Pulang ke Asalnya
Cerpen oleh Deddi Ajir
Langit di atas Danau Maninjau masih kelabu ketika Pak Ruhin menyalakan sepeda motornya yang sudah renta. Asap putih mengepul pelan dari knalpot, seperti embusan napas dari mesin yang lelah, namun setia. Dingin pagi yang menusuk tak dihiraukannya. Ia sudah terbiasa dengan jalan yang licin oleh embun, dengan tikungan sempit di sepanjang kelok.
Sudah hampir dua dekade ia mengantar orang pulang---bukan hanya ke rumah mereka, tapi ke asal mereka. Ia bukan sopir resmi ambulans, bukan juga petugas dari rumah sakit. Tapi di kampungnya yang berada di perbukitan Agam, setiap kali ada jenazah datang dari rantau---dari Jakarta, Pekanbaru, atau Batam---nama yang pertama disebut adalah namanya.
"Biar Ruhin yang antar sampai kubur," begitu kata orang kampung.
Entah sejak kapan peran itu melekat padanya. Mungkin sejak hari ketika istrinya, Nurlela, wafat dalam kecelakaan bus di Lembah Anai. Rumah sakit kota menawarkan ambulans gratis, tapi Ruhin menolak. Ia sendiri yang membawa tubuh istrinya pulang, melintasi jalanan curam yang mereka kenal bersama sejak muda. Ia tahu persis, hanya dirinya yang bisa berhenti di tempat Nurlela biasa duduk memetik daun sirih, atau membacakan tahlil perlahan melewati surau tempat mereka menikah secara sederhana dahulu.
Sejak itu, orang mulai datang padanya. Diam-diam, ia jadi penuntun pulang bagi mereka yang sudah tak bisa berkata-kata.
Penumpang-Penumpang Terakhir
Motor tuanya tak hanya mengantar jenazah. Pernah ia mengantar seorang ibu muda yang baru pulang dari Malaysia, perutnya besar dan suaminya entah di mana. Pernah juga seorang bayi dibungkus kain panjang dititipkan padanya---anak perantau yang tak sempat pulang, hanya bisa menitip pesan lewat suara yang pecah di ujung telepon.
"Bawa anak saya ke rumah Mak di Sungai Batang, Pak Ruhin. Jangan salah rumah, ya. Di depan pohon mangga besar, yang ada ayunan tali."
Ia selalu hafal rumah-rumah tua itu. Ia tahu mana rumah yang dapurnya dulu selalu penuh aroma rendang di hari raya, mana yang dulu sering ia datangi waktu kecil untuk mengaji. Wajah-wajah tua yang kini keriput dan berjalan lambat, pernah jadi bagian dari masa kecilnya.
Malam-malam sepi, ketika suara kodok bersahutan di sawah dan langit menumpahkan kabut, ia sering duduk di tangga kayu rumah panggungnya, memikirkan satu hal: mengapa orang-orang percaya menitipkan hal paling sunyi kepadanya?
"Aku bukan siapa-siapa, Uda," katanya suatu malam pada Masril, tetua kampung.
"Tapi mereka percaya padamu, karena kau tahu arah pulang lebih baik dari siapa pun," jawab Masril sambil menyulut rokok kretek.
Telepon dari Rantau
Pagi itu kabut turun lebih tebal dari biasa. Di beranda rumahnya yang menghadap lembah, Pak Ruhin sedang menjemur tikar pandan. Baru saja ia selesai mengantar jenazah seorang mantan guru SD ke pemakaman. Belum sempat minum teh, ponselnya bergetar.
Suara seorang perempuan menyapa, lembut tapi tergetar.
"Apakah benar ini nomor Bapak Ruhin... yang biasa antar jenazah ke Bukik?"
"Iya, Uni," jawabnya tenang. "Siapa yang meninggal?"
Sunyi sejenak. Lalu suara itu pecah.
"Abak... Abak kami... semalam... di Jakarta. Beliau ingin dikuburkan di dekat rumah gadang. Di sebelah Mak... katanya."
Pak Ruhin terdiam. Nama lelaki itu tak asing. Marjohan, sahabat masa kecil. Mereka dulu mandi bersama di Batang Antokan, lomba pacu itik, berlatih silek di surau yang kini tinggal satu tiang berdiri. Terakhir bertemu sepuluh tahun lalu, Marjohan hanya pulang sebentar, menitipkan sebungkus kopi dan senyum lelah dari rantau.
"Ikutlah pulang bersama Abakmu nanti," ujar Ruhin pelan.
"Belum bisa, Pak... saya harus jaga adik-adik. Tapi... bisakah Bapak... menyentuh pipi Abak... sebelum dikuburkan? Dari saya..."
Ruhin tak menjawab. Tapi dalam hatinya ia berkata: aku akan lakukan lebih dari itu, Uni.
Mengantar Kenangan
Keesokan harinya, menjelang Ashar, mobil jenazah datang dari Jakarta. Sopirnya muda, anak almarhum, wajahnya lelah dan kaku. Pak Ruhin yang menuntun mereka ke surau, tempat peti diletakkan, diselimuti kain putih.
Ia membuka sedikit penutup wajah itu. Menyentuh pelipis Marjohan dengan ujung jemarinya yang mulai gemetar. Ia membaca surah pendek, lalu membisikkan pelan:
"Mar... kau sudah pulang. Rumah gadang menunggu. Mak menanti. Sawah yang dulu kita lewati pun masih menghijau."
Di pemakaman, ia sendiri yang membantu menurunkan jenazah ke liang. Tak banyak bicara. Tapi setiap gerak tubuhnya mengandung penghormatan. Ia tahu, ini bukan sekadar mengubur, ini menuntaskan janji---janji seorang anak yang ingin ayahnya pulang, walau ia tak bisa ikut.
Malamnya, Ruhin duduk di beranda rumahnya. Langit di atas Gunung Tujuh ditaburi bintang. Angin turun dari bukit, membawa harum kayu manis dan suara serangga malam.
Orang-orang kampung menyebutnya tukang antar jenazah. Tapi ia tahu betul, pekerjaannya bukan sekadar itu. Ia mengantar tubuh, iya. Tapi juga mengantar kenangan yang tertinggal, harapan yang pernah hidup, dan kasih yang masih menggantung di dada anak, cucu, atau kekasih yang tak sempat pulang.
Ia tahu, tak semua orang bisa menemani orang tercinta hingga liang terakhir. Tapi ia bisa. Dan ia akan terus melakukannya.
Ia akan terus mengantar: manusia, kenangan, dan kasih---pulang ke tempat asalnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI