Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kebiasaan Kerja Ngebut Menjelang Deadline dan Faktor Juara Timnas Indonesia U-22

27 Februari 2019   08:19 Diperbarui: 27 Februari 2019   10:04 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen Perayaan Timnas Indonesia U-22. (Bola.com)

Sudah bukan berita baru ketika melihat timnas Indonesia mengawali turnamen dengan persiapan singkat. Baik itu di timnas senior maupun timnas junior. 

Permasalahan ini juga kemudian merembet pada hasil di turnamen yang sering terlihat tidak maksimal ataupun bisa disebut mengecewakan. Seolah tidak kunjung diperbaiki, sehingga, hal ini tetap dilakukan dan kemudian membuat skuad timnas terkadang terlihat belum menyatu.

Sebenarnya, faktor persiapan yang panjang bukan hanya untuk menyatukan antar pemain di dalam tim. Namun, juga membuat persiapan yang bagus bagi pelatih untuk menguji permainan dengan segala macam taktik. Artinya, dengan jangka persiapan yang ideal, maka, terciptalah peluang untuk bereksperimen. Inilah yang menjadi kekurangan Indonesia dalam menggali lebih dalam tentang potensi permainan.

Karena, dengan persiapan mepet, fokusnya adalah langsung ke tujuan paling pokok, dan ini yang seringkali membuat timnas kurang memiliki opsi jika bertemu dengan tim yang memiliki gaya main serupa ataupun dengan performa yang lebih baik daripada timnas. 

Jika menilik pada rekam jejak timnas secara kesuluruhan dan di segala level timnas, hal ini selalu terjadi dan seolah-olah memang ini sudah menjadi suatu kewajaran (semoga tidak menjadi identitas apalagi budaya).

Melihat kebiasaan yang memang sebenarnya berupaya dihindari, namun ketika memang hal ini harus terjadi, maka, yang harus dilakukan adalah segera membuat keputusan final. Seperti pemilihan pemain yang disesuaikan dengan kebutuhan tim pelatih, serta menyesuaikan juga pada stok pemain yang tersedia. Biasanya karakter pelatih akan sangat menentukan bagaimana gaya main yang ingin diterapkan dan pilihan pemain akan diupayakan sedekat mungkin dengan gaya tersebut.


Namun, ada pula yang bertipikal mencari pemain yang sedang on-fire di level klub dan ini biasanya dipilih sebagai opsi yang paling realistis. Namun, pilihan seperti ini akan menjadi 50:50. 

Antara 50% peluang timnas akan bagus, atau 50% timnas akan berada dalam keterombang-ambingan terhadap bentuk bermain yang 'semau gue' di dalam masing-masing pemain. Artinya, ada kemungkinan secara kualitas terbantu, namun juga bisa menjadi menurun peluang bermain bagusnya. Yaitu ketika, tim sedang tidak kondusif. 

Di saat seperti ini biasanya akan sangat membutuhkan pelatih yang memiliki karakter tegas dan mampu memberikan bukti bahwa idenya sangat bagus jika dilakukan oleh para pemainnya yang walau sama-sama sedang membawa trend positif (ego dan prestis) dari klubnya masing-masing.

Namun, membawa pemain yang bermodalkan sedang on-fire di klub juga belum tentu berhasil---menang dan/atau juara. Mengapa?
Karena, setiap klub itu pasti memiliki ciri bermain tersendiri. 

Pelatihnya berbeda dan kemudian hal ini membuat masing-masing pemain juga bisa berkembang karena faktor pelatih klubnya tersebut. Selain itu, di klub juga ada sokongan dari pemain lain yang berbeda, dan ini yang kemudian menjadi permasalahan bagi pemain tersebut, ketika di timnas ternyata tidak bertemu pemain yang bertipikal sama seperti rekannya di klubnya.

Alhasil, si pemain akhirnya tidak bisa menunjukkan performa ataupun sumbangsih yang sama seperti saat di klub. Karena, jelas sekali bahwa setiap pelatih, apalagi yang sudah banyak pengalamannya, pasti akan memiliki karakter atau filosofi bermain tersendiri. Inilah yang kemudian patut dipertimbangkan lagi. Yaitu, soal 'ajian mepet-mepet'.

Federasi sejak belum terlalu kacau---walau sejak lama tidak pernah kondusif---sampai saat ini yang sedang kacau, selalu dihadapkan pada situasi yang tidak bagus dalam mempersiapkan skuad; waktu yang ideal. 

Sebulan-dua bulan adalah waktu yang seolah-olah sudah cukup untuk mempersiapkan 23 pemain. Sehingga, ketika melihat timnas tidak kunjung berprestasi, yang disalahkan adalah masa persiapannya. Padahal sudah sangat jelas bahwa kalender turnamennya kapan dan tuan rumahnya siapa. Namun, timnas dan federasi seperti justru disibukkan dengan permasalahan internalnya; masih keteteran menghidupi sepakbola di dalam negeri.

Kunci utama sebenarnya di federasi. Bagaimana federasi mampu membuat timeline yang jelas terhadap kompetisi sepakbola nasionalnya (liga dan piala liga), lalu menengok jadwal kompetisi antar klub sebenua (AFC Champions League dan AFC Cup), sampai kemudian jadwal turnamen timnas dari segala umur dan cabang (pria dan wanita). Termasuk ketika adanya kompetisi pramusim dan perhelatan politik seperti pemilu. Artinya, perlu adanya kemampuan yang besar terhadap membuat jadwal. Walau patut diakui bahwa ini memang bukan perkara mudah, namun jika dilakukan dengan ketegasan (negosiasi tuntas dengan segala pihak) dan kejelasan (transparansi dengan berbagai pihak), maka, tidak menutup kemungkinan bahwa ada ruang dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan timnas.

Libur kompetisi (panjang) atau jeda kompetisi (singkat) juga bisa digunakan untuk training camp. Artinya, pemain sepakbola, apalagi yang sudah pasti memiliki kualitas mumpuni dan berprospek bagus untuk timnas, harus dapat dipastikan untuk dipanggil dengan agenda timnas. Bisa melalui agenda laga ujicoba, maupun training camp biasa (menggelar simulasi pertandingan secara internal). Sehingga, persiapan itu ada walau tidak harus spesifik ke tujuan (untuk turnamen).

Melalui cara seperti itu, kemungkinan, timnas dapat terbebas dari keluhan jadwal persiapan yang singkat dan padat. Sehingga, para pemain juga tidak tertekan secara berlebihan terhadap turnamen tersebut---target. Termasuk meminimalisir adanya cedera-cedera akibat program latihan yang dikemas padat dan berat. Jika, waktu persiapannya ideal, maka, program latihan pasti akan lebih manusiawi dan dapat dijalankan dengan tenang namun penuh konsentrasi.

Ini yang sebenarnya perlu diperhatikan dari hasil pencapaian juara timnas U-22 ini. Walau ini hanya merupakan turnamen ujicoba untuk Piala Asia U-23 nanti, namun, tetap saja turnamen ini sebenarnya perlu dipersiapkan lebih baik lagi. Memang jika ini digunakan sebagai tolok-ukur untuk persiapan kualifikasi Piala Asia U-23 akan terlihat bagus. Namun, jika ini dilihat sebagai murni untuk turnamen U-22, ini masih belum ideal. Hasilnya memang trofi, namun, tidak selamanya kita dapat mengagungkan persiapan mepet dengan hasil yang terlihat nyata. Karena, pasti ada faktor-faktor lain yang membuat hasilnya bisa sebagus itu.

Jika dicermati lebih dalam, juaranya timnas U-22 di turnamen non-kalender FIFA ini adalah:
Faktor pelatih.
Faktor peserta.
Faktor pemain timnas.

Di faktor pelatih, kita bisa mensyukuri kembalinya Indra Sjafri untuk melatih timnas kelompok umur. Karena, Indra Sjafri memiliki pengalaman membawa timnas U-19 menjadi juara di Piala AFF 2013. 

Di turnamen itu juga sebenarnya sang pelatih memiliki banyak kendala dalam mempersiapkan tim. Namun, beruntung bahwa atmosfer Indonesia saat itu sangat mendukung pagelaran turnamen tersebut. 

Digelarnya AFF U-19 di Indonesia tentu memberikan kekuatan yang besar bagi timnas saat itu. Selain itu, patut diakui bahwa timnas bermain bagus dan lebih dewasa dibandingkan pemain timnas lainnya, dan ini tentu tidak lepas dari taktik yang dimiliki oleh Indra Sjafri.

Berbekal pengalaman pernah memberikan gelar juara tersebut, maka, Indra Sjafri mengetahui formula yang tepat untuk membawa timnas setidaknya dapat lolos ke fase semifinal di turnamen kali ini. Artinya, Indra Sjafri sudah memiliki cara untuk membuat tim bermental pemenang. Hal inilah yang membuat timnas U-22 dapat terhindarkan dari kekalahan dan walau terlihat tidak mulus perjalanannya saat di fase grup. N

amun, Indra Sjafri sudah tahu bagaimana caranya untuk dapat bermain aman dan menang. Main aman tanpa menang tentu bukan pilihan yang bagus. Namun menang tanpa pernah bisa main aman, juga tidak akan bagus. Karena, sewaktu-waktu, tim juga dapat dikalahkan dengan tim lain, ketika lawan sudah tahu titik lemahnya (timnas Indonesia). Faktor pelatih inilah yang kemudian menjadi kekuatan utama di timnas U-22 dan berada di sektor internal.

Lalu, di faktor kedua adalah peserta. Peserta di U-22 ini tidak semuanya berisikan pemain-pemain terbaik di kelompok usia tersebut. Vietnam dan Thailand dikabarkan menurunkan pemain-pemain yang seharusnya justru tampil di level U-19. 

Di Thailand, hanya memunculkan pemain yang sangat berpengalaman pada kaptennya yang sudah memiliki klub profesional. Sedangkan Vietnam banyak menurunkan pemain-pemain berusia 18-19 tahun. Memang beberapa sudah memiliki klub profesional, namun secara menit bermain tentu akan lebih sedikit dibandingkan pemain berusia 20-an tahun. Namun faktanya memang inilah yang dilakukan oleh mereka. Apakah ini buruk? Tidak juga. Karena, dengan kesegeraan mereka memainkan pemain yang lebih muda dari kelompok usia yang sebenarnya. Maka, akan menghasilkan siklus regenerasi yang cepat dan ini akan memudahkan pelatih untuk mencari opsi A, B, C dan D ketika sudah memasuki level turnamen yang sebenarnya. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa turnamen U-22 ini hanya ujicoba.

Lalu, sebenarnya apa sih perbedaannya antara timnas yang memainkan pemain dengan usia sesuai level turnamen (U-22) dengan yang belum sesuai dengan level tersebut (U-19)? Apakah perbedaannya signifikan?

Jika ditanya soal ada/tidaknya perbedaan, jawabannya adalah jelas ada perbedaan. Salah satunya adalah pengalaman bermain. Ketika di level U-19, pengalaman pemain akan minim di level profesional. Mereka akan lebih banyak berkompetisi di kelompok umur. 

Memang secara kuantitas (menit bermain) pemain tersebut sudah 'merasakan rumput lapangan', namun secara kualitas, mereka belum dapat berbuat banyak. Kualitas di sini bukan hanya berbicara soal kemampuan individu pemain, namun juga kemampuan team-working-nya. Artinya, di level junior, permain setiap pemain selalu lebih menonjol di kualitas individu. 

Terbukti, jika melihat permainan tim junior pasti akan banyak melihat para pemain lebih berani merangsek masuk sendirian (menujukkan skill individu), dibandingkan permainan tim senior yang selalu mengutamakan kerja sama antar pemain untuk dapat masuk ke area pertahanan lawan. Artinya di sini adalah kematangan visi bermain, dan ini sangat jarang dimiliki oleh pemain level U-19---baik secara tim maupun individunya.

Memang masing-masing timnas dapat mengandalkan pelatih bagus. Namun, pelatih bagus tanpa didukung pemahaman individu pemain (intelijensia dan pengalaman), juga akan kesulitan dalam hal penerapan taktik. Akhirnya yang terjadi adalah pelatih harus menyesuaikan taktik dengan karakter pemain, bukan pemahaman pemain untuk mempraktekkan instruksi dan mengolahnya dengan permainan kolektif. Ini yang kemudian membedakan antara timnas yang menurunkan banyak pemain yang masih belasan dengan pemain yang sudah berusia 20 tahun dan 21 tahun. Atau bisa disebut sudah memiliki izin bermain di klub profesional.

Maksudnya dari perbedaan ini adalah ketika pemain masih belasan, yang diutamakan adalah misi pelatih menguatkan kemampuan pemain---kemampuan pemain dimaksimalkan. Sedangkan di level yang sedikit di atas itu adalah misi pelatih membuat tim ini harus mulai mampu menjalankan taktik, instruksi, maupun ide dari pelatih. Artinya, pemain harus mampu menginterpretasikan taktik dari pelatih ke dalam diri masing-masing dan kemudian dikomunikasikan ke rekan setim. 

Jika pemain sudah memiliki setidaknya semusim-dua musim di level profesional, hal ini akan sering dilakukan. Sehingga, kemampuan bermain pemain tidak lagi hanya mengembangkan skill individu namun juga mentalitas dan team-working.

Mentalitasnya pasti beda, dan cara membangun team-work juga pasti beda. Inilah yang kemudian membuat timnas U-22 Indonesia sekacau apapun koordinasinya, masih tetap terlihat lebih baik dibandingkan tim lain. 

Komunikasi antar pemain masih terlihat bagus, dan pemain juga sering terlihat tahu bahwa mereka melakukan kesalahan. Ini yang patut dicermati dari pentingnya melihat level pemain dalam bentuk usia. Memang usia hanya angka, sedangkan kualitas adalah berkah yang terkadang tak terduga. Namun, sepakbola bukan hanya soal bakat, namun pembelajaran terhadap pengetahuan dan pengalaman.

Ibaratnya seperti melihat hasil gambar anak 5 tahun (belum masuk SD) dengan anak berusia 8 tahun (SD) dan memang juga sudah memulai menggambar sejak 5 tahun. Pasti beda, bukan? Mungkin jika dinilai berdasarkan nilai keberkahan, si anak 5 tahun akan lebih baik dibandingkan si anak SD itu. Namun, soal pengetahuan bagaimana menggambar yang benar, maka, si anak SD itu sudah lebih dulu mengetahuinya dan tahu bagaimana mewujudkannya dengan baik.

Inilah yang kemudian ketika dicerminkan ke timnas U-22 Indonesia seperti sangat wajar jika berhasil juara. Bahkan sebenarnya akan cukup memalukan jika tidak berhasil juara. Karena, di sana ada Osvaldo Haay yang dilatih Jajang Nurjaman di Persebaya, Marinus Wanewar dan Awan Setho bersama Simon McMenemy di Bhayangkara FC, Todd Ferre di Persipura, apalagi Asnawi yang dilatih Robert Rene Albert di PSM Makassar. Sehingga, sebenarnya bukan hal ajaib ataupun mustahil bagi timnas Indonesia untuk juara.

Di faktor terakhir adalah pemain timnas. Sebenarnya hal ini sudah disinggung bahkan dijabarkan dengan penyebutan pemain-pemain di pembahasan faktor sebelumnya. Namun, di sini akan ditekankan lagi bahwa keberadaan pemain-pemain seperti Marinus, Osvaldo Haay, Todd Ferre, Asnawi, Bagas Adi, bahkan juga Nurhidayat dan apalagi Luthfi Kamal. 

Mereka adalah pemain-pemain yang sudah merasakan bagaimana caranya dapat diandalkan oleh pelatih mereka di level klub profesional. Di mana mereka juga sudah berada di tengah-tengah pemain senior dan penuh pengalaman. Di sanalah mereka memahami seluk-beluk upaya untuk memenangkan pertandingan, dan inilah yang ditekankan pada atmosfer di turnamen ini bagi para pemain timnas Indonesia.

Di turnamen ini, praktis tujuan semua timnas memang juara. Tapi, what's next?

Ini yang perlu diperhatikan. Bahkan, bagi yang tidak juara atau tersingkir sejak di fase grup akan beralibi bahwa ini hanya turnamen pemanasan. Sehingga, bukan hal yang wajib bagi semua untuk 100% mengeluarkan yang terbaik. Maka, yang patut dicermati di sini adalah 'what's next' kepada tim yang berpartisipasi di sini. Khususnya ke timnas Indonesia. 

Memang, timnas di turnamen ini juga tidak full team ataupun berkomposisi ideal. Namun, timnas lainnya juga demikian. Bahkan lebih 'diperparah' dengan bukti bahwa anak-anak 18-19 tahun masih bisa merepotkan pemain-pemain berusia 20-21 tahun.

Maka, kalau melihat Wanewar tidak terprovokasi di setiap laga di turnamen ini juga wajar. Mungkin dia berpikir bahwa dia sedang bertanding melawan adik-adik tingkatnya. Jadi buat apa emosian, bukan?

Nah, di faktor terakhir ini sebenarnya yang melengkapi 'kesempurnaan' timnas dan mengantarkan mereka untuk juara. Mereka harus kembali bekerja, berlatih bersama, membangun tim yang solid, sebelum mereka menghadapi turnamen yang sebenarnya. Misi selanjutnya adalah mempersiapkan kembali tim dan pastinya mengumpulkan pemain-pemain yang ideal. Bongkar-pasang bukanlah hal yang mustahil dan haram untuk dilakukan. 

Di turnamen U-22 ini bukanlah tanpa cacat, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diperbaiki. Baik dengan memberikan kesempatan lebih di timnas, ataupun membiarkan sang pemain belajar lebih banyak lagi di klubnya. Inilah yang sebenarnya perlu dinantikan bagi publik Indonesia terhadap timnas asuhan Indra Sjafri. Mampukah tampil lebih baik lagi?

Sebagai warga Indonesia yang baik tentu harus mendukung timnasnya, apapun yang terjadi. Entah kalah (jangan hanya dicaci-maki), imbang (dimaafkan), apalagi menang (dirayakan). Termasuk merayakan gelar juara ini. Kita tetap boleh berbahagia dengan gelar ini. Karena, dengan gelar ini setidaknya, kita bisa tersenyum di atas penderitaan para mafia yang dikejar-tangkap oleh Satuan Petugas (Satgas) Anti Mafia Bola dari kepolisian. Semoga, Indonesia tidak cepat terlena. Ini bukan hasil akhir, ini adalah pondasi awal untuk juara lagi dan lagi.

Ayo, Indonesia! Kembali terbang!

Malang, 26 Februari 2019
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun