terbiasa memendam sendiri beban yang ada di pikirannya. Selain itu, si anak juga akan merasa sudah punya hak besar untuk menentukan sendiri tentang solusi dalam menghadapi suatu hal yang sedang "urgent" saat itu---dengan caranya.

Ambil contoh, ketika si anak kedapatan melawan guru atau balik memukul guru ketika dipukul/dihukum. Itu bisa jadi adalah bentuk (naluri) upaya membela diri atau melindungi dirinya ketika merasa tertekan atau tidak nyaman. 

Hal ini tergolong lumrah, jika kita masing-masing mereka-reka adegan kembali untuk menjadi anak pada zamannya masing-masing. Kira-kira bagaimanakah rasanya terintimidasi oleh kebijakan guru atau aturan guru? 

Apalagi jika sedang berada di situasi yang tidak baik. Misalnya, tidak menyukai mata pelajaran (matpel) tersebut---karena susah menguasai matpel itu. Bisakah kita menahan diri, khususnya emosi kita saat itu? Tentu saja susah, bukan?

Poin terakhir inilah yang sebenarnya perlu diprioritaskan bagi orangtua, alih-alih fokus mencerdaskan anak, namun lupa terhadap kewajibannya. Yaitu, mengenali karakteristik anaknya sendiri. Dewasa ini, tidak sedikit orangtua yang cukup asing terhadap anaknya. 

Karena, minimnya komunikasi dua arah, membuat orangtua hanya berpikir tentang tanggung jawabnya untuk menghidupi anak, sedangkan haknya adalah memberikan petuah dan perintah. Sehingga, tahunya si orangtua terhadap anaknya adalah rengekan minta uang buat beli jajan saja. Padahal, masih banyak hal lain yang perlu diketahui orangtua terhadap anaknya. Termasuk permasalahan anak saat berada di sekolah maupun di lingkungan permainannya.

Artinya, anak perlu diberikan ruang dan waktu untuk berkomunikasi dengan orangtua di luar "Pa, Ma, aku minta uang..." saja. Karena, di luar itu, si anak pasti ada suatu hal lain yang ingin dibagikan ke orangtuanya. 

Selain itu, keseringan mendapatkan petuah dan perintah, juga akan membuat si anak jenuh dan berontak. Apalagi, jika kita mengulur prediksi ke masa depan si anak. Bahwa, pada akhirnya nanti, si anak juga akan menjadi orang dewasa dan menjadi sosok orangtua. Sehingga, kenapa harus hanya fokus mencerdaskan anak dan kemudian bergantung pada bimbel? Jika, bimbingan orangtua dan komunikasi dua arah itu lebih penting dan membuat si anak nyaman dan aman.

Perasaan nyaman dan aman inilah yang seharusnya berada di pikiran anak, agar dirinya dapat belajar bukan hanya untuk menjadi pintar dan ranking satu. Melainkan menjadi pribadi yang baik, benar, dan berkontribusi aktif terhadap situasi di sekitar kehidupannya.

Toh, pada akhirnya si anak macan menjadi macan dan seharusnya mampu mengejar rusa, bukan?

Jadi, untuk apa bimbel, jika si anak pada akhirnya masih harus menentukan kehidupannya sendiri (lagi) dengan kedua tangannya; 50% di tangan kanan dan 50% di tangan kiri. Tergantung mau pilih menggunakan tangan kiri terlebih dahulu, atau tangan kanan terlebih dahulu.

Jawabannya adalah berdasarkan bagaimana si anak menjalin hubungannya dengan orangtuanya. Dari sanalah kita akan tahu, bagaimana nasib si anak di masa depan. Bukan seberapa cerdas si anak. Melainkan, seberapa mampu si anak bertahan untuk menjalani kehidupan yang selalu dihiasi dengan beragam permasalahan. Itu yang lebih penting.

Malang, 12 April 2019
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun