Malam-malam sepi, ketika suara kodok bersahutan di sawah dan langit menumpahkan kabut, ia sering duduk di tangga kayu rumah panggungnya, memikirkan satu hal: mengapa orang-orang percaya menitipkan hal paling sunyi kepadanya?
"Aku bukan siapa-siapa, Uda," katanya suatu malam pada Masril, tetua kampung.
"Tapi mereka percaya padamu, karena kau tahu arah pulang lebih baik dari siapa pun," jawab Masril sambil menyulut rokok kretek.
Telepon dari Rantau
Pagi itu kabut turun lebih tebal dari biasa. Di beranda rumahnya yang menghadap lembah, Pak Ruhin sedang menjemur tikar pandan. Baru saja ia selesai mengantar jenazah seorang mantan guru SD ke pemakaman. Belum sempat minum teh, ponselnya bergetar.
Suara seorang perempuan menyapa, lembut tapi tergetar.
"Apakah benar ini nomor Bapak Ruhin... yang biasa antar jenazah ke Bukik?"
"Iya, Uni," jawabnya tenang. "Siapa yang meninggal?"
Sunyi sejenak. Lalu suara itu pecah.
"Abak... Abak kami... semalam... di Jakarta. Beliau ingin dikuburkan di dekat rumah gadang. Di sebelah Mak... katanya."
Pak Ruhin terdiam. Nama lelaki itu tak asing. Marjohan, sahabat masa kecil. Mereka dulu mandi bersama di Batang Antokan, lomba pacu itik, berlatih silek di surau yang kini tinggal satu tiang berdiri. Terakhir bertemu sepuluh tahun lalu, Marjohan hanya pulang sebentar, menitipkan sebungkus kopi dan senyum lelah dari rantau.