"Ikutlah pulang bersama Abakmu nanti," ujar Ruhin pelan.
"Belum bisa, Pak... saya harus jaga adik-adik. Tapi... bisakah Bapak... menyentuh pipi Abak... sebelum dikuburkan? Dari saya..."
Ruhin tak menjawab. Tapi dalam hatinya ia berkata: aku akan lakukan lebih dari itu, Uni.
Mengantar Kenangan
Keesokan harinya, menjelang Ashar, mobil jenazah datang dari Jakarta. Sopirnya muda, anak almarhum, wajahnya lelah dan kaku. Pak Ruhin yang menuntun mereka ke surau, tempat peti diletakkan, diselimuti kain putih.
Ia membuka sedikit penutup wajah itu. Menyentuh pelipis Marjohan dengan ujung jemarinya yang mulai gemetar. Ia membaca surah pendek, lalu membisikkan pelan:
"Mar... kau sudah pulang. Rumah gadang menunggu. Mak menanti. Sawah yang dulu kita lewati pun masih menghijau."
Di pemakaman, ia sendiri yang membantu menurunkan jenazah ke liang. Tak banyak bicara. Tapi setiap gerak tubuhnya mengandung penghormatan. Ia tahu, ini bukan sekadar mengubur, ini menuntaskan janji---janji seorang anak yang ingin ayahnya pulang, walau ia tak bisa ikut.
Malamnya, Ruhin duduk di beranda rumahnya. Langit di atas Gunung Tujuh ditaburi bintang. Angin turun dari bukit, membawa harum kayu manis dan suara serangga malam.
Orang-orang kampung menyebutnya tukang antar jenazah. Tapi ia tahu betul, pekerjaannya bukan sekadar itu. Ia mengantar tubuh, iya. Tapi juga mengantar kenangan yang tertinggal, harapan yang pernah hidup, dan kasih yang masih menggantung di dada anak, cucu, atau kekasih yang tak sempat pulang.
Ia tahu, tak semua orang bisa menemani orang tercinta hingga liang terakhir. Tapi ia bisa. Dan ia akan terus melakukannya.