Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Deansyah
Muhammad Rizky Deansyah Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa/Peminat Sejarah/Umum

Seorang Pelajar di dunia Tuhan. "ᬇᬤᬲᬂᬳ᭄ᬬᬂᬯᬶᬤᬶᬯᬲᬗᬫᬗ᭄ᬕᬾᬳᬗ᭄ᬢᬸᬃᬗᬫᬾᬃᬢᬦᬶᬦ᭄ᬇᬤᬲᬂᬧ᭄ᬭᬩᬸ᭟"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nirlaksana Keadilan Sosial pada Tubuh Negara

12 Oktober 2025   07:30 Diperbarui: 12 Oktober 2025   07:30 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persiapan Bantuan Sosial (Sumber: Kompas)

Sebagaimana termaktub pada Keputusan PPKI 18 Agustus 1945, Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Para pendiri negara, lewat proses permusyawaratan mufakat yang saksama telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dimana para pendiri bangsa, dengan sumbangsih pemikiran mereka masing-masing, menggali nilai-nilai yang terkandung pada bangsa Indonesia. Bersama-sama mewujudkan 5 butir kalimat yang ada Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara. Lebih dari itu, Pancasila merupakan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia dalam berkehidupan. Dimana ada yang mengartikannya dengan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa. Dan ada juga yang mengartikannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Biarpun begitu, sebagai dasar negara dan falsafah bangsa, Pancasila diharapkan menjadi dasar, pedoman, pegangan, petunjuk arah bagi negara dan bangsa Indonesia dalam tiap-tiap langkah yang diambilnya dan akan diambilnya.

80 tahun lamanya bangsa Indonesia telah merdeka, pelaksanaan Pancasila kini dipertanyakan. Bagaimana tidak, Pancasila yang asalnya adalah intisari keluhuran bangsa malah besar jurang antara ia dengan realita lapangan yang berbeda sama sekali. Lima kalimat indah pada Pembukaan UUD 1945 seolah menjadi omong kosong dilihat dari pelaksanaan lapangannya. Jika Pancasila tidak terlaksana dalam praktiknya dan hanya sebatas formalitas di atas kertas, masih pantaskah itu disebut falsafah bangsa. Sebagai dasar negara, sudah pasti Pancasila tetap dasar negara. Selagi ia masih termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila tetaplah dasar negara Indonesia. Adapun sebagai falsafah bangsa, dengan tanpa praktik, itu perlu dipertanyakan. 

Dapat dilihat dari motif umum massa dari peristiwa demonstrasi besar pada akhir Agustus 2025 lalu. Ketidakadilan sosial, pelanggaran terhadap sila ke-5 Pancasila, dijadikan dasar pergerakan tersebut. Dimana mereka menolak dan menganggap sejumlah kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan kehendak rakyat. Khususnya pemberian sejumlah keistimewaan kepada segelintir golongan. Seolah-olah pemerintah berasas bahwa seluruh rakyat Indonesia adalah setara, tetapi beberapa rakyat lebih setara dari yang lain. Sehingga dianggap pemerintah telah gagal dan perlu diingatkan kembali. Yang seharusnya mereka laksanakan sebagaimana mestinya. Namun, pada pelaksanaannya yang lalu ada juga yang melakukan dengan cara-cara yang tidak pantas. Adapun suara yang mereka pekikkan sama, sama-sama memekikkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan pemerintah sebagai pihak yang diamanatkan oleh Pancasila, paling bertanggung jawab atas hal ini.

Pembakaran Gedung DPRD Jawa Barat (Sumber: Mori505-Wikimedia Commons)
Pembakaran Gedung DPRD Jawa Barat (Sumber: Mori505-Wikimedia Commons)

Peristiwa pada akhir Agustus 2025 lalu itu hanya ledakan dari ketidakpuasan yang tertahan sejak lama. Maraknya praktik suap dan korupsi  diantaranya, baik yang materi dan immateri. Padahal kesenjangan sosial-ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi. Dengan angka Koefisien Gini Indonesia per 2025 berada pada angka 0,375. Masih banyak ketimpangan fasilitas umum dan aksesnya di masyarakat. Adanya ketimpangan fasilitas dan kualitas pendidikan antar daerah, khususnya urban dan rural. Distribusi sembako yang tidak merata, membuat sebagian masyarakat sulit mengakses kebutuhan pokok mereka. Dan akses layanan kesehatan yang tidak merata juga masih menjadi masalah saat ini. Kemudian, di tengah itu semua pemerintah menetapkan kebijakan yang menguntungkan segelintir golongan. Tentu ini membuat pemerintahan seolah-olah sebagai sarang kaum tertentu. Sebuah sarang yang hanya dapat ditempati oleh mereka yang lebih setara dari yang lain. Kemudian, ketika eksklusifitas tersebut dinaikkan keistimewaannya. Ia menjadi momentum bagi mereka yang lebih tidak setara untuk bergerak. Mereka meledak, memuntahkan segala sumpah serapah yang telah lama dipendam. Setelah lama menahan diri atas kebijakan dan tindakan pemerintah yang seringkali jatuh ke dalam politik praktis dan kepentingan masing-masing. Dan mengabaikan Pancasila sebagai pedoman fundamental dalam menjalankan negara.

Sekalipun demikian, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah sebagai pelaku tunggal. Memang benar, dalam melaksanakan amanat rakyat pemerintah tidak mengikuti Pancasila sebagai pedoman fundamentalnya dengan baik dan benar. Namun, secara sah Pancasila tetap utama sebagai dasar segala kebijakan dan perbuatan pemerintah. Terlepas dari realitas lapangannya. Sehingga, ketidakterlaksanaan Pancasila bukan sekadar dari kegagalan para pemerintah. Jauh lebih dalam, ia berakar dari masyarakat yang melahirkan pemerintahan tersebut. Karena sebuah pemerintahan itu dilahirkan oleh kesepakatan masyarakat yang diperintahnya. Negara Indonesia ini yang berasaskan demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka, jika Pancasila tidak terlaksana dengan baik dan benar akar masalahnya ada pada masyarakatnya. Perlu dilihat bagaimana Pancasila pada masyarakat Indonesia yang membuat mereka sulit melembagakan Pancasila dalam praktik ketatanegaraan yang konkret.

Persiapan Bantuan Sosial (Sumber: Kompas)
Persiapan Bantuan Sosial (Sumber: Kompas)

Pelaksanaan keadilan sosial pada tingkat masyarakat sendiri tidak sepenuhnya baik dan benar. Adanya perbuatan korupsi dalam penyelenggaraan bantuan sosial merupakan contoh konkret pelanggaran prinsip keadilan sosial Pancasila. Dimana bantuan sosial dalam perjalanannya dirusak oleh korupsi. Bahkan ketika sampai, ianya bisa dirusak skema pembagian yang menguntungkan segelintir golongan. Praktik yang serupa juga dapat ditemukan di meja hijau dengan masih lumrah ditemukan praktik "Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas". Dimana status sosial-ekonomi seseorang berpengaruh terhadap hasil putusan hakim. Tidak hanya itu, status seseorang sebagai bagian golongan tertentu bisa memberikan keistimewaan tersendiri di meja hijau. Dan mereka yang istimewa ini bisa bersikap sekehendak hati mereka hingga mengeksploitasi sesuatu demi keuntungan pribadi dan golongannya sendiri. Masyarakat menjadi lebih pragmatis dan praktis. Selagi sesuatu itu menguntung diri mereka, kelompok dan golongan mereka, itu tidak menjadi masalah. Namun, ketika itu bertentangan dengan kepentingan mereka, itu baru masalah. Dengan kondisi masyarakat yang seperti ini, tidak mengherankan jika mereka menghasilkan para penyelenggara yang nilai-nilai Pancasilanya sama lemahnya. 

Andai hal ini terus berlanjut, ini akan sangat berbahaya. Dari awalnya pemerintah yang tidak mampu dalam menyelenggarakan negara secara Pancasila dengan baik dan benar. Kemudian respon negatif masyarakat dalam menghadapi pemerintah yang gagal. Masyarakat lebih memilih tak acuh dan menyelamatkan diri mereka sendiri dengan berpegangan pada identitas kelompok dan golongan. Dimana ini mengikis nilai-nilai Pancasila dari diri masyarakat. Dan dari masyarakat yang sama, dihasilkan penyelenggara negara yang dipilih bukan berdasarkan rekam jejak integritas dan kompetensi, melainkan berdasarkan kesamaan kelompok dan golongan atau imbalan materi sesaat sebagai imbas identitas kelompok dan golongan tadi. Seterusnya kembali terwujud pemerintahan yang tidak melaksanakan Pancasila dengan baik dan benar. Kemudian berputar begitu seterusnya. Jika dibiarkan, ini akan menjadi siklus yang merusak bangsa. Merusak nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam bangsa Indonesia hingga bisa hilang sama sekali.

Dengan demikian, setidaknya dapat diketahui mengapa upaya reformasi seringkali terasa sia-sia. Tidak cukup reformasi birokrasi dan hukum saja. Itu semua akan sia-sia jika tidak diimbangi oleh reformasi mentalitas di masyarakatnya. Di sisi lain, program-program sosial dan penguatan nilai-nilai Pancasila di masyarakat juga akan sia-sia jika struktur politik dan ekonomi yang ada justru memberikan keistimewaan pada perilaku yang bertentangan dengan Pancasila. Karena itu dibutuhkan upaya terpadu dari dua arah, baik pemerintah dan masyarakat. Jika tidak dilakukan, keadilan sosial akan selamanya menjadi cita-cita di atas kertas, jauh dari realitas Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun